Sabtu, 20 Mei 2023

UNTUKMU CALON PENGANTINKU


Untukmu, calon pengantinku, ku tulis kisah ini di pagi hari ku yang panjang, karena aku sudah bukan dan tak akan kembali lagi menjadi manusia malam, sebab mulai saat ini aku hendak mengurangi cahaya yang memancar dari bulan dan bintang di atas pena itu !

Untukmu, calon pengantinku, kini tak akan ada lagi tangan wanita yang berhak menyentuh tanganku selain dirimu, dan tangan ibuku…

Untukmu, wanita yang akan menemaniku di masa depan. Kamu? siapa kamu? siapa namamu? dimana kamu berada? Aku menantimu bersama semua pengabdianku yang tertunda, bersama segenap cinta yang tak akan sempurna, bila engkau tak kunjung hadir di hadapanku.

Untukmu, calon pengantinku yang aku tak tahu dimana kamu berada, suatu saat bila engkau datang, tolong cintai aku karena Allah, jadilah ibu dalam mendidik anak-anak ku, izinkan ikhtiar dan doa ku menyatu bersama senyum di wajah teduhmu, izinkan cinta dan rinduku terpatri kuat didalam hati dan pikiranmu.

Untukmu, calon pengantinku yang entah sedang apa, ketahuilah, aku ini adalah orang asing untukmu, nanti, terangkanlah, apa-apa yang tidak aku mengerti darimu, terangkanlah, apa-apa yang tidak engkau sukai, agar aku bisa mengenalmu secara utuh.

Untukmu, calon pengantinku yang sedang memantaskan dirinya dihadapan ALLAH, ketahuilah, bahwa akupun disini selalu mendoakan agar engkau selalu sehat, mulai kini aku hanya akan menantimu dalam taat, menanti untuk menjadi belahan jiwamu, menanti untuk menjadi penyejuk hatimu..

Dan aku menanti menjadi suami untukmu……

sampai bertemu pada suatu masa.....

Wahai calon pengantinku.................

Kamis, 18 Mei 2023

Senyuman Ritmis

Senyuman Ritmis

Duhai Merona Mata itu, hingga saya agak malu untuk menyapa ! akankah saya harus membaca surat yusuf terlebih dahulu ? tidak tidak, bukan untuk tujuan seperti itu surat al-Qur’an dibacakan !, halahh bacakan sajalah, lagi pula saya tidak boleh tinggal diam melihat bedak dan lipstik yang bernyali itu menyentuh wajah anda.

Lihat ! sekarang lebih menjengkelkan lagi saat debu-debu itu dengan bebas menyentuh bibir anda, mereka beralasan bahwa angin yang membawanya, tetapi untunglah anda segera menghapusnya, saya yakin, anda bukanlah wanita yang datang memberi senyuman lalu pergi meninggalkan bayang, istirahatlah, keringat itu mulai membuat saya emosi.

Apakah anda tidak mendengar bahwa angin itu sedang membuat saya panas ? dia dengan seenak jidat menyentuh anda dari tadi ! hingga anda melepas senyuman itu, sebuah senyuman yang berada diantara dua tawa.

Tapi sungguh aneh, mengapa anda mengeluarkan air mata ? mungkinkah semalam lantunan petir membuat anda takut ? segera beri tahu saya, saya akan memberi pelajaran rumah kepada para petir itu, tak peduli seberapa terang cahayanya, karena cahaya itu sudah tergradasi, jadi saya akan baik-baik saja.

Anda harus segera menutupi tubuh anda, karena apabila dibuka, jangankan saya, alam pun akan bernafsu ! Tapi, sungguh saya sangat cemburu kepada pakaian itu !

Dasar bodoh ! saya tentunya tidak akan lagi memasukkan opsi wanita yang belum pernah hidup sebagai santri, saya sangat mencintai seorang santriawati ! iya, itu adalah anda ! tapi jangan tunggu saya, karena baik anda maupun saya, adalah makhluk fana yang tidak mengetahui dimensi waktu !

Maaf mengganggu, segeralah beristirahat, saya akan selalu berada di ujung kaki anda yang penuh dengan kehangatan itu, sampai jumpa lagi.

Rabu, 17 Mei 2023

Elite Politik HMI Cabang Ciputat Sebagai Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme: Kemungkinan atau Keniscayaan ?

         Dalam sejarah politik dunia, Islam sempat menemui momentum ketegangan politik pada masa khalifah ‘Utsman dan khalifah ‘Ali, ketegangan politik tersebut kemudian melahirkan apa yang oleh Nurcholis Madjid disebut dengan al-fitnah al-kubra pertama yang terjadi pada masa ‘Utsman, dan kedua terjadi pada masa ‘Ali. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019) Ketegangan tersebut kemudian melahirkan beberapa aliran teo-politik, salah satunya adalah Khawarij yang mewakili kaum kiri, dan Jabariyah yang mewakili kaum kanan. (Kartanegara 1987)

Khawarij adalah sekelompok orang lucu, berpengatahuan dangkal mengenai Islam, sehingga pikiran-pikirannya mengenai arbitrase antara khalifah ‘Ali dengan Muawiyah membuahkan intrik teo-politik berkepanjangan dalam sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Sisi lain, Islam juga di warnai dengan sebuah aliran pesimisme yakni Jabariyah. Jabariyah merupakan aliran yang diadopsi oleh rezim politik Umayyah untuk keamanan elektabilitas politiknya. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019)

Dua aliran teologi Islam itu memang tidak tumbuh dan berkembang dalam realitas sosial pada abad ini, namun ide dan kedunguan mereka tetap masih ramai ter-taqlid, bahkan dalam beberapa hal di jalankan sendiri oleh elite politik HMI, yang pada beberapa orang memang mengetahui hal tersebut, namun di sisi lain, banyak yang tidak mengetahuinya -jika tidak boleh disebut tidak memahami. Dua aliran tersebut, menurut saya merupakan aliran yang lucu, sehingga orang yang menjalankan pemikiran atau ide-ide nya adalah lebih dari pada dungu, jika tidak boleh disebut bodoh.

Tulisan ini hendak melakukan kritik keadaan pengurus atau lebih tepatnya calon pengurus HMI Cabang Ciputat dengan pembacaan kontekstual  terhadap dua aliran teologi islam, yakni Khawarij dan Jabariyah. Kritik di ajukan kepada elite politik yang seringkali merugikan perkaderan HMI dengan mengedepankan ego politik, aktivitas tersebut tentunya sudah tidak sesuai dengan landasan perkaderan, terutama landasan teologis.

Ketidaksesuaian -sebagai asumsi saya- terdapat pada adanya sakralisasi terhadap sesuatu selain Allah, karena dalam teks pedoman perkaderan, salah satu kalimat dalam landasan teologis adalah:

“Sebagai bentuk dasar akan adanya “kesadaran ketuhanan” tersebut, maka manusia harus pula dapat menginternalisasi konsep tawhid yang merupakan perwujudan kemerdekaan yang ada padanya. Implikasi logis dari tawhid itu sendiri adalah meneguhkan sikap dan langkahnya sebagai khalifah, dengan cara tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apapun juga dengan cara meninggalkan praktek mengangkat sesama manusia sebagai ‘tuhan-tuhan’ (arbab), selain kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan” ialah menjadikan sesama manusia sebagai sasaran penyembahan, dedikasi, devosi, atau sikap pasrah total.”

Dengan mengacu teks tersebut, menurut saya, sakralisasi merupakan awal dari kelanjutan sebuah praktek penyembahan manusia. Namun, dengan sedikit husnudzhan, saya juga berpikir bahwa, -tentu saja mereka (para calon pengurus ini) tidak sampai pada tingkat meninggalkan Allah sebagai Tuhan, selain karena memang Allah selalu bersama kita sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, bahwa dia dekat dengan kita (Q.S. 2:186)- mereka masih menggunakan prinsip “ini mah cuma saran”, yang mana, saran-saran itulah yang sering membelenggu kebebasan mereka, walau pada tataran tertentu, saran tersebut memang tidak digunakan. Sang pemberi saran itulah yang saya sebut sebagai CATU (calon Tuhan) mereka, dan saran itu sendiri dapat diibaratkan sebagai wahyu, dimana ketika turun, kata siap menjadi jawaban andalannya.

Khawarij dan Jabariyah: Pemikiran dan Analisis Perkembangannya

Khawarij sebagai salah satu aliran dalam teologi islam, lumayan memiliki banyak pengikut, Harun Nasution mengatakan ada sekitar 12.000 orang yang mengikuti aliran ini. Dalam perjalanannya sebagai aliran teologi, Khawarij mendapatkan perpecahan tersendiri dalam tubuhnya, terdapat aliran pecahan seperti Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-‘Ajaridah, Al-Sufriah, Al-‘Ibadiah. (Nasution 1986)

Sebagaimana telah disebutkan diatas, Khawarij merupakan sekelompok orang berpengetahuan dangkal. Kedangkalan ilmu yang mengeneralisir pada pengikutnya, adalah karena kebanyakan dari pengikutnya merupakan orang Arab Badawi, hidup di padang pasir yang tandus membentuk kepribadian yang sederhana dalam pola pikir, pola tindak dan pola laku. Hal ini juga kemudian yang menjadi sebab keterpecahan dalam tubuh Khawarij. (Nasution 1986)

Berdasarkan keterpecahan atas kerendahan pengetahuan tersebut, hingga secara logis melahirkan beberapa kebodohan lainnya seperti konsep hijrah, dan vonis kafir terhadap empat orang yang melakukan arbitrase, yakni pihak Muawiyah yang didampingi oleh ‘Amr ibn Ash dan pihak khalifah ‘Ali yang didampingi oleh Abu Musa al-Asy’ari.

Menarik untuk melihat tulisan Syahrastani dalam al-Milal Wa al-Nihal, Syahrastani menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok orang yang mendorong khalifah ‘Ali untuk menerima arbitrase, kemudian mereka (Khawarij) menolak pendapat khalifah Ali yang menunjuk Abdullah ibn Abbas sebagai orang yang mendampinginya untuk menjalankan arbitrase, akhirya orang-orang Khawarij ini mengajukan kepada Ali agar Abu Musa al-Asy’ari lah yang menjadi pendampingnya untuk menjalankan arbitrase bersama pihak Muawiyah. (Syahrastani 2003).   

Arbitrase kemudian dijalankan oleh empat orang tersebut, dan hasil dari arbitrase tersebut adalah kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yakni ‘Ali sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai gubernur, namun yang berkata jujur dalam menyampaikan hasil kesepakatan tersebut kepada khalayak hanyalah Abu Musa al-Asy’ari. Di pihak lain, malah terjadi kelucuan pada Amr ibn Ash yang menyepakati -berdasarkan pengumuman dari al-Asy’ari- bahwa, ‘Ali turun sebagai khalifah dan menolak penurunan Umayyah. (Nasution 1986). Kemudian Kekecewaan terjadi pada orang-orang Khawarij, kemudian mereka meninggalkan pihak Ali dan membentuk kelompok religio-politik tersendiri. (Syahrastani 2003)

Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa, kita menemukan beberapa kelucuan yang dilakukan oleh Khawarij, pertama, penolakan dan kekecewaan mereka adalah akibat dari mereka sendiri yang mendorong khalifah ‘Ali untuk menjalankan arbitrase, kedua mereka percaya terhadap apa yang dikatakan oleh lawan perangnya yakni ‘Amr ibn Ash, bukan percaya pada apa yang dikatakan oleh Abu Musa Al Asy’ari.

Demikian akan sangat panjang diuraikan beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai pembelotan Khawarij dari barisan khalifah ‘Ali, dan tentunya tidak akan menunjang tujuan dari penulisan ini. Kesimpulannya adalah, yang tidak cukup berpengetahuan jangan banyak ambil tindakan, karena itu hanya akan membuang-buang waktu.

Jabariyah merupakan aliran kedua yang lahir atas ketegangan politik islam pasca khalifah ‘Ali, Menurut Nurcholis Madjid, pemikiran Jabariyah kemudian digunakan sebagai keamanan elektabilitas politik Bani Umayyah, hal ini menurut saya sangat masuk akal, dikarenakan pada masa yang sama juga lahir sebuah aliran lain untuk menentang dinasti umayyah, aliran tersebut adalah Qadariyah yang digagas oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. (Kartanegara 1987) Kedua penggagas aliran penentang pemikiran jabariyah tersebut kemudian menemukan kematiannya secara cepat, pada tahun 80 H/699 M, Ma’bad di hukum mati atas perintah Abdul Malik ibn Marwan, tidak lama setelah kematian Ma’bad, Ghailan kemudian menerima hukuman mati pada tahun 105 H/723 M atas perintah Hisyam ibn Malik, kedua orang yang memberikan perintah atas hukuman mati tersebut adalah khalifah dari dinasti Umayyah. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019)

Seseorang yang melaksanakan sesuatu tanpa mengetahui sesuatu tersebut termasuk ke dalam kelompok terendah dalam kebijaksanaan maupun kehidupan. (Suriasumantri 2010)  Hal ini sangat tergambar jelas pada sekelompok orang Khawarij. Meski demikian, ada sekelompok orang yang lebih rendah dari mereka, yakni orang yang meniadakan dimensi ikhtiar dalam berkehidupan, dan merasa diri telah mengetahui segala sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Tuhan, mereka inilah yang disebut dengan jabariyah, hal ini mengingat istilah Jabariah memiliki makna ‘Menolak’ adanya perbuatan manusia. (Syahrastani 2003).

Pada perkembangannya, -saya tegaskan kembali- kedua aliran memang tidak mewujud dalam realitas sosial. Dalam beberapa forum kajian pemikiran islam yang saya ikuti, belum pernah saya mendengar seseorang mengaku sebagai Khawarij atau Jabariyah, bahkan kedua aliran ini seringkali menjadi objek kritik dalam kajian sejarah teologi islam. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan, dalam abad 21 ini, pemikirannya malah banyak terlihat jelas dalam realitas sosial, walaupun tidak diakui, atau dalam bahasa saya disebut dengan ter-taqlid.

Pembacaan Kontekstual Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme dalam Calon Pengurus HMI Cabang Ciputat

Penamaan Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme merupakan penamaan yang dinisbahkan kepada objek kritik tulisan ini. Pada umumnya penambahan kata ‘neo’ terhadap sebuah aliran disesuaikan maknanya dengan makna yang diberikan oleh KBBI, yakni ‘baru’. Maka, istilah Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme berarti sebuah ‘paham’ baru mengenai Khawarij dan Jabariyah.

 Dikatakan sebuah paham baru, pertama, apabila dikatakan bahwa Khawarij melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, maka yang dimaksud dengan neo-Khawarijisme adalah melakukan kesalahan dengan pengetahuan. Kedua, apabila dikatakan bahwa Jabariah menerima begitu saja takdir dari Allah dan meniadakan ikhtiar, maka neo-Jabarisme berarti menerima begitu saja takdir dari pihak tertentu, atau dapat pula berarti terbelenggu, namun neo-Jabarisme yang saya maksudkan adalah terbelenggu pada selain Allah, sehingga menjadi permulaan dari syirik, atau sebagaimana telah saya tuliskan diatas, yakni sakralisasi pada sesuatu selain Allah.

Saya akan membatasi masalah pada tulisan ini, namun sebelum itu, perlu dipahami bahwa tulisan ini ditujukan bagi formateur dan mid formateur terpilih sekaligus calon pengurus HMI Cabang Ciputat terbaru, jadi tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas dan mengkritik pengurus HMI Cabang Ciputat yang telah menjadi demisioner.

Dalam tulisan singkat ini, saya tidak memaksudkan diri untuk memvonis keadaan Islam atau kafir nya objek kritik tersebut, sebab, tentu saja saya tidak dapat melakukan hal tersebut, mereka ini, kalaupun mau, dengan asumsi bahwa mereka adalah Neo-Jabarisme, lebih tepat disebut dengan ateisme terselubung. (Madjid, Islam Agama Peradaban 2000) Sesuatu yang hendak dikritik adalah hal-hal yang sangat berkaitan dengan perkaderan.

Kritik diajukan pada ihwal pelantikan formateur terpilih HMI Cabang Ciputat yang sampai tulisan ini disusun (Rabu, 28 september 2022) belum kunjung dilantik. Akibatnya, training formal berupa latihan kader satu  -yang dijalankan oleh komisariat- akan sangat terganggu. Walau demikian, ihwal tersebut pada gilirannya akan membuat sebuah keanehan yang sangat lucu, keanehan tersebut akan segera anda baca pada paragraf selanjutnya.

Pelantikan merupakan awal dari legitimasi seseorang terhadap amanah yang akan di embannya, dalam hal ini pengurus HMI Cabang Ciputat. Perlu dipahami bahwa formateur dan mid formateur terpilih tidak memiliki kuasa untuk melaksanakan apapun kecuali menyusun struktur dan menyegerakan agenda pelantikan. Formateur dan mid formateur HMI Cabang Ciputat terpilih untuk periode terbaru, sudah melanggar kewenangannya sendiri sebagai formateur, seperti memberikan surat mandat untuk beberapa kader yang akan menunaikan jenjang training lanjut seperti LK 2 dan lain-lain.

Keanehan dapat dilihat pada saat formateur terpilih HMI Cabang Ciputat menggerakkan para kader untuk melaksanakan aksi demo kenaikan BBM, tentu saja perilaku ini tidak buruk, namun perilaku ini sepenuhnya salah. Bagi saya, seharusnya, jika formateur sungguh-sungguh dalam menolak kenaikan BBM tersebut, ada sebuah dialektika intelektual yang dibangun, seperti membuat tulisan berbentuk buku dan lain-lain, kenapa ? hal ini tidak lain untuk memberikan edukasi kepada kader. Jika ditanyakan mengapa hal ini aneh, tentu jawabannya adalah karena mereka belum dilantik.

Sebetulnya lebih menarik lagi jika pengurus cabang mengadakan sebuah forum diskusi, karena dengan demikian, tradisi intelektual di cabang Ciputat bukan lagi sebuah romantisme sejarah melainkan sebuah realitas. Mahasiswa abad 21 ini mengalami banyak krisis, semuanya tentu bertolak dari kurangnya konsumsi intelektual, pengurus cabang seharusnya mampu membaca hal tersebut. Semua ini menjadi kendala karena pengurus cabang tersebut belum dilantik.

Akan tetapi, menjalankan forum diskusi itu pun sebetulnya adalah kesalahan, namun bagi saya, itu mungkin lebih baik, sebab itulah barangkali salah satu ciri mahasiswa yang sudah seringkali menjadi pembahasan dalam materi Mission HMI. Sebab, apabila hanya menggerakkan kader untuk demo, tentu saja hal tersebut -sekilas- dapat bernilai sebagai salah satu cara menggapai popularitas seorang ketua umum baru, jadi yang benar adalah, segerakan pelantikan.

Bukankah romantisme sejarah adalah salah satu faktor yang merusak peradaban ? -sebagaimana dikatakan oleh Cak Nur dalam bukunya ‘Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” pada bagian ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat’,- selain sakralisasi, terlebih, sakralisasi juga ternyata menjadi bagian dalam hal ini, dan akan dijelaskan pada paragraf yang akan datang. (Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan 1991)

Menarik juga untuk membicarakan kendala pelantikan ini. Bagi saya, seluruh pengurus cabang benar-benar telah menjadi dungu, -katakanlah- mereka semua mengetahui bahwa personalia atau struktur pengurus cabang harus telah terbentuk dan pengurus demisioner telah melaksanakan pelantikan, namun pengetahuan tersebut tidak membuat mereka melaksanakan apa yang mereka ketahui, dungu berarti tidak melaksanakan apa yang telah diketahui, jika tidak boleh disebut tidak mengetahui sama sekali. Dalam taraf tertentu, calon pengurus cabang terbaru lebih parah taraf kebodohannya dibandingkan dengan Khawarij. Jelas mereka ini adalah sekelompok orang Neo-Khawarijisme.

Keterlambatan atas pelantikan ini, -jika tidak boleh dikatakan kadaluwarsa- pada akhirnya juga memiliki dampak besar bagi komisariat yang akan melaksanakan basic training atau biasa dikenal dengan latihan kader satu. Pengurus komisariat pelaksana tentunya tidak dapat mengurus administrasi terkait kepada pengurus cabang, seperti surat pemberitahuan latihan kader satu. Pada akhirnya, pengurus cabang sendiri yang menghambat proses perkaderan komisariat, ini adalah sebuah dosa besar perkaderan, sebab komisariat adalah jantung perkaderan.

Saya tidak mempedulikan apa yang menjadi penghambat mereka, yang jelas, saya berasumsi bahwa keterlambatan pelantikan berawal dari pembagian struktur kekuasaan ditingkat presidium, serta banyaknya tekanan politik dari pihak-pihak tertentu. Tekanan politik dari pihak tertentu inilah yang saya sebut dengan Neo-Jabarisme. Apa perbedaannya antara menerima takdir Allah dengan menerima takdir pihak tertentu ? bahkan pengurus cabang lebih lucu dari Jabariah, karena bersandar pada tuhan lain yang tidak lain adalah pihak tertentu itu sendiri. Apabila asumsi saya itu benar, maka ini juga dapat berarti sakralisasi.

Jika demikian, dapat dibayangkan kehancuran HMI Cabang Ciputat yang dipimpin oleh seseorang yang sejak sebelum pelantikan sudah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Kalimat ‘kehancuran’ tentu saja merupakan kalimat yang paling tepat untuk dinisbahkan, mengingat baik Khawarij dan maupun Jabariyah, kedua aliran tersebut memperoleh kemusnahan pada waktu tertentu.

Dinamika apapun seharusnya harus segera dapat di selesaikan oleh seluruh calon pengurus, disini tentu saya tidak hanya tertuju pada formateur dan mid formateurnya, melainkan keseluruhan calon pengurus, baik yang ‘namanya’ tercantum sebagai presidium, maupun sebagai anggota. Seharusnya, mereka (calon pengurus diluar formateur dan mid formateur) juga memperhatikan keadaan komisariat yang ada di Ciputat, sudah lebih dari tiga komisariat yang siap melaksanakan LK 1, kedunguan pun juga terjadi pada calon pengurus, jika tidak boleh dikatakan bodoh murokab.

Dari itu, berdasarkan penjelasan diatas, tentu disini saya akan menyimpulkan bahwa mereka ini dapat secara niscaya, apabila tidak segera berbenah, untuk menjadi seorang Neo-Khawarijisme maupun Neo-Jabarisme sekaligus dalam beberapa pemikiran dan realitas. Selanjutnya, sebagai penutup, saya ingin menuliskan dua point saja, pertama, apabila kita mengetahui bahwa dua aliran tersebut, dengan segala macam kebodohan mereka, telah musnah atau telah tiada, dan kita menemukan bahwa sebatang pemikiran mereka terdapat di dalam tubuh HMI, semestinya kita harus segera membakar sebatang pemikiran tersebut tentunya dengan menggunakan NDP dan penjelasan-penjelasan lain yang telah di gagas oleh para kader pendahulu di HMI -khususnya Cabang Ciputat, dan kedua, silahkan kembali membaca tulisan ini dari paragraf pertama.

Referensi

Hasil-Hasil Kongres HMI XXXI

Kartanegara, Majid Fakhry. Terj. Mulyadhi. 1987. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.

—. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

—. 1991. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

—. 2019. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Syahrastani, Muhammad Ibn Abd Al Karim Asy. 2003. Al Milal Wa Al Nihal. Surabaya: PT Bina Ilmu.

 

Minggu, 14 Mei 2023

Kupinang Kau dengan Filsafat: Mabuk Positivisme (BAG I)

 

‘Puas kau curangi aku ? bagaimana dengan aku ? terlanjur mencintaimu !, yang datang beri harapan, lalu pergi dan menghilang’, tiba-tiba listrik mati dan menghentikan lagu sial Mahalini yang di dengar oleh Comte, tak berselang lama, Comte kemudian menangis sambil menyeka air mata dia berkata:

“Jika saya membenarkan bahwa satu-satunya kebenaran bukan hanya yang terindera, niscaya Mahalini tidak akan menjatuhkan banyak air mata, duhai betapa bodohnya orang-orang yang memaknai lagu ini dengan membatasi konteksnya hanya pada kekasih, padahal yang datang dan menghilang tidak hanya itu, harta, jabatan dan kesenangan dunia lainnya pun demikian”.

Ketika air matanya kering, Comte terbangun kemudian menyadari bahwa ternyata, banyak orang yang telah terpengaruh olehnya, pada saat itu pula dia meminta izin kepada entah siapa, untuk keluar rumah hanya sekedar merevisi tesis dan karya-karyanya, namun permohonan itu ditolak.

Tesisnya itu kemudian terus menjadi bahan diskusi yang menarik perhatian para sarjana, termasuk para ekonom, tesis Comte berkembang menjadi sebuah aliran konsumtivisme yang secara tidak disadari tengah dianut oleh kebanyakan masyarakat pada masa kini, hal ini disampaikan oleh Rostow dan Baudrillard. Bahkan, lebih jauh Baudrillard menilai bahwa, orang-orang yang membenarkan bahwa satu-satunya kebenaran adalah sesuatu yang terindera, adalah orang-orang bodoh, orang-orang semacam ini, kata Baudrillard, mungkin saja tidak pernah paham konsep mengenai angka.

Seiring berjalannya waktu, tesis Comte itu dipergunakan oleh elit politik internasional untuk menghancurkan sebuah peradaban luhur, dengan memasuki ruang-ruang kehidupan yang real, yang terindera, hingga pada tataran tertentu dapat melalaikan manusia dari mengenal dirinya sendiri, padahal, ada seorang pemikir barat -yang beragama islam- bernama Ibn Thufayl yang mengatakan:

“Agar dapat menjalani hidup dengan benar, seseorang harus mengetahui bagaimana ‘wujud’nya diciptakan, dan posisinya di alam semesta”.

Comte kembali menangis ketika melihat seorang gadis bernama Analisa yang sedang asyik membaca karya-karyanya, setelah menghabiskan beberapa buku, Analisa sampai pada sebuah kesimpulan, ia berkata:

“Jika memang demikian, ini juga berarti, kebahagiaan yang hakiki hanya terdapat pada hal-hal inderawi, baiklah saya akan mengamalkannya, hitung-hitung untuk membuktikan teori ini, apabila benar, saya akan mempromosikannya pada seluruh alam semesta, termasuk pada rumput yang bergoyang dan semut yang selalu menjaga tradisi bersalaman”.

Setelah itu, Analisa pergi ke restoran mewah dan memesan menu utama, setelah kekenyangan, ia melirik ke kiri dan ke kanan, ternyata disana terdapat restoran megah, akhirnya ia memutuskan untuk membeli makan kembali dan memesan menu utamanya, namun naas ia malah muntah dan merasakan pusing yang sangat hebat, dalam hati ia berkata:

“Makan di restoran mewah memang membuat saya senang, tapi ternyata ini terbatas dan sementara”.

Nampaknya Analisa adalah gadis bermental baja, rasa penasarannya bak anak kecil, keingintahuannya sangat besar, hingga kejadian serupa kembali terulang saat ia hendak berjalan-jalan naik gunung, saat berada di puncak gunung A, ia melihat puncak gunung B, saat itu pula ia memutuskan untuk segera turun dan menaiki gunung B, saat naik ke gunung b, naas ia pingsan karena kelelahan, dalam hati ia berkata:

“Berada di satu puncak gunung ternyata tidak membuatku puas, namun apalah daya fisik ku yang terbatas”.

Karena penasaran terhadap teori Comte, Analisa melanjutkan petualangan intelektualnya, untuk membuktikan bahwa kebahagiaan hakiki hanya dapat diperoleh melalui hal-hal inderawi, dan bahwa Comte itu benar, serta positivisme adalah kebenaran mutlak. Analisa kemudian mencoba kesenangan inderawi lainnya, ia menggunakan narkoba, obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan, berzinah, berjudi dan jenis aktifitas kebahagiaan inderawi lainnya, namun semuanya tetap berakhir atas nama penyesalan, hal ini, tak lain sebab ke-sementaraan dan keterbatasan adalah sifat utama yang melekat pada objek-objek inderawi.

Atas hal tersebut, Analisa akhirnya dilarikan ke rumah sakit jiwa karena sering mengigau seraya berkata:

“TEOLOGIS, METAFISIK, SAINTIFIK” dengan suara yang sangat keras.

Pada saat di rumah sakit jiwa, Analisa ditemani oleh seorang perawat yang selalu menyediakan air minum sebab ketak-hentian Analisa untuk terus mengulang tiga kata tersebut, perawat itu bernama Hypatia, ia adalah perawat baru.

Rumah sakit jiwa itu berada disebelah Sekolah Tinggi Pemikiran Islam (STPI), kamar Analisa yang hanya terhalang tembok, berjarak 10 meter dari auditorium kampus tersebut, sehingga pada suatu hari Hypatia merasa jengkel

“Ngomongin apaan sih itu ? ga ada manfaat praktisnya ! hidup mah yang saintifik-saintifik aja !”

Mendengar kalimat tersebut, Analisa kemudian diam dan langsung melihat Hypatia dengan tatapan kosong, Hypatia kebingungan hingga langsung memanggil dokter.

“Apa kalimat terakhir yang kau ucapkan Hypatia ?” tanya dokter

“Saya mengatakan, hidup mah yang saintifik-saintifik aja”

“Kenapa kau mengatakan hal tersebut ?”

“Sebab saya merasa terganggu dan muak dengan seseorang yang tengah menyampaikan kuliah di Sekolah Tinggi Pemikiran Islam itu !” jawab tegas dari Hypatia.

Dokter yang kebingungan kemudian diam sejenak, lalu kembali bertanya:

“Apakah ada kata selain itu ? lalu mengapa kau mengeluarkan kata saintifik dari mulutmu ?

Dengan mulut yang agak sinis, Hypatia menjawab:

“Sebab, saya mendengar mereka sedang mengkaji salah satu pemikiran filosof bernama August Comte”

“TEOLOGIS, METAFISIK, SAINTIFIK” Teriak kencang Analisa sembari mengulang-ulang kata tersebut.

