Selasa, 12 Desember 2023

Mencari Suatu Aktivitas Muslim yang Realistis: Catatan untuk Gen Z

Aktivitas adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tertentu untuk memberikan manfaat atau kebahagiaan bagi yang melakukannya. Semua makhluk hidup berkativitas, begitu pula manusia, maka setiap manusia -yang masih hidup- pasti beraktivitas.  Aktivitas pada konteks ini, tentu saja masih bermakna universal, artinya belum tereduksi dengan benar atau salah maupun baik atau buruk.

Berangkat dari pemahaman diatas, tentu saja tulisan ini akan memberi sedikit ulasan mengenai aktivitas yang baik. Sebab, tak satu pun manusia yang menyukai aktivitas buruk, sekalipun manusia itu buruk. Katakanlah, seperti seorang PSK (Pekerja Seks Komersial), yang pekerjaannya adalah bersetubuh dengan pria bajingan. Dalam survey yang dilakukan oleh tim Asumsi (Salah satu channel youtube Indonesia) di Indramayu, aku menemukan jawaban bahwa semua PSK tidak menyukai pekerjaannya.

Kita juga dapat melihat contoh lainnya, seperti orang yang kecanduan judi online atau slot. Aku tidak perlu banyak memaparkan banyak data terkait hal ini, sebab sanak saudara ku pun menjadi korbannya, dia adalah pemain slot yang kini mendekam di penjara akibat tak mampu membayar hutangnya yang membengkak hingga 90 juta rupiah.

Dari dua contoh diatas, nampaknya ada beberapa orang yang mengalami kebingungan hendak melakukan aktivitas apa dalam kesehariannya. Karena mereka bingung hendak melaksanakan aktivitas apa, maka mereka akhirnya melaksanakan aktivitas yang buruk.

Jika asumsiku ini benar, maka dapat dipastikan, seseorang yang melaksanakan aktivitas buruk, adalah seseorang yang berada pada posisi ‘kebingungan’ dalam melakukan aktivitas hariannya. Orang bingung ini, dalam keseharian kita sering mengenalnya dengan orang nganggur atau pengangguran.

Disini, sebagai seorang pemikir, sudah seharusnya untuk memberikan kontribusi melalui penjelasan serta pemahaman bagi mereka yang membutuhkan. Dikarenakan aku memilih untuk fokus dalam kajian pemikiran Islam, maka dengan kapasitas yang aku miliki, pada tulisan ini aku akan memaparkan salah satu penjelasan mengenai aktivitas apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang muslim.

Untuk menunjang itu, aku memilih Imam al-Ghazali sebagai tokoh yang pemikirannya mengenai hal ini aku kutip dan aku transformasikan dengan pendekatan multidisipliner. Pemilihan ini dilakukan atas dasar banyaknya pemikir Islam yang memberikan penjelasan semacam itu.

Selain itu, pemilihan ini aku lakukan sebab aku memang memiliki pengalaman secara langsung dalam membaca, memahami, kemudian menjalankan apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali -untuk selanjutnya akan disebut al-Ghazali saja, tentunya dengan tidak mengurangi rasa ta’dzhim ku kepada ulama besar ini.

Al-Ghazali, seorang tokoh besar dalam pemikiran dan peradaban Islam, mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya seorang muslim beraktivitas dalam kesehariannya. Bagiku, ini tentu saja diperlukan, sebab seseorang pada dasarnya memerlukan suatu panduan atau suatu arahan.

Dengan merujuk kepada al-Ghazali, yang memiliki otoritas dalam bidang ilmu fikih dan tasawuf, maka kita dapat mengikuti penjelasannya mengenai aktivitas ini. Akan tetapi, kita tetap harus meneliti kebenarannya dengan seksama, agar tidak jatuh pada keikutsertaan atau taqlid buta.  Penjelasan ini aku ambil dari kitabnya Bidayah al-Hidayah, salah satu kitab yang ditulis pada fase sufismenya, sebab, dikatakan bahwa kitab ini adalah kitab pengantar untuk mengkaji magnus opus-nya yakni Ihya ‘Ulum al-Din.

Menurut al-Ghazali, ada empat hal yang dapat dilakukan oleh seorang muslim sebagai aktivitas hariannya. Akan tetapi, sebelum melanjutkan pembahasan, perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa pembagian ini dilakukan oleh al-Ghazali setelah menjelaskan beberapa hal yang aku sebut sebagai mekanisme pengantar aktivitas. Mekanisme ini merupakan pembuka dari empat aktivitas yang akan dijelaskan nanti.  Mekanisme itu meliputi tata cara tidur dan bangun tidur.

Pada tata cara tidur, al-Ghazali memberi penjelasan mengenai hal yang harus dilaksanakan seperti berwudhu, membaca doa tidur dan posisi tidur. Kemudian, pada tata cara bangun tidur, al-Ghazali juga memberi penjelasan mengenai hal yang harus dilakukan, seperti bangun pada waktu sebelum adzan shubuh di kumandangkan, berwudhu, menunaikan sholat shubuh dan berdzikir hingga matahari terbit.

Pada bagian ini, yang menarik bagiku adalah arahan al-Ghazali kepada kita mengenai sesuatu yang harus terlintas di pikiran kita pada saat bangun dari tidur. Kata al-Ghazali “Sesuatu yang harus kau ingat pada saat matamu terbuka (bangun dari tidur) adalah Allah”. Hal ini, pada saat aku pertama kali mengetahuinya, hingga saat ini, selalu aku lakukan.

Pada penjelasan terakhir dari paragraf diatas. Aku menemukan banyak orang yang tidak terbiasa dengan hal itu, terutama pada generasi Z yang kebetulan mereka adalah peserta didik sekaligus teman-temanku di SMK Kebangsaan. Disini, aku akan mengatakan bahwa kebanyakan dari mereka, ketika terbangun dari tidur, adalah mencari gawai atau telepon genggam (handphone). Tentu saja, ini menjadi keprihatinan tersendiri bagiku, sekaligus spirit untuk menuliskan hal ini dan menyampaikannya kepada mereka.

Sekarang kita akan kembali kepada pokok pembahasan dalam tulisan ringkas ini, yaitu mengenai empat aktivitas yang dapat dilakukan seorang muslim dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Empat aktivitas itu adalah menuntut ilmu, beribadah, membantu orang lain dan bekerja. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa keempat aktvitas ini kadang-kadang berjalan sendiri-sendiri, kadang-kadang berjalan bersama walau tidak pada waktu dan tempat yang sama.

Maksudnya, tidak harus berjalan masing-masing secara ketat. Misalnya, seseorang yang bekerja bukan berarti tidak beribadah, begitu pun seseorang yang menuntut ilmu bukan berarti tidak membantu orang lain. Karena jika demikian, prinsip luhur dalam Islam yakni altruistik haruslah ditanggalkan, dan menanggalkan prinsip tersebut adalah mustahil, terutama bagi masyarakat biasa. Tentu saja aku akan menuliskan hal yang berbeda apabila tulisan ini akan dibaca oleh para sufi, namun karena hal itu bukan tujuan, maka cukuplah penjelasannya terkait hal ini.

Marilah kita mulai dengan aktivitas yang pertama, yakni menuntut ilmu. Agar kita mendapatkan kemudahan dalam memahami aktivitas pertama ini, maka aku akan membaca melalui dua pendekatan, pertama secara konteks dan kedua secara kontekstual.

Aktivtas pertama yakni menuntut ilmu bermanfaat. Secara konteks, al-Ghazali mengajarkan kepada kita agar kita bahwa ilmu yang bermanfaat ini adalah ilmu yang menghantarkan kita agar dapat bertakwa kepada Allah, yakni bisa dekat dan menggapai ridhanya, serta jauh dari murkanya. Ilmu yang masuk ke dalam kategori ini adalah ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fikih dan tasawuf, yang penjelasan indahnya disampaikan oleh al-Ghazali di dalam kitab Minhaj al-‘Abidin.

Kedua, secara kontekstual, ada point penting yang dapat kita temukan dalam uraian al-Ghazali, yakni takwa. Ilmu itu disebut bermanfaat jika dapat menghantarkan seseorang bertakwa. Apabila kita melihat kondisi zaman ini yang serba multidisiplin dan interdisiplin, maka ilmu sosial dan sains juga akan termasuk. Sebab, dengan mengetahui dan memahaminya, juga akan menghantarkan kita kepada kewaspadaan akan gangguan setan. Misalnya, dengan kita mempelajari ilmu teknologi dan ekonomi, kita dapat terhindar dari penyakit masyarakat yang akut, yakni konsumerisme, dalam bentuk panic buying maupun drugstore sebagaimana dijelaskan oleh Baudrillard dalam bukunya masyarakat konsumsi. Selain itu, dengan mempelajari teknologi dengan baik, kita dapat terhindar dari penyakit alam maya berupa simulacra dan hyperrealitas. Jelas, dengan menguasai ilmu-ilmu baru tersebut, kita juga dapat menjadi orang yang ber-takwa -ini tentu saja dengan tetap tidak mengesampingkan ilmu-ilmu keagamaan.

Aktivitas kedua yang dapat kita lakukan adalah melaksanakan berbagai ibadah. Secara konteks, ibadah yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah ibadah-ibadah yang bersifat formal, seperti sholat, membaca al-Qur’an, bertasbih, bersholawat. Akan tetapi, secara kontekstual, dengan meminjam pemikiran Nurcholis Madjid, jika ibadah diartikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, dan bentuk pengabdian itu seputar menjalankan kewajiban, melaknakan sunnah, menjauhi yang haram dan meninggalkan yang makruh, maka, hanya sekedar ngopi bersama teman juga termasuk ibadah, tapi, dengan catatan tidak ada serbuk-serbuk maksiat di dalamnya seperti ghibah.

Dari sini, jika memang kita hendak beribadah, maka tidak melaksanakan yang haram juga termasuk ibadah. Aku, lebih sering ngopi dibanding dengan sholat, sebab aku berpikir, dengan ngopi aku sama dengan ibadah, karena ketika ngopi, aku tidak zinah, maling, mabuk dan lain-lainnya yang diharamkan oleh Allah.

Aktivitas ketiga yang dapat dilakukan adalah membantu sesama muslim. Pada bagian ini, secara eksplisit al-Ghazali mengatakannya dengan ibadah berjenis sosial. Inilah yang membedakan aktivitas ketiga dan kedua, sebab aktivitas kedua, lebih cenderung kepada ibadah individual.

Hal ini, bukan saja bentuk pengabdian kepada Allah, melainkan bentuk dari adanya keterikatan antara satu muslim dengan muslim lainnya sebagai makhluk sosial. Aktvitas ketiga adalah aktivitas yang paling sering aku lakukan selama empat bulan ini, sebab pekerjaan ku sebagai guru, dan pekerjaan ini tentu saja berjenis sosial, sebab aku membantu murid ku untuk mengenal dan mendekati Allah.

Terakhir, atau aktivitas keempat yang dapat dilakukan oleh seorang muslim adalah bekerja, baik untuk mencukupi kebutuhan pribadi maupun keluarga. Tentu saja perlu dipahami bahwa bekerja disini adalah mencari nafkah atau uang dengan cara yang diperbolehkan oleh agama, artinya bukan melalui jalan haram, sebab apabila seseorang mencari nafkah haram, dan nafkah tersebut dibelikan suatu asupan yang dimasukkan ke dalam tubuh, maka akan menganggu aktivitas jiwa untuk mengecap kenikmatan beribadah kepada Allah, bahkan lebih jauhnya, seseorang yang biasa memakan harta haram cenderung enggan beribadah kepada Allah.

Inilah keempat aktivitas yang dianjurkan oleh al-Ghazali bagi seorang muslim. Aku akan mempertegas kembali bahwa seorang muslim yang berkelakuan buruk pada dasarnya bingung hendak melakukan aktivitas apa, dan lebih jauh lagi, biasanya orang yang berbuat hal tak berguna adalah orang yang nganggur. Maka, agar tidak menganggur, maka ikutilah olehmu arahan dari al-Ghazali yang telah ku uraikan diatas.

Al-Ghazali menambahkan hal menarik yang berkenaan dengan ini, yakni adanya pembagian jenis orang beragam berdasarkan aktivitasnya ke dalam tiga jenis. Pertama orang yang beruntung, yakni orang yang dengan kepasrahan total melaksanakan kewajiban dan menjauhi keharaman. Kedua, orang yang selamat, yakni orang yang takut akan hukum-hukum Allah. Ketiga, orang yang merugi, yakni orang yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah.

Pembagian itu bagiku sangat menarik, sebab ada sedikit perbedaan dari orang beragam pada jenis pertama dan kedua. Jenis pertama adalah para sufi atau wali Allah yang memang sudah memiliki kepasrahan total, singkatnya, mereka ibadah bukan karena mengharap surga, dan tidak bermaksiat bukan karena takut neraka.

Sedangkan jenis kedua, mereka beribadah masih karena mengharap surga dan tidak bermaksiat karena takut neraka. Bagi al-Ghazali, kedua hal ini baik, yang tidak baik adalah jenis ketiga, karena itu, al-Ghazali menyarankan kepada kita, apabila tidak bisa menjadi jenis pertama, jadilah jenis kedua.

Demikian tulisan ini dibuat, sebagaimana yang telah aku uraikan diatas, bahwa pangkal atau akar dari aktivitas buruk adalah kebingungan untuk menjalankan aktivitas, maka diperlukan suatu arahan untuk memperjelas hal yang dapat dilakukan, terkait itu, sudah dijelaskan diatas, dimana al-Ghazali menyarankan empat hal, yakni menuntut ilmu, beribadah, bekerja, dan membantu orang lain.

Aku menyebut hal ini dengan aktivitas yang realistis, sebab pengalaman hidup ku juga demikian, aku sering sekali merasa kebingungan hendak menjalankan aktivitas apa, karena itu terkadang aku melakukan aktivitas yang kurang baik, hingga banyak waktu ku yang terbuang sia-sia.

Namun setelah bertemu dengan al-Ghazali, aku pikir empat hal diatas tidak hanya memperjelas aktivitasku, namun lebih dari itu, adalah usaha untuk merawat iman, sebab iman itu dinamis, nah agar iman ini tetap cenderung kepada kebaikan sebagaimana fitrah manusia, maka diperlukan aktivitas yang jelas, dan empat hal tadi adalah jawabannya. Secara umum keempat hal tadi harus diniatkan untuk beribadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...