Dalam sejarah politik dunia, Islam sempat menemui
momentum ketegangan politik pada masa khalifah ‘Utsman dan khalifah ‘Ali,
ketegangan politik tersebut kemudian melahirkan apa yang oleh Nurcholis Madjid
disebut dengan al-fitnah al-kubra pertama yang terjadi pada masa ‘Utsman,
dan kedua terjadi pada masa ‘Ali. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019) Ketegangan
tersebut kemudian melahirkan beberapa aliran teo-politik, salah satunya adalah Khawarij
yang mewakili kaum kiri, dan Jabariyah yang mewakili kaum kanan. (Kartanegara 1987)
Khawarij adalah sekelompok orang lucu, berpengatahuan
dangkal mengenai Islam, sehingga pikiran-pikirannya mengenai arbitrase antara
khalifah ‘Ali dengan Muawiyah membuahkan intrik teo-politik berkepanjangan
dalam sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Sisi lain, Islam juga di warnai
dengan sebuah aliran pesimisme yakni Jabariyah. Jabariyah merupakan aliran yang
diadopsi oleh rezim politik Umayyah untuk keamanan elektabilitas politiknya. (Madjid,
Khazanah Intelektual Islam 2019)
Dua aliran teologi Islam itu memang tidak tumbuh dan
berkembang dalam realitas sosial pada abad ini, namun ide dan kedunguan mereka
tetap masih ramai ter-taqlid, bahkan dalam beberapa hal di jalankan
sendiri oleh elite politik HMI, yang pada beberapa orang memang mengetahui hal
tersebut, namun di sisi lain, banyak yang tidak mengetahuinya -jika tidak boleh
disebut tidak memahami. Dua aliran tersebut, menurut saya merupakan aliran yang
lucu, sehingga orang yang menjalankan pemikiran atau ide-ide nya adalah lebih
dari pada dungu, jika tidak boleh disebut bodoh.
Tulisan ini hendak melakukan kritik keadaan pengurus
atau lebih tepatnya calon pengurus HMI Cabang Ciputat dengan pembacaan
kontekstual terhadap dua aliran teologi
islam, yakni Khawarij dan Jabariyah. Kritik di ajukan kepada elite politik yang
seringkali merugikan perkaderan HMI dengan mengedepankan ego politik, aktivitas
tersebut tentunya sudah tidak sesuai dengan landasan perkaderan, terutama
landasan teologis.
Ketidaksesuaian -sebagai asumsi saya- terdapat pada
adanya sakralisasi terhadap sesuatu selain Allah, karena dalam teks pedoman
perkaderan, salah satu kalimat dalam landasan teologis adalah:
“Sebagai bentuk dasar akan adanya “kesadaran
ketuhanan” tersebut, maka manusia harus pula dapat menginternalisasi konsep
tawhid yang merupakan perwujudan kemerdekaan yang ada padanya. Implikasi logis
dari tawhid itu sendiri adalah meneguhkan sikap dan langkahnya sebagai
khalifah, dengan cara tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apapun juga
dengan cara meninggalkan praktek mengangkat sesama manusia sebagai
‘tuhan-tuhan’ (arbab), selain kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan” ialah menjadikan sesama manusia
sebagai sasaran penyembahan, dedikasi, devosi, atau sikap pasrah total.”
Dengan mengacu teks tersebut, menurut saya, sakralisasi
merupakan awal dari kelanjutan sebuah praktek penyembahan manusia. Namun,
dengan sedikit husnudzhan, saya juga berpikir bahwa, -tentu saja mereka
(para calon pengurus ini) tidak sampai pada tingkat meninggalkan Allah sebagai
Tuhan, selain karena memang Allah selalu bersama kita sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an, bahwa dia dekat dengan kita (Q.S. 2:186)- mereka masih
menggunakan prinsip “ini mah cuma saran”, yang mana, saran-saran itulah yang
sering membelenggu kebebasan mereka, walau pada tataran tertentu, saran
tersebut memang tidak digunakan. Sang pemberi saran itulah yang saya sebut
sebagai CATU (calon Tuhan) mereka, dan saran itu sendiri dapat diibaratkan
sebagai wahyu, dimana ketika turun, kata siap menjadi jawaban
andalannya.
Khawarij
dan Jabariyah: Pemikiran dan Analisis Perkembangannya
Khawarij sebagai salah satu aliran dalam teologi
islam, lumayan memiliki banyak pengikut, Harun Nasution mengatakan ada sekitar
12.000 orang yang mengikuti aliran ini. Dalam perjalanannya sebagai aliran
teologi, Khawarij mendapatkan perpecahan tersendiri dalam tubuhnya, terdapat
aliran pecahan seperti Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-‘Ajaridah,
Al-Sufriah, Al-‘Ibadiah. (Nasution 1986)
Sebagaimana telah disebutkan diatas, Khawarij
merupakan sekelompok orang berpengetahuan dangkal. Kedangkalan ilmu yang
mengeneralisir pada pengikutnya, adalah karena kebanyakan dari pengikutnya merupakan
orang Arab Badawi, hidup di padang pasir yang tandus membentuk kepribadian yang
sederhana dalam pola pikir, pola tindak dan pola laku. Hal ini juga kemudian
yang menjadi sebab keterpecahan dalam tubuh Khawarij. (Nasution
1986)
Berdasarkan keterpecahan atas kerendahan pengetahuan
tersebut, hingga secara logis melahirkan beberapa kebodohan lainnya seperti
konsep hijrah, dan vonis kafir terhadap empat orang yang melakukan arbitrase,
yakni pihak Muawiyah yang didampingi oleh ‘Amr ibn Ash dan pihak khalifah ‘Ali
yang didampingi oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Menarik untuk melihat tulisan Syahrastani dalam al-Milal
Wa al-Nihal, Syahrastani menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok orang
yang mendorong khalifah ‘Ali untuk menerima arbitrase, kemudian mereka
(Khawarij) menolak pendapat khalifah Ali yang menunjuk Abdullah ibn Abbas
sebagai orang yang mendampinginya untuk menjalankan arbitrase, akhirya
orang-orang Khawarij ini mengajukan kepada Ali agar Abu Musa al-Asy’ari lah
yang menjadi pendampingnya untuk menjalankan arbitrase bersama pihak Muawiyah. (Syahrastani
2003).
Arbitrase kemudian dijalankan oleh empat orang
tersebut, dan hasil dari arbitrase tersebut adalah kesepakatan untuk
menjatuhkan kedua pemimpin yakni ‘Ali sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai
gubernur, namun yang berkata jujur dalam menyampaikan hasil kesepakatan
tersebut kepada khalayak hanyalah Abu Musa al-Asy’ari. Di pihak lain, malah
terjadi kelucuan pada Amr ibn Ash yang menyepakati -berdasarkan pengumuman dari
al-Asy’ari- bahwa, ‘Ali turun sebagai khalifah dan menolak penurunan Umayyah. (Nasution 1986). Kemudian Kekecewaan
terjadi pada orang-orang Khawarij, kemudian mereka meninggalkan pihak Ali dan
membentuk kelompok religio-politik tersendiri. (Syahrastani 2003)
Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa, kita menemukan
beberapa kelucuan yang dilakukan oleh Khawarij, pertama, penolakan dan
kekecewaan mereka adalah akibat dari mereka sendiri yang mendorong khalifah ‘Ali
untuk menjalankan arbitrase, kedua mereka percaya terhadap apa yang dikatakan
oleh lawan perangnya yakni ‘Amr ibn Ash, bukan percaya pada apa yang dikatakan
oleh Abu Musa Al Asy’ari.
Demikian akan sangat panjang diuraikan beberapa
pendapat yang menjelaskan mengenai pembelotan Khawarij dari barisan khalifah ‘Ali,
dan tentunya tidak akan menunjang tujuan dari penulisan ini. Kesimpulannya
adalah, yang tidak cukup berpengetahuan jangan banyak ambil tindakan, karena
itu hanya akan membuang-buang waktu.
Jabariyah merupakan aliran kedua yang lahir atas
ketegangan politik islam pasca khalifah ‘Ali, Menurut Nurcholis Madjid,
pemikiran Jabariyah kemudian digunakan sebagai keamanan elektabilitas politik Bani
Umayyah, hal ini menurut saya sangat masuk akal, dikarenakan pada masa yang
sama juga lahir sebuah aliran lain untuk menentang dinasti umayyah, aliran
tersebut adalah Qadariyah yang digagas oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
al-Dimasyqi. (Kartanegara 1987) Kedua penggagas aliran penentang
pemikiran jabariyah tersebut kemudian menemukan kematiannya secara cepat, pada
tahun 80 H/699 M, Ma’bad di hukum mati atas perintah Abdul Malik ibn Marwan,
tidak lama setelah kematian Ma’bad, Ghailan kemudian menerima hukuman mati pada
tahun 105 H/723 M atas perintah Hisyam ibn Malik, kedua orang yang memberikan
perintah atas hukuman mati tersebut adalah khalifah dari dinasti Umayyah. (Madjid,
Khazanah Intelektual Islam 2019)
Seseorang yang melaksanakan sesuatu tanpa mengetahui
sesuatu tersebut termasuk ke dalam kelompok terendah dalam kebijaksanaan maupun
kehidupan. (Suriasumantri 2010) Hal ini sangat tergambar jelas pada sekelompok
orang Khawarij. Meski demikian, ada sekelompok orang yang lebih rendah dari
mereka, yakni orang yang meniadakan dimensi ikhtiar dalam berkehidupan, dan
merasa diri telah mengetahui segala sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Tuhan,
mereka inilah yang disebut dengan jabariyah, hal ini mengingat istilah Jabariah
memiliki makna ‘Menolak’ adanya perbuatan manusia. (Syahrastani 2003).
Pada perkembangannya, -saya tegaskan kembali- kedua
aliran memang tidak mewujud dalam realitas sosial. Dalam beberapa forum kajian
pemikiran islam yang saya ikuti, belum pernah saya mendengar seseorang mengaku
sebagai Khawarij atau Jabariyah, bahkan kedua aliran ini seringkali menjadi
objek kritik dalam kajian sejarah teologi islam. Namun, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan, dalam abad 21 ini, pemikirannya malah banyak terlihat
jelas dalam realitas sosial, walaupun tidak diakui, atau dalam bahasa saya
disebut dengan ter-taqlid.
Pembacaan
Kontekstual Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme dalam Calon Pengurus HMI Cabang
Ciputat
Penamaan Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme merupakan
penamaan yang dinisbahkan kepada objek kritik tulisan ini. Pada umumnya
penambahan kata ‘neo’ terhadap sebuah aliran disesuaikan maknanya dengan makna
yang diberikan oleh KBBI, yakni ‘baru’. Maka, istilah Neo-Khawarijisme dan
Neo-Jabarisme berarti sebuah ‘paham’ baru mengenai Khawarij dan Jabariyah.
Dikatakan
sebuah paham baru, pertama, apabila dikatakan bahwa Khawarij melakukan
kesalahan karena ketidaktahuan, maka yang dimaksud dengan neo-Khawarijisme
adalah melakukan kesalahan dengan pengetahuan. Kedua, apabila dikatakan bahwa Jabariah
menerima begitu saja takdir dari Allah dan meniadakan ikhtiar, maka
neo-Jabarisme berarti menerima begitu saja takdir dari pihak tertentu, atau
dapat pula berarti terbelenggu, namun neo-Jabarisme yang saya maksudkan adalah
terbelenggu pada selain Allah, sehingga menjadi permulaan dari syirik, atau sebagaimana
telah saya tuliskan diatas, yakni sakralisasi pada sesuatu selain Allah.
Saya akan membatasi masalah pada tulisan ini, namun
sebelum itu, perlu dipahami bahwa tulisan ini ditujukan bagi formateur dan mid formateur
terpilih sekaligus calon pengurus HMI Cabang Ciputat terbaru, jadi tulisan ini
tidak dimaksudkan untuk membahas dan mengkritik pengurus HMI Cabang Ciputat
yang telah menjadi demisioner.
Dalam tulisan singkat ini, saya tidak memaksudkan diri
untuk memvonis keadaan Islam atau kafir nya objek kritik tersebut, sebab, tentu
saja saya tidak dapat melakukan hal tersebut, mereka ini, kalaupun mau, dengan asumsi
bahwa mereka adalah Neo-Jabarisme, lebih tepat disebut dengan ateisme
terselubung. (Madjid, Islam Agama Peradaban
2000)
Sesuatu yang hendak dikritik adalah hal-hal yang sangat berkaitan dengan
perkaderan.
Kritik diajukan pada ihwal pelantikan formateur
terpilih HMI Cabang Ciputat yang sampai tulisan ini disusun (Rabu, 28 september
2022) belum kunjung dilantik. Akibatnya, training formal berupa latihan
kader satu -yang dijalankan oleh
komisariat- akan sangat terganggu. Walau demikian, ihwal tersebut pada
gilirannya akan membuat sebuah keanehan yang sangat lucu, keanehan tersebut
akan segera anda baca pada paragraf selanjutnya.
Pelantikan merupakan awal dari legitimasi seseorang
terhadap amanah yang akan di embannya, dalam hal ini pengurus HMI Cabang
Ciputat. Perlu dipahami bahwa formateur dan mid formateur terpilih tidak
memiliki kuasa untuk melaksanakan apapun kecuali menyusun struktur
dan menyegerakan agenda pelantikan. Formateur dan mid formateur HMI Cabang
Ciputat terpilih untuk periode terbaru, sudah melanggar kewenangannya sendiri
sebagai formateur, seperti memberikan surat mandat untuk beberapa kader yang akan
menunaikan jenjang training lanjut seperti LK 2 dan lain-lain.
Keanehan dapat dilihat pada saat formateur terpilih
HMI Cabang Ciputat menggerakkan para kader untuk melaksanakan aksi demo
kenaikan BBM, tentu saja perilaku ini tidak buruk, namun perilaku ini
sepenuhnya salah. Bagi saya, seharusnya, jika formateur sungguh-sungguh dalam
menolak kenaikan BBM tersebut, ada sebuah dialektika intelektual yang dibangun,
seperti membuat tulisan berbentuk buku dan lain-lain, kenapa ? hal ini tidak
lain untuk memberikan edukasi kepada kader. Jika ditanyakan mengapa hal ini
aneh, tentu jawabannya adalah karena mereka belum dilantik.
Sebetulnya lebih menarik lagi jika pengurus cabang
mengadakan sebuah forum diskusi, karena dengan demikian, tradisi intelektual di
cabang Ciputat bukan lagi sebuah romantisme sejarah melainkan sebuah realitas. Mahasiswa
abad 21 ini mengalami banyak krisis, semuanya tentu bertolak dari kurangnya
konsumsi intelektual, pengurus cabang seharusnya mampu membaca hal tersebut.
Semua ini menjadi kendala karena pengurus cabang tersebut belum dilantik.
Akan tetapi, menjalankan forum diskusi itu pun sebetulnya
adalah kesalahan, namun bagi saya, itu mungkin lebih baik, sebab itulah
barangkali salah satu ciri mahasiswa yang sudah seringkali menjadi pembahasan
dalam materi Mission HMI. Sebab, apabila hanya menggerakkan kader untuk demo,
tentu saja hal tersebut -sekilas- dapat bernilai sebagai salah satu cara
menggapai popularitas seorang ketua umum baru, jadi yang benar adalah,
segerakan pelantikan.
Bukankah romantisme sejarah adalah salah satu faktor
yang merusak peradaban ? -sebagaimana dikatakan oleh Cak Nur dalam bukunya
‘Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” pada bagian ‘Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat’,- selain sakralisasi, terlebih,
sakralisasi juga ternyata menjadi bagian dalam hal ini, dan akan dijelaskan
pada paragraf yang akan datang. (Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan 1991)
Menarik juga untuk membicarakan kendala pelantikan
ini. Bagi saya, seluruh pengurus cabang benar-benar telah menjadi dungu,
-katakanlah- mereka semua mengetahui bahwa personalia atau struktur pengurus
cabang harus telah terbentuk dan pengurus demisioner telah melaksanakan
pelantikan, namun pengetahuan tersebut tidak membuat mereka melaksanakan apa
yang mereka ketahui, dungu berarti tidak melaksanakan apa yang telah diketahui,
jika tidak boleh disebut tidak mengetahui sama sekali. Dalam taraf tertentu,
calon pengurus cabang terbaru lebih parah taraf kebodohannya dibandingkan
dengan Khawarij. Jelas mereka ini adalah sekelompok orang Neo-Khawarijisme.
Keterlambatan atas pelantikan ini, -jika tidak boleh
dikatakan kadaluwarsa- pada akhirnya juga memiliki dampak besar bagi komisariat
yang akan melaksanakan basic training atau biasa dikenal dengan latihan
kader satu. Pengurus komisariat pelaksana tentunya tidak dapat mengurus
administrasi terkait kepada pengurus cabang, seperti surat pemberitahuan latihan
kader satu. Pada akhirnya, pengurus cabang sendiri yang menghambat proses
perkaderan komisariat, ini adalah sebuah dosa besar perkaderan, sebab
komisariat adalah jantung perkaderan.
Saya tidak mempedulikan apa yang menjadi penghambat
mereka, yang jelas, saya berasumsi bahwa keterlambatan pelantikan berawal dari
pembagian struktur kekuasaan ditingkat presidium, serta banyaknya tekanan politik
dari pihak-pihak tertentu. Tekanan politik dari pihak tertentu inilah yang saya
sebut dengan Neo-Jabarisme. Apa perbedaannya antara menerima takdir Allah
dengan menerima takdir pihak tertentu ? bahkan pengurus cabang lebih lucu dari Jabariah,
karena bersandar pada tuhan lain yang tidak lain adalah pihak tertentu itu
sendiri. Apabila asumsi saya itu benar, maka ini juga dapat berarti
sakralisasi.
Jika demikian, dapat dibayangkan kehancuran HMI Cabang
Ciputat yang dipimpin oleh seseorang yang sejak sebelum pelantikan sudah
melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Kalimat ‘kehancuran’ tentu saja
merupakan kalimat yang paling tepat untuk dinisbahkan, mengingat baik Khawarij
dan maupun Jabariyah, kedua aliran tersebut memperoleh kemusnahan pada waktu
tertentu.
Dinamika apapun seharusnya harus segera dapat di selesaikan
oleh seluruh calon pengurus, disini tentu saya tidak hanya tertuju pada
formateur dan mid formateurnya, melainkan keseluruhan calon pengurus, baik yang
‘namanya’ tercantum sebagai presidium, maupun sebagai anggota. Seharusnya,
mereka (calon pengurus diluar formateur dan mid formateur) juga memperhatikan
keadaan komisariat yang ada di Ciputat, sudah lebih dari tiga komisariat yang
siap melaksanakan LK 1, kedunguan pun juga terjadi pada calon pengurus, jika
tidak boleh dikatakan bodoh murokab.
Dari itu, berdasarkan penjelasan diatas, tentu disini saya
akan menyimpulkan bahwa mereka ini dapat secara niscaya, apabila tidak segera
berbenah, untuk menjadi seorang Neo-Khawarijisme maupun Neo-Jabarisme sekaligus
dalam beberapa pemikiran dan realitas. Selanjutnya, sebagai penutup, saya ingin
menuliskan dua point saja, pertama, apabila kita mengetahui bahwa dua aliran
tersebut, dengan segala macam kebodohan mereka, telah musnah atau telah tiada,
dan kita menemukan bahwa sebatang pemikiran mereka terdapat di dalam tubuh HMI,
semestinya kita harus segera membakar sebatang pemikiran tersebut tentunya
dengan menggunakan NDP dan penjelasan-penjelasan lain yang telah di gagas oleh
para kader pendahulu di HMI -khususnya Cabang Ciputat, dan kedua, silahkan
kembali membaca tulisan ini dari paragraf pertama.
Referensi
Hasil-Hasil Kongres HMI XXXI
Kartanegara, Majid
Fakhry. Terj. Mulyadhi. 1987. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT
Dunia Pustaka Jaya.
Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
—. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
—. 1991. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit
Mizan.
—. 2019. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syahrastani, Muhammad Ibn Abd Al Karim Asy. 2003. Al Milal Wa Al
Nihal. Surabaya: PT Bina Ilmu.