Dengan tenang, dokter itu kemudian menatap si perawat, lalu sambil mengangguk dia berkata:

“Saya pikir, orang ini mengalami gangguan mental sebab suatu bacaan, kemungkinan dia membaca pikiran August Comte, saya belum pernah menemukan pasien seperti ini, dan saya tidak tahu apa nama penyakitnya, mungkin, untuk memudahkan, saya akan menamakan penyakit ini sebagai mabuk positivisme”,

Setelah berdialog dengan benaknya sendiri, dokter itu langsung keluar ruangan dan berkata kepada Hypatia

“Jaga gadis ini, saya akan pergi ke sekolah itu untuk menanyakan dosen yang mengisi materi di auditorium dekat kamar ini”,

Dokter ini masih sangat muda, dia bernama Galen.

Selasa, 09 Mei 2023

Konsumsi dan Status Sosial: Gelengan Ekonomi Politik Jean Baudrillard


Konsumsi merupakan kegiatan setiap manusia, kegiatan tersebut selain bersifat individual, juga sekaligus bersifat sosial, tidak mungkin manusia melakukan aktivitas konsumsi secara individual mutlak. Konsumsi pada umumnya dilakukan karena kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder, namun bagaimana jika konsumsi dilakukan karena keinginan, bahkan karena kepentingan status sosial ?

Seorang post-ststrukturalis Perancis, Jean Baudrillard membahas isu ini secara serius dan agak menggelitik dalam bukunya yang berjudul “La societe de consummation”, pembacaan Baudrillard terhadap masyarakat konsumsi memang agak rumit, karena konsumsi dalam pemikiran Baudrillard telah tercampur dengan politik, dan ideologi.

Bagi Baudrillard, semua hal adalah aktivitas konsumsi, semua hal yang dimaksud olehnya adalah gambar, tanda dan pesan, sehingga apapun yang mengandung tiga hal tersebut adalah konsumsi. Konsumsi sendiri sebagai aktivitas ekonomi mengalami dua kendala pada dua level, yang pertama adalah analisis struktural dimana konsumsi dikekang oleh kendala pemaknaan. Kedua adalah level analisis sosio-eko-politis, dimana sejumlah kendala produksi berlangsung.

Wacana Masyarakat Konsumsi

Walt Withman Rostow seorang ekonom modern menyatakan bahwa era modern adalah era masyarakat konsumsi tingkat tinggi, hal ini adalah sebuah keniscayaan dari lima tahap pembangunan ekonomi dunia yaitu tahap masyarakat tradisional, tahap pra-lepas landas, tahap lepas landas, tahap kedewasaan, dan pada akhirnya tahap masyarakat konsumsi tingkat tinggi. (Rostow 1960)

Pembacaan terhadap masyarakat konsumsi tingkat tinggi dapat dilihat pada tahap kedua, karena pada tahapan kedua, menurut Rostow, masyarakat dunia sedang menerima doktrin masal mengenai polarisasi aktivitas ekonomi, pemahaman ekonomi pada saat itu menekankan bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan generasi mendatang. Dengan demikiran, hal tersebut menjadi ide awal hadirnya teori investasi dan tabungan, dengan adanya investasi, adalah hal yang memungkinkan bagi masyarakat untuk mendapatkan uang lebih guna melakukan investasi lebih. (Rostow 1960)

Kecenderungan masyarakat untuk melakukan konsumsi tinggi, pada gilirannya mendapat sebuah kerugian dari pihak produksi, kerugian-kerugian ini terus dirasakan oleh konsumen hingga akhirnya pada tahun 1962, lahirlah sebuah aliran konsumerisme yang ditandai dengan adanya sebuah pidato dari presiden Amerika yakni J.F. Kennedy. Konsumerisme merupakan sebuah gerakan untuk melindungi konsumen. (Armawi 2007)

Pada beberapa dasawarsa lamanya, konsumerisme di era ini justru berubah nada menjadi negatif, hal tersebut adalah akibat dari kapitalisme modern yang memegang sistem ekonomi dunia, tentu saja perlu diakui bahwa kapitalisme modern lahir dari masyarakat konsumsi tingkat tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam logika konsumsi Baudrillard yang menyatakan “produksi hadir atas konsumsi”. Maka konsumsi pada taraf ini sudah berkaitan dengan sistem sosial yang pada akhirnya menunjukkan diri dalam status sosial masyarakat. (Armawi 2007)

Dengan logika konsumsi tersebut, maka perilaku konsumsi masyarakat di era ini cenderung boros, suatu barang tidak dinilai berdasarkan kebutuhannya melainkan keinginannya. Perilaku boros ini kemudian semakin berkecamuk di masyarakat dengan tampilnya media sebagai alat kapitalis yang memuat kepentingan dari segelintir orang yang memegang sistem ekonomi dunia.

Maka dua hal besar yang patut diperhatikan disini adalah, sistem kapitalis dan masyarakat konsumsi, namun Baudrillard dalam bukunya La Societe de Consommation cenderung lebih banyak menggambarkan konsumsi dan status sosial, hal ini menurut penulis juga dilatar belakangi dengan corak pemikiran Baudrillard yang postmodernis dan strukturalis.

Konsumsi dan Status Sosial

Pemahaman yang sangat umum bagi kita jika mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial, bukti empirisnya sudah dapat dipastikan sejak fase kelahiran manusia sebagai seorang bayi. Pada saat bayi, manusia sudah langsung membutuhkan pertolongan dari orang lain -yaitu ibunya- untuk dapat selamat saat dilahirkan, setelah lahir, bayi juga membutuhkan susu dari sang ibu. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi sekaligus interaksi sosial adalah hal yang nature bagi manusia. Dalam analogi tersebut juga dapat dipahami bahwa tujuan utama konsumsi adalah memenuhi kebutuhan bukan untuk status sosial.

Menurutku, wacana mengenai konsumsi dan status sosial harus dikembalikan kepada tataran ide atau pengetahuan, jika mengutip pendapat Murtadha Muthahari, tindakan adalah hal yang lahir dari ideologi, ideologi lahir dari pandangan dunia, dan pandangan dunia lahir dari pengetahuan, karena itu pengetahuan seseorang akan mempengaruhi tindakannya. (Muthahari 2019)

Berdasarkan proposisi posibilitas pengetahuan tersebut, dalam konteks konsumsi dan status sosial, Baudrillard -menurut George Ritzer- adalah seorang ekonom postmodernis yang mencoba menggali hal itu dari dimensi yang paling mengakar, dengan konstruksi ide semacam itu, menurutku, adalah hal yang menarik untuk membaca ulang pemikirannya mengenai masyarakat konsumsi dalam karyanya yang berjudul La societe de consummation.

Menurut Baudrillard, segala sesuatu adalah objek konsumsi, karena itu konsumsi merupakan sebuah nilai bagi manusia. Konsumsi modern dibungkus dengan busana “suasana”, sehingga memungkinkan pula untuk konsumen membeli produk yang tidak dibutuhkan, keindahan kemasan adalah kunci keberuntungannya. (Baudrillard 2018)

Kebutuhan, keinginan dan suasana telah tercampur, sehingga melahirkan istilah baru yang disebut drugstore. Drugstore ini pada gilirannya tidak hanya ada di mall-mall besar, melainkan berupa angkringan, dan lain-lain. Keindahan suasana ini menurut Baudrillard dapat menjadikan seseorang pada akhirnya akan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkannya. (Baudrillard 2018)

Selain suasana, konsumsi juga dikaitkan erat dengan media, media ini kemudian akan mempengaruhi aspek psikologis seseorang untuk melakukan konsumsi yang bahkan tidak ada nilai kebutuhannya, platformnya sangat beragam, mulai dari platform yang khusus untuk melakukan aktivitas konsumsi seperti tokopedia, shopee dan lain-lain sampai platform yang kegunaan hakikinya adalah untuk interaksi sosial, seperti facebook, instagram dan lain-lain.

Platform tersebut menurut Baudrillard pada akhirnya telah tercampur dengan kepentingan politik segelintir orang, sehingga efek yang dirasakan akan sangat dahsyat, bahkan pada taraf tertentu mampu memberikan fantasi kepada masyarakat. Dua hal ini, yakni suasana dan konsumsi, sasaran awalnya adalah individu, karena memang ciri masyarakat konsumsi menurut Baudrillard adalah individual. (Baudrillard 2018)

Adanya pengaruh aspek politik dan psikologis tersebut, pada gilirannya akan menghantarkan asumsi masyarakat kepada konsumsi praktis, yakni aktivitas konsumsi berdasarkan rasa ingin tahu. Inilah hal yang juga menunjang bahwa konsumsi dilakukan untuk menggapai status dan berakhir pada diferensiasi sosial. (Baudrillard 2018)

Konsumsi tingkat tinggi merupakan cita-cita masyarakat konsumsi, dalil yang mereka gunakan adalah dalil kebahagiaan, padahal aktivitas konsumsi yang dilakukan cenderung berdasarkan asas ignorance terhadap objek konsumsi tersebut.

Kesimpulannya, konsumsi adalah nilai, konsumsi modern yang telah tercampur aduk dengan politik dan ideologi pada akhirnya akan mempengaruhi status sosial, seseorang tidak lagi akan dinilai sebagai orang miskin atau orang kaya dari sisi lain selain sisi konsumsi, tidak peduli masyarakat desa atau kota, karyawan atau pejabat, ia akan menjadi kaya jika melakukan aktivitas konsumsi yang tinggi, dan akan dinilai miskin jika aktvitas ekonominya rendah. Era modern merupakan era masyarakat konsumsi tingkat tinggi, karena itu aktivitas konsumsi bergeser nilainya, bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan, melainkan sebagai gaya hidup.

Sabtu, 06 Mei 2023

Dialog Diri: Tentang Cinta

 

Menulis, adalah sama saja bagiku dengan bercerita, dan mungkin ini akan terus berlanjut sampai jiwaku kembali kepada dzat yang kasih dan penyayang, sekalipun aku memiliki istri kelak, apabila umurku panjang, namun, dikarenakan aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, yang aku Yakini adalah, aku dapat menulis sampai Izrail tersenyum dihadapanku.

Malam hari, di kontrakan yang gelap, aku hanya ingin menulis seperti biasanya. Aku terbiasa melakukan ini ketika pikiranku terganggu, karena, selain aku menyukai kesunyian, aku memang benar-benar tidak memiliki teman yang dapat mendengarkan seluruh ceritaku, temanku memang banyak, tapi tak ada satupun yang benar-benar mengerti, sekalipun aku sudah berusaha untuk selalu mengerti mereka.

Aku memang sering kesepian, namun dalam sepi itu, sebuah jawaban mengenai pasangan ideal datang menghampiriku hatiku -yang digenggam oleh Tuhan- bahwa pasangan yang ideal bagiku adalah seseorang yang kelak nanti -dengan keikhlasan- mau untuk mendengarkan cerita-cerita payahku.

Tulisanku tak menentu, aku hanya menulis sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam benakku, dan itu tidak hanya masalah pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan yang selalu meruang, melainkan masalah perasaan. Aku pernah tiga kali jatuh cinta, namun tak pernah abadi, semuanya sirna atas takdir Tuhan, hingga aku pernah berpikir bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi kepada makhluk-makhluk Tuhan ini. Makhluk Tuhan -selain tak abadi,- mereka juga tak sebaik Tuhan, mungkin saja mereka demikian, karena memang mereka bukanlah Tuhan, akan tetapi, apabila manusia sepertiku menginginkan rasa cinta yang hakiki, maka objek cinta itu sendiri haruslah Tuhan, namun dapatkah aku menjadi seperti demikian ? aku pikir itu akan terasa sangat sulit, aku bukanlah seorang yang alim dan sholeh, aku hanya manusia biasa seperti yang lainnya.

Lalu, apabila mencintai harus demikian ? mengapa Tuhan memberi kita cinta kepada selainnya ? apakah ini ujian ? atau anugerah ? tetapi, bila ini anugerah ? salahkah aku apabila kembali jatuh cinta ? bagaimana ? sedang cinta sendiri bukanlah sesuatu yang berada di dalam kendaliku, mataku -yang merupakan instrumen pengetahuan- menyerap keelokan yang mendalam itu, kemudian cinta, apakah aku harus menjadi buta agar aku hanya dapat mencintai Tuhanku ? tidak, tentu saja tidak, karena apabila aku buta, aku akan kehilangan suatu pengetahuan lain yang bernilai baik, seperti ilmu-ilmu ketuhanan yang menjadikanku mengenal Tuhanku, tak pernah terpikir olehku apabila aku menjadi buta sejak dilahirkan, mungkin saja aku tidak pernah mengetahui bahwa awan berwarna putih, api berwarna merah, serta hal-hal lainnya.

Betapa pahitnya hidup ini apabila mencintai selainmu Tuhan, aku tahu itu, sudah banyak karya para pemikir islam yang menjelaskannya, tetapi, kenapa aku masih saja belum merasakan cinta itu ? aku tengah melaksanakan perintah-perintahmu, aku juga mengenalmu, engkau Tuhanku yang Esa, Terdahulu, dan Abadi.

Ya Tuhan, sejujurnya aku belum pernah jatuh cinta melalui pendengaranku, sehingga, agaknya telingaku tidak terlalu mempengaruhi objek apa yang akan aku cintai, begitu Tuhan. Aku hanya memiliki konflik internal antara mata, akal dan hatiku, ketiga instrumen ini seringkali meramaikan suasana diskusi dalam diriku, dan engkau pasti mengetahui itu Tuhan.

Nah, bagaimana jika begini saja, bukankah makna kalimat alhamdulillah itu adalah “segala puji bagi Tuhan” ? dan aku mendapatkan bahwa pujian itu terbagi menjadi empat -tentu pembagian ini menggunakan qismah tafshiliyah sebagaimana diajarkan oleh Syekh al-Mudzaffar dalam kitab manthiqnya, dari keempat pujian itu, semuanya harus diorientasikan kepada Tuhan, nah urutan terakhir dalam pujian itu adalah haditsun ‘ala al-hadits, jadi mungkin saja aku mencintai makhluk, akan tetapi kecintaanku kepada makhluk, selain pada hakikatnya adalah kecintaanku padamu, juga harus dengan sengaja aku orientasikan untukmu -Tuhan.

Bagaimana jika begitu ? kini, aku tidak akan ragu lagi untuk mencintai makhlukmu, karena pada hakikatnya, ketika aku mencintai makhlukmu, aku tengah mencintaimu. Terlebih, ada salah satu pemikiran sufistik yang sangat melekat dalam pikiranku yang menyatakan bahwa manusia adalah cermin Tuhan, bahkan dalam literatur sufistik yang lebih ekstrim, dalam sejarah dinyatakan bahwa ada seorang sufi bernama al-Hallaj yang mengatakan ana al-haqq, yang walaupun berujung dengan kematian, itu membuktikan bahwa memang manusia merupakan cermin Tuhan.

Aku sangat yakin, dikarenakan manusia berasal dari Tuhan, dengan segala rekayasa penciptaan dan peniupan ruh kedalamnya, maka dalam diri manusia pun terdapat Tuhan, ini bukan berarti manusia adalah Tuhan, karena tentu saja manusia dan Tuhan itu berbeda, karena setiap ciptaan akan senantiasa terdapat perberbedaan dengan sang pencipta, maksudku, dalam diri manusia itu ada Tuhan, karena ruh merupakan bagian Tuhan, akan tetapi ruh bukan Tuhan, ia hanya bagian darinya. Sederhananya, aku tidak perlu khawatir, sekalipun aku belum benar-benar dapat mencintaimu secara langsung, ketika aku mencintai makhlukmu dengan orientasi yang benar, maka aku sudah dapat mencintaimu, walaupun secara tidak langsung.

Bahagianya aku, kini salah satu masalah rumit yang ada dipikiranku dapat terselesaikan. Akan tetapi ya Tuhan, bagaimana jika aku menjalin kasih, maksudku berpacaran, apakah tidak apa-apa ? aku pikir ini tidak baik, karena, pacaran itu dapat mengaburkan orientasiku, lantas bagaimana baiknya ? oalahhh, ada pernikahan, inilah solusinya, namun, apakah dengan itu akan menjamin keutuhan orientasiku ? bukankah pernikahan hanyalah jawaban syariat agar aku terhindar dari dosa zinah ? aku harus bagaimana ?

Aku berpikir bahwa pernikahan -sekalipun merupakan syariat agama islam dalam menghadapi masalah perzinahan-, adalah merupakan bentuk menyelingkuhi Tuhan yang amat nyata, bagaimana tidak ? bukankah cinta tidak menerima dualitas ? kita tidak dapat mencintai dua objek dalam satu waktu yang sama. Jika demikian, Apakah aku perlu menikah ?

Tadi aku sudah mendapat jawaban, tidak apa-apa aku mencintai makhluk jikalau orientasi cintaku adalah Tuhan itu sendiri, tidak apa-apa karena manusia merupakan cermin Tuhan, ada bagian Tuhan dalam diri manusia. Saat ini aku kembali bimbang, apakah denga  begitu orientasiku akan tetap terjaga, bukankah setan selalu mengganggu pikiranku, yang aku takutkan adalah, ketika aku menikah, mungkin saja orientasiku tetap mencintai Tuhan, akan tetapi apakah itu akan bertahan lama ? sepengalamanku, mencintai objek selain Tuhan tetap mengandung konsekuensi yang negatif, sekalipun itu tidak secara terus menerus. Oh iya aku lupa, aku adalah benda materi, jadi aku akan dengan mudah mencintai hal-hal materi, jadi aku sangat yakin, sekalipun aku mencintai makhluk dengan orientasi demikian, dapat dipastikan, orientasiku sesekali juga dapat berubah. Terlebih, apabila makhluk yang kucintai merupakan seseorang yang aku idealkan. Gawat, pikiranku mulai kacau.

Aku menjadi tidak yakin dengan jawaban itu. Begini saja, dikarenakan di dalam diri manusia hanya terdapat -ruh yang merupakan- bagian dari Tuhan, akan tetapi jika dipikir kembali, semua yang ada pada manusia adalah milik Tuhan, manusianya sendiri pun adalah milik Tuhan. Manusia pertama, yakni Adam, diciptakan langsung oleh Tuhan dari tanah yang juga merupakan ciptaan Tuhan, tanah itu terdapat di alam semesta yang juga diciptakan oleh Tuhan, maka semua hal yang ada selain Tuhan berasal dari Tuhan, karena itu, kenapa tidak langsung saja mencintai Tuhan ? apakah itu sulit ?

Sesulit apapun itu, apabila kita mengetahui hal-hal positif yang kembali kepada kita, tentu kita akan senantiasa ikhlas melakukannya. Misalnya saja, ketika kita mencintai Tuhan, sudah tentu kita akan mengadu hanya kepadanya, dan ketika kita mengadu kepadanya, Tuhan tidak akan berkomentar atau mengadu Nasib dengan kita, Bukankah hal ini yang diinginkan oleh setiap orang yang sedang bercerita tentang kebahagiaan atau keluh kesah hidupnya ?, jadi, hal ini adalah masuk akal, kita hanya harus mencintai Tuhan, dengan mencintainya, kita tidak perlu khawatir akan jatuh cinta pada selainnya, karena Tuhan sudah cukup. Hal ini tentu saja berbeda ketika kita mencintai selain Tuhan, dikarenakan selain Tuhan itu selalu terdapat kekurangan, dan kita akan selalu mencari pelengkap kekurangan itu agar menjadi puas, kita akan puas ketika objek yang kita cintai sudah tidak terdapat kekurangan, dan hanya Tuhanlah yang tidak memiliki kekurangan, karena dia mukhalafat lil al-hawadits.

Kesimpulannya, aku barangkali dapat mencintai makhluk Tuhan dengan orientasi yang benar, yakni orientasi cinta kepada Tuhan, maksudnya, ketika aku mencintai makhluk berarti aku mencintai Tuhan, karena ada bagian Tuhan dalam setiap makhluk. Akan tetapi, hal ini masih mengandung keraguan, satu-satunya obat untuk menghilangkan keraguan itu adalah dengan mencintai Allah sendiri, dan apabila cinta itu akan tumbuh dengan melakukan apa yang disukai dan menjauhi apa yang tidak disukai oleh objek cinta, maka kita hanya perlu beribadah dan menjauhi maksiat, baik yang bersifat esoterik maupun esoteris, dengan demikian, cinta kita kepada Tuhan akan tumbuh, ketika kita sudah mencintai Tuhan, maka cukuplah itu, karena Tuhan tidak memiliki kekurangan.

Makrifat Wudhu: Membaca Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani


Dalam beberapa tongkrongan kajian islam kontemporer di Indonesia, wudhu seringkali dipahami sebagai sebab sahnya sholat, karena itu, wudhu terbatasi pada kajian fikih, atau dalam pengertian lain, wudhu hanya merupakan pengetahuan furu’iyah (cabang) dalam kontes pengkajian islam,-dalam hal ini adalah sholat.

Walau demikian, hal tersebut tetap penting, mengingat bahwa sholat merupakan ibadah yang utama dalam islam, dikatakan oleh para fuqaha, bahwa sahnya sholat bergantung pada sahnya wudhu, dan karena itu pula, ada kaidah logika yang menyatakan bahwa untuk memahami satu hal kita perlu memahami hal lainnya, dalam hal ini, ketika kita ingin benar-benar melaksanakan sholat, dan telah diketahui bahwa syarat sahnya sholat salah satunya adalah wudhu, maka kita harus pula mempelajari wudhu dengan benar.

Pandangan Eksoterisisme

Telah dikemukakan diatas bahwa wudhu -dilihat dari sisi fikih- merupakan bagian yang penting dari sholat, kajian wudhu masuk ke dalam lingkup pembahasan thaharah (bersuci), biasanya, kajian mengenai wudhu dimulai dengan pembahasan mengenai air yang di dalamnya meliputi jenis-jenis air, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan jenis air yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Setelah itu, pembahasan dilanjutkan pada point-point seputar fardhu wudhu, hal-hal yang membatalkan wudhu dan lain sebagainya. Sampai disini, agaknya kita dapat memahami bahwa orientasi wudhu dalam fikih adalah melaksanakan syarat sah sholat, adapaun implikasi lainnya yang diperoleh dari wudhu adalah, seseorang dapat membaca al-Qur’an, sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an sendiri, untuk memegangnya seseorang harus dalam keadaan suci, “la yamassuhu illa al muthahharuna”, atau berwudhu juga dianjurkan bagi seseorang yang hendak melaksanakan amaliyah amaliyah tambahan yang diperoleh melalui ulama-ulama, atau dalam kalangan pesantren tradisional biasa disebut dengan tawasulan, wiridan atau tirakatan.

Tawasulan, wiridan dan tirakatan adalah nama dari tingkah laku ibadah dalam islam yang dalam perbendaharaan para wali-wali Allah dikenal dengan esoterisisme, meliputi penyucian jiwa melalui ritus-ritus tertentu, ritus-ritus tersebut telah berkembang dengan sangat beragam, walau demikian, ritus tertinggi dari seluruh ritus yang ada adalah melafalkan kalimat tauhid, yakni lailaha illa Allah.

Pandangan Esoterisisme

Diatas telah dikemukakan bahwa orientasi utama wudhu dalam literatur yurispudensi islam adalah syarat sah-nya sholat, disini, menarik bagi kita untuk melirik pandangan dari al-Bantani (selanjutnya akan kita singkat menjadi al-Bantani saja) dalam kitabnya nashaihu al-‘ibad dengan mengutip pandangan Ibn Hajar al-‘Asqalani yang juga mengutip pandangan Ibn Abbas, mengatakan bahwa sholat adalah pintu bagi seluruh amal shaleh, apabila pintu itu terbuka, maka terbukalah seluruh pintu amal, dan sebaliknya, apabila tertutup, maka tertutuplah seluruh pintu amal.

Berdasarkan argumentasi diatas, kita dapat memiliki sebuah pemahaman bahwa, dikarenakan sholat adalah pintu, maka kuncinya adalah wudhu, dan pintu semewah apapun akan mustahil terbuka apabila kunci yang digunakan tidak sesuai.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa wudhu -sekalipun merupakan pengetahuan cabang- tetap tidak boleh dipandangan sebelah mata, hal ini, agar wudhu yang dipahami sebagai kunci, dapat dengan benar membuka pintu amal shaleh yang dipahami sebagai sholat.

Setelah memahami posisi penting wudhu, marilah kita beranjak pada pembahasan orientasi dan implikasi wudhu dalam pandangan para sufi. Al-Bantani mengatakan, bahwa Abu Hurairah berkata nabi Muhammad tengah bersabda “ada tiga perkara yang menyelamatkan (munjiyat), tiga perkara merusak (mukhlikat), tiga perkara meninggikan derajat (darajat) dan tiga perkara menghapus dosa (kaffarat)”, untuk kelengkapan informasi, disini akan dituliskan masing-masing isi dari tiga perkara tersebut, selanjutnya akan diinterpretasikan perkara khusus yang menjadi perhatian dalam tulisan ringkas ini, yakni wudhu.

Masing-masing isi dari tiga perkara tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Tiga munjiyat

a.     Takut kepada Allah saat sendirian maupun ramai

b.    Hemat, baik saat fakir maupun kaya

c.     Adil, baik saat ridha maupun benci.

2.      Tiga mukhlikat

a.     Terlalu bakhil

b.    Menuruti hawa nafsu

c.     Bangga terhadap diri sendiri

3.      Tiga darajat

a.     Mengucapkan salam, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak

b.    Memberi makan bagi tamu maupun orang yang sedang kelaparan

c.     Sholat malam saat orang lain tertidur.

4.      Tiga kaffarat

a.     Menyempurnakan wudhu meski cuaca dingin

b.    Melangkahkan kaki untuk sholat berjama’ah

c.     Menunggu waktu sholat yang akan datang setelah mengerjakan

sholat.

Untuk menambah pengetahuan, dan sebelum aku melakukan interpretasi, perlu diketahui lebih jauh, ada satu hadits lagi yang dikutip oleh al-Bantani, dalam hadits tersebut nabi mengatakan bahwa ada tiga golongan manusia yang akan dinaungi Allah di bawah Arsy-nya pada hari di saat tak ada lagi naungan selain naungan Allah, salah satu dari ketiga golongan itu adalah orang yang komitmen dan konsisten menjaga wudhunya sekalipun dalam keadaan sulit.

Kemudian, sebagai pengantar untuk memahami interpretasi dalam tulisan ini, agaknya menarik untuk terlebih dahulu memperhatikan penjelasan yang disampaikan pula oleh al-Bantani dalam kitab kasyifah al-sajah, ketika tengah membahas bab wudhu, al-Bantani mengatakan bahwa, dari setiap anggota tubuh yang menjadi bagian wudhu, ada empat bagian yang dikhususkan, bagian itu adalah tempat dilakukannya dosa oleh nabi ‘Adam, yakni kaki, tangan, mulut dan kepala.

Lebih lanjut, kaki digunakan untuk berjalan, tangan untuk mengambil, mulut untuk mengunyah, dan kepalanya tersetuh daun, dari sini, al-bantani mengatakan bahwa, tingkah berjalan, mengambil, menguyah, dan tersentuh disini yang dimaksud adalah gerak nabi ‘Adam kepada pohon khuldi.

Manusia, sekalipun merupakan makhluk berketuhanan sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, tentunya, memiliki potensi lalai dan terjerumus nikmat dalam tarian dosa-dosa, hal ini tentu masuk akal, sebab itulah Allah mengutus Rasul dengan segala muatan wahyunya.

Kelalaian manusia ini, menurutku bermula dari apa yang dilihat dan apa yang di dengar, alat melihat disebut mata, sedangkan alat mendengar disebut telinga. Ada alat yang terletak di kepala pada bagian wajah yakni mata, karena itu pula, dalam berwudhu, salah satu fardhunya adalah membasuh wajah, dan salah satu sunnahnya adalah mengusap telinga, hal ini menurutku, tentunya tak lain adalah wujud Maha Kasih Allah sebagai jalan penghapusan dosa yang bermula dari kedua alat tersebut, terlebih kedua alat ini adalah bagian dari indera, yang oleh para filosof disebut dengan instrumen pengetahuan.

Diceritakan bahwa sebab tingkah makannya nabi ‘Adam merupakakan rayuan dari Siti Hawa, rayuan ini, tentu saja hanya dapat dipahami melalui dua jalur, pertama melalui telinga, apabila rayuan diberikan dengan cara berbicara, dan yang kedua melalui mata, apabila rayuan diberikan melalui isyarat, selain dua jalur ini adalah kemustahilan, karena dapat dipastikan pula seseorang yang sedari lahir tak dapat melihat dan mendengar tentunya tak dapat mengetahui apapun.

Dari sini, tingkah berjalan, tingkah memakan dan tingkah mengambilnya nabi ‘Adam terhadap buah khuldi merupakan informasi di akalnya yang masuk melalui mata atau telinga dan kemudian melahirkan sebuah tindakan berbentuk ketiga tingkah yang telah disebutkan.

Berdasarkan uraian tersebut, barangkali kita dapat memahami bahwa wudhu bukan hanya sekedar menghapuskan dosa, wudhu, pada tataran tertentu dapat dipahami sebagai sebuah ritus yang memiliki implikasi mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak bermaksiat kepada Allah, dan apabila seorang muslim benar-benar berislam dan beriman, setelah mengetahui hal ini, alih-alih hendak melakukan maksiat, bahkan untuk niat bermaksiat pun harusnya malu.

Sebelum mengakhiri pembahasan ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa, apabila wudhu saja yang merupakan kunci dari terbukanya pintu (baca sholat) dapat menghapus dosa, dan pada tataran tertentu yang harusnya tidak diragukan lagi, wudhu juga dapat mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak bermaksiat, bagaimana dengan sholat ?

Bisa dikata, ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa sholat dapat mencegah manusia dari mengerjakan larangan-larangan Allah, maka untuk dapat dengan benar mencapai rasa ‘mencegah’ tersebut, tentu dimulai dari wudhu yang benar, yang -sebagaimana telah dijelaskan diatas- salah satu fardhunya adalah membasuh wajah, di dalam wajah itu terdapat mata, dan salah satu sunnahnya adalah mengusap telinga, dimana mata dan telinga merupakan jalur masuk tahap pertama pengetahuan manusia yang kemudian akan melahirkan tindakan, dari itu, kita dapat memahami, apabila tahap pertama dapat dicegah, -dalam hal ini adalah maksiat, maka mustahil tahap kedua dapat terlaksana.

Bukankah orang buta tidak mengetahui warna dan orang tuli tak mengetahui suara ? lalu, apabila mereka tidak mengetahui, bagaimana -misalnya- orang buta hendak memilih warna dan orang tuli hendak memilih lagu ?

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...