Jumat, 08 Desember 2023

RE-EKSISTENSI ORGANISASI KEMAHASISWAAN EKSTRA KAMPUS: KESATUAN INTELEKTUALISME DAN AKTIVISME

 


RE-EKSISTENSI ORGANISASI MAHASISWA

EKSTRA KAMPUS:

INTELEKTUALISME DAN AKTIVISME

Disusun Dan Diajukan Sebagai Bahan Diskusi Pada Kegiