Rabu, 17 Mei 2023

Elite Politik HMI Cabang Ciputat Sebagai Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme: Kemungkinan atau Keniscayaan ?

         Dalam sejarah politik dunia, Islam sempat menemui momentum ketegangan politik pada masa khalifah ‘Utsman dan khalifah ‘Ali, ketegangan politik tersebut kemudian melahirkan apa yang oleh Nurcholis Madjid disebut dengan al-fitnah al-kubra pertama yang terjadi pada masa ‘Utsman, dan kedua terjadi pada masa ‘Ali. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019) Ketegangan tersebut kemudian melahirkan beberapa aliran teo-politik, salah satunya adalah Khawarij yang mewakili kaum kiri, dan Jabariyah yang mewakili kaum kanan. (Kartanegara 1987)

Khawarij adalah sekelompok orang lucu, berpengatahuan dangkal mengenai Islam, sehingga pikiran-pikirannya mengenai arbitrase antara khalifah ‘Ali dengan Muawiyah membuahkan intrik teo-politik berkepanjangan dalam sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Sisi lain, Islam juga di warnai dengan sebuah aliran pesimisme yakni Jabariyah. Jabariyah merupakan aliran yang diadopsi oleh rezim politik Umayyah untuk keamanan elektabilitas politiknya. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019)

Dua aliran teologi Islam itu memang tidak tumbuh dan berkembang dalam realitas sosial pada abad ini, namun ide dan kedunguan mereka tetap masih ramai ter-taqlid, bahkan dalam beberapa hal di jalankan sendiri oleh elite politik HMI, yang pada beberapa orang memang mengetahui hal tersebut, namun di sisi lain, banyak yang tidak mengetahuinya -jika tidak boleh disebut tidak memahami. Dua aliran tersebut, menurut saya merupakan aliran yang lucu, sehingga orang yang menjalankan pemikiran atau ide-ide nya adalah lebih dari pada dungu, jika tidak boleh disebut bodoh.

Tulisan ini hendak melakukan kritik keadaan pengurus atau lebih tepatnya calon pengurus HMI Cabang Ciputat dengan pembacaan kontekstual  terhadap dua aliran teologi islam, yakni Khawarij dan Jabariyah. Kritik di ajukan kepada elite politik yang seringkali merugikan perkaderan HMI dengan mengedepankan ego politik, aktivitas tersebut tentunya sudah tidak sesuai dengan landasan perkaderan, terutama landasan teologis.

Ketidaksesuaian -sebagai asumsi saya- terdapat pada adanya sakralisasi terhadap sesuatu selain Allah, karena dalam teks pedoman perkaderan, salah satu kalimat dalam landasan teologis adalah:

“Sebagai bentuk dasar akan adanya “kesadaran ketuhanan” tersebut, maka manusia harus pula dapat menginternalisasi konsep tawhid yang merupakan perwujudan kemerdekaan yang ada padanya. Implikasi logis dari tawhid itu sendiri adalah meneguhkan sikap dan langkahnya sebagai khalifah, dengan cara tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apapun juga dengan cara meninggalkan praktek mengangkat sesama manusia sebagai ‘tuhan-tuhan’ (arbab), selain kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan” ialah menjadikan sesama manusia sebagai sasaran penyembahan, dedikasi, devosi, atau sikap pasrah total.”

Dengan mengacu teks tersebut, menurut saya, sakralisasi merupakan awal dari kelanjutan sebuah praktek penyembahan manusia. Namun, dengan sedikit husnudzhan, saya juga berpikir bahwa, -tentu saja mereka (para calon pengurus ini) tidak sampai pada tingkat meninggalkan Allah sebagai Tuhan, selain karena memang Allah selalu bersama kita sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, bahwa dia dekat dengan kita (Q.S. 2:186)- mereka masih menggunakan prinsip “ini mah cuma saran”, yang mana, saran-saran itulah yang sering membelenggu kebebasan mereka, walau pada tataran tertentu, saran tersebut memang tidak digunakan. Sang pemberi saran itulah yang saya sebut sebagai CATU (calon Tuhan) mereka, dan saran itu sendiri dapat diibaratkan sebagai wahyu, dimana ketika turun, kata siap menjadi jawaban andalannya.

Khawarij dan Jabariyah: Pemikiran dan Analisis Perkembangannya

Khawarij sebagai salah satu aliran dalam teologi islam, lumayan memiliki banyak pengikut, Harun Nasution mengatakan ada sekitar 12.000 orang yang mengikuti aliran ini. Dalam perjalanannya sebagai aliran teologi, Khawarij mendapatkan perpecahan tersendiri dalam tubuhnya, terdapat aliran pecahan seperti Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-‘Ajaridah, Al-Sufriah, Al-‘Ibadiah. (Nasution 1986)

Sebagaimana telah disebutkan diatas, Khawarij merupakan sekelompok orang berpengetahuan dangkal. Kedangkalan ilmu yang mengeneralisir pada pengikutnya, adalah karena kebanyakan dari pengikutnya merupakan orang Arab Badawi, hidup di padang pasir yang tandus membentuk kepribadian yang sederhana dalam pola pikir, pola tindak dan pola laku. Hal ini juga kemudian yang menjadi sebab keterpecahan dalam tubuh Khawarij. (Nasution 1986)

Berdasarkan keterpecahan atas kerendahan pengetahuan tersebut, hingga secara logis melahirkan beberapa kebodohan lainnya seperti konsep hijrah, dan vonis kafir terhadap empat orang yang melakukan arbitrase, yakni pihak Muawiyah yang didampingi oleh ‘Amr ibn Ash dan pihak khalifah ‘Ali yang didampingi oleh Abu Musa al-Asy’ari.

Menarik untuk melihat tulisan Syahrastani dalam al-Milal Wa al-Nihal, Syahrastani menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok orang yang mendorong khalifah ‘Ali untuk menerima arbitrase, kemudian mereka (Khawarij) menolak pendapat khalifah Ali yang menunjuk Abdullah ibn Abbas sebagai orang yang mendampinginya untuk menjalankan arbitrase, akhirya orang-orang Khawarij ini mengajukan kepada Ali agar Abu Musa al-Asy’ari lah yang menjadi pendampingnya untuk menjalankan arbitrase bersama pihak Muawiyah. (Syahrastani 2003).   

Arbitrase kemudian dijalankan oleh empat orang tersebut, dan hasil dari arbitrase tersebut adalah kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yakni ‘Ali sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai gubernur, namun yang berkata jujur dalam menyampaikan hasil kesepakatan tersebut kepada khalayak hanyalah Abu Musa al-Asy’ari. Di pihak lain, malah terjadi kelucuan pada Amr ibn Ash yang menyepakati -berdasarkan pengumuman dari al-Asy’ari- bahwa, ‘Ali turun sebagai khalifah dan menolak penurunan Umayyah. (Nasution 1986). Kemudian Kekecewaan terjadi pada orang-orang Khawarij, kemudian mereka meninggalkan pihak Ali dan membentuk kelompok religio-politik tersendiri. (Syahrastani 2003)

Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa, kita menemukan beberapa kelucuan yang dilakukan oleh Khawarij, pertama, penolakan dan kekecewaan mereka adalah akibat dari mereka sendiri yang mendorong khalifah ‘Ali untuk menjalankan arbitrase, kedua mereka percaya terhadap apa yang dikatakan oleh lawan perangnya yakni ‘Amr ibn Ash, bukan percaya pada apa yang dikatakan oleh Abu Musa Al Asy’ari.

Demikian akan sangat panjang diuraikan beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai pembelotan Khawarij dari barisan khalifah ‘Ali, dan tentunya tidak akan menunjang tujuan dari penulisan ini. Kesimpulannya adalah, yang tidak cukup berpengetahuan jangan banyak ambil tindakan, karena itu hanya akan membuang-buang waktu.

Jabariyah merupakan aliran kedua yang lahir atas ketegangan politik islam pasca khalifah ‘Ali, Menurut Nurcholis Madjid, pemikiran Jabariyah kemudian digunakan sebagai keamanan elektabilitas politik Bani Umayyah, hal ini menurut saya sangat masuk akal, dikarenakan pada masa yang sama juga lahir sebuah aliran lain untuk menentang dinasti umayyah, aliran tersebut adalah Qadariyah yang digagas oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. (Kartanegara 1987) Kedua penggagas aliran penentang pemikiran jabariyah tersebut kemudian menemukan kematiannya secara cepat, pada tahun 80 H/699 M, Ma’bad di hukum mati atas perintah Abdul Malik ibn Marwan, tidak lama setelah kematian Ma’bad, Ghailan kemudian menerima hukuman mati pada tahun 105 H/723 M atas perintah Hisyam ibn Malik, kedua orang yang memberikan perintah atas hukuman mati tersebut adalah khalifah dari dinasti Umayyah. (Madjid, Khazanah Intelektual Islam 2019)

Seseorang yang melaksanakan sesuatu tanpa mengetahui sesuatu tersebut termasuk ke dalam kelompok terendah dalam kebijaksanaan maupun kehidupan. (Suriasumantri 2010)  Hal ini sangat tergambar jelas pada sekelompok orang Khawarij. Meski demikian, ada sekelompok orang yang lebih rendah dari mereka, yakni orang yang meniadakan dimensi ikhtiar dalam berkehidupan, dan merasa diri telah mengetahui segala sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Tuhan, mereka inilah yang disebut dengan jabariyah, hal ini mengingat istilah Jabariah memiliki makna ‘Menolak’ adanya perbuatan manusia. (Syahrastani 2003).

Pada perkembangannya, -saya tegaskan kembali- kedua aliran memang tidak mewujud dalam realitas sosial. Dalam beberapa forum kajian pemikiran islam yang saya ikuti, belum pernah saya mendengar seseorang mengaku sebagai Khawarij atau Jabariyah, bahkan kedua aliran ini seringkali menjadi objek kritik dalam kajian sejarah teologi islam. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan, dalam abad 21 ini, pemikirannya malah banyak terlihat jelas dalam realitas sosial, walaupun tidak diakui, atau dalam bahasa saya disebut dengan ter-taqlid.

Pembacaan Kontekstual Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme dalam Calon Pengurus HMI Cabang Ciputat

Penamaan Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme merupakan penamaan yang dinisbahkan kepada objek kritik tulisan ini. Pada umumnya penambahan kata ‘neo’ terhadap sebuah aliran disesuaikan maknanya dengan makna yang diberikan oleh KBBI, yakni ‘baru’. Maka, istilah Neo-Khawarijisme dan Neo-Jabarisme berarti sebuah ‘paham’ baru mengenai Khawarij dan Jabariyah.

 Dikatakan sebuah paham baru, pertama, apabila dikatakan bahwa Khawarij melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, maka yang dimaksud dengan neo-Khawarijisme adalah melakukan kesalahan dengan pengetahuan. Kedua, apabila dikatakan bahwa Jabariah menerima begitu saja takdir dari Allah dan meniadakan ikhtiar, maka neo-Jabarisme berarti menerima begitu saja takdir dari pihak tertentu, atau dapat pula berarti terbelenggu, namun neo-Jabarisme yang saya maksudkan adalah terbelenggu pada selain Allah, sehingga menjadi permulaan dari syirik, atau sebagaimana telah saya tuliskan diatas, yakni sakralisasi pada sesuatu selain Allah.

Saya akan membatasi masalah pada tulisan ini, namun sebelum itu, perlu dipahami bahwa tulisan ini ditujukan bagi formateur dan mid formateur terpilih sekaligus calon pengurus HMI Cabang Ciputat terbaru, jadi tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas dan mengkritik pengurus HMI Cabang Ciputat yang telah menjadi demisioner.

Dalam tulisan singkat ini, saya tidak memaksudkan diri untuk memvonis keadaan Islam atau kafir nya objek kritik tersebut, sebab, tentu saja saya tidak dapat melakukan hal tersebut, mereka ini, kalaupun mau, dengan asumsi bahwa mereka adalah Neo-Jabarisme, lebih tepat disebut dengan ateisme terselubung. (Madjid, Islam Agama Peradaban 2000) Sesuatu yang hendak dikritik adalah hal-hal yang sangat berkaitan dengan perkaderan.

Kritik diajukan pada ihwal pelantikan formateur terpilih HMI Cabang Ciputat yang sampai tulisan ini disusun (Rabu, 28 september 2022) belum kunjung dilantik. Akibatnya, training formal berupa latihan kader satu  -yang dijalankan oleh komisariat- akan sangat terganggu. Walau demikian, ihwal tersebut pada gilirannya akan membuat sebuah keanehan yang sangat lucu, keanehan tersebut akan segera anda baca pada paragraf selanjutnya.

Pelantikan merupakan awal dari legitimasi seseorang terhadap amanah yang akan di embannya, dalam hal ini pengurus HMI Cabang Ciputat. Perlu dipahami bahwa formateur dan mid formateur terpilih tidak memiliki kuasa untuk melaksanakan apapun kecuali menyusun struktur dan menyegerakan agenda pelantikan. Formateur dan mid formateur HMI Cabang Ciputat terpilih untuk periode terbaru, sudah melanggar kewenangannya sendiri sebagai formateur, seperti memberikan surat mandat untuk beberapa kader yang akan menunaikan jenjang training lanjut seperti LK 2 dan lain-lain.

Keanehan dapat dilihat pada saat formateur terpilih HMI Cabang Ciputat menggerakkan para kader untuk melaksanakan aksi demo kenaikan BBM, tentu saja perilaku ini tidak buruk, namun perilaku ini sepenuhnya salah. Bagi saya, seharusnya, jika formateur sungguh-sungguh dalam menolak kenaikan BBM tersebut, ada sebuah dialektika intelektual yang dibangun, seperti membuat tulisan berbentuk buku dan lain-lain, kenapa ? hal ini tidak lain untuk memberikan edukasi kepada kader. Jika ditanyakan mengapa hal ini aneh, tentu jawabannya adalah karena mereka belum dilantik.

Sebetulnya lebih menarik lagi jika pengurus cabang mengadakan sebuah forum diskusi, karena dengan demikian, tradisi intelektual di cabang Ciputat bukan lagi sebuah romantisme sejarah melainkan sebuah realitas. Mahasiswa abad 21 ini mengalami banyak krisis, semuanya tentu bertolak dari kurangnya konsumsi intelektual, pengurus cabang seharusnya mampu membaca hal tersebut. Semua ini menjadi kendala karena pengurus cabang tersebut belum dilantik.

Akan tetapi, menjalankan forum diskusi itu pun sebetulnya adalah kesalahan, namun bagi saya, itu mungkin lebih baik, sebab itulah barangkali salah satu ciri mahasiswa yang sudah seringkali menjadi pembahasan dalam materi Mission HMI. Sebab, apabila hanya menggerakkan kader untuk demo, tentu saja hal tersebut -sekilas- dapat bernilai sebagai salah satu cara menggapai popularitas seorang ketua umum baru, jadi yang benar adalah, segerakan pelantikan.

Bukankah romantisme sejarah adalah salah satu faktor yang merusak peradaban ? -sebagaimana dikatakan oleh Cak Nur dalam bukunya ‘Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” pada bagian ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat’,- selain sakralisasi, terlebih, sakralisasi juga ternyata menjadi bagian dalam hal ini, dan akan dijelaskan pada paragraf yang akan datang. (Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan 1991)

Menarik juga untuk membicarakan kendala pelantikan ini. Bagi saya, seluruh pengurus cabang benar-benar telah menjadi dungu, -katakanlah- mereka semua mengetahui bahwa personalia atau struktur pengurus cabang harus telah terbentuk dan pengurus demisioner telah melaksanakan pelantikan, namun pengetahuan tersebut tidak membuat mereka melaksanakan apa yang mereka ketahui, dungu berarti tidak melaksanakan apa yang telah diketahui, jika tidak boleh disebut tidak mengetahui sama sekali. Dalam taraf tertentu, calon pengurus cabang terbaru lebih parah taraf kebodohannya dibandingkan dengan Khawarij. Jelas mereka ini adalah sekelompok orang Neo-Khawarijisme.

Keterlambatan atas pelantikan ini, -jika tidak boleh dikatakan kadaluwarsa- pada akhirnya juga memiliki dampak besar bagi komisariat yang akan melaksanakan basic training atau biasa dikenal dengan latihan kader satu. Pengurus komisariat pelaksana tentunya tidak dapat mengurus administrasi terkait kepada pengurus cabang, seperti surat pemberitahuan latihan kader satu. Pada akhirnya, pengurus cabang sendiri yang menghambat proses perkaderan komisariat, ini adalah sebuah dosa besar perkaderan, sebab komisariat adalah jantung perkaderan.

Saya tidak mempedulikan apa yang menjadi penghambat mereka, yang jelas, saya berasumsi bahwa keterlambatan pelantikan berawal dari pembagian struktur kekuasaan ditingkat presidium, serta banyaknya tekanan politik dari pihak-pihak tertentu. Tekanan politik dari pihak tertentu inilah yang saya sebut dengan Neo-Jabarisme. Apa perbedaannya antara menerima takdir Allah dengan menerima takdir pihak tertentu ? bahkan pengurus cabang lebih lucu dari Jabariah, karena bersandar pada tuhan lain yang tidak lain adalah pihak tertentu itu sendiri. Apabila asumsi saya itu benar, maka ini juga dapat berarti sakralisasi.

Jika demikian, dapat dibayangkan kehancuran HMI Cabang Ciputat yang dipimpin oleh seseorang yang sejak sebelum pelantikan sudah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Kalimat ‘kehancuran’ tentu saja merupakan kalimat yang paling tepat untuk dinisbahkan, mengingat baik Khawarij dan maupun Jabariyah, kedua aliran tersebut memperoleh kemusnahan pada waktu tertentu.

Dinamika apapun seharusnya harus segera dapat di selesaikan oleh seluruh calon pengurus, disini tentu saya tidak hanya tertuju pada formateur dan mid formateurnya, melainkan keseluruhan calon pengurus, baik yang ‘namanya’ tercantum sebagai presidium, maupun sebagai anggota. Seharusnya, mereka (calon pengurus diluar formateur dan mid formateur) juga memperhatikan keadaan komisariat yang ada di Ciputat, sudah lebih dari tiga komisariat yang siap melaksanakan LK 1, kedunguan pun juga terjadi pada calon pengurus, jika tidak boleh dikatakan bodoh murokab.

Dari itu, berdasarkan penjelasan diatas, tentu disini saya akan menyimpulkan bahwa mereka ini dapat secara niscaya, apabila tidak segera berbenah, untuk menjadi seorang Neo-Khawarijisme maupun Neo-Jabarisme sekaligus dalam beberapa pemikiran dan realitas. Selanjutnya, sebagai penutup, saya ingin menuliskan dua point saja, pertama, apabila kita mengetahui bahwa dua aliran tersebut, dengan segala macam kebodohan mereka, telah musnah atau telah tiada, dan kita menemukan bahwa sebatang pemikiran mereka terdapat di dalam tubuh HMI, semestinya kita harus segera membakar sebatang pemikiran tersebut tentunya dengan menggunakan NDP dan penjelasan-penjelasan lain yang telah di gagas oleh para kader pendahulu di HMI -khususnya Cabang Ciputat, dan kedua, silahkan kembali membaca tulisan ini dari paragraf pertama.

Referensi

Hasil-Hasil Kongres HMI XXXI

Kartanegara, Majid Fakhry. Terj. Mulyadhi. 1987. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.

—. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

—. 1991. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

—. 2019. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Syahrastani, Muhammad Ibn Abd Al Karim Asy. 2003. Al Milal Wa Al Nihal. Surabaya: PT Bina Ilmu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...