Pengap, aku sendiri. Matahari pun tak masuk
kesini, dimana kamu, Nona? Sepi sangat disini, udara hanya sedikit yang masuk,
desir suara semut yang sedang memakan gula sampai terdengar, sunyi sekali,
hingga aku merasa khawatir tak lagi bisa bertemu denganmu. Tapi untuk apa aku
khawatir? Bukan Nona itu tujuan hidupku. Tapi, disini memang sepi.
Kepalaku rasanya mau pecah, tak ada barang
satu pun telinga disini yang mau mendengar ocehan tololku. Apakah itu baik-baik
saja? Atau malah berbahaya. Rasanya kepalaku perlu dibawa bertasbih kepada
Tuhan agar tenang, dan perasaan-perasaan negatif itu pun menjadi hilang. Tak
perlu lah yang seperti itu terkenang.
Perempuan yang aku panggil Nona itu datang, atas
takdir.
Bersama, atas takdir
Berpisah, atas takdir
Tapi lebih ingin bersama daripada berpisah,
bukan begitu, Nona?
Tidak bersama juga tidak apa-apa, asal kamu masih
ada, sudah bikin aku senang.
Tapi bukannya lebih menyenangkan jika bersama?
Akan ku bawa ke tanah kelahiranku, tanah yang
hari-harinya selalu dimandikan air hujan. Bogor adalah Kota Hujan, kata
orang-orang. Menarik sepertinya jika kita berdua memasak di dapur itu, aku
juga bisa masak kok, kataku nanti kepadamu, Nona.
Masa iya begitu? Memangnya bisa? Kenapa harus
tidak bisa? Untuk apa ada berdoa? Untuk apa Tuhan Maha Kuasa? Ini masih dalam
koridor potensial untuk bisa berhasil kok, Jika mustahil, maka tinggalkan,
karena Tuhan pun mustahil akan mengabulkan doa yang mustahil, seperti
mustahilnya seorang miskin yang meminta agar memiliki emas 100 gram dalam
sehari. Ini mustahil, bahkan tolol.
Entah sedang berpikir apa perempuan itu, mungkin
saja dia belum makan, perlukah aku mengingatkannya? Lagi pula, siapa perempuan
ini? Apakah spesial? Tapi, sepertinya biasa saja, hehehe, Bodoh.
Sehat-sehat, untuk dirimu, Nona yang namanya
sedang aku kompromikan dengan Tuhan. Itu saja, Nona. Aku harap, segera bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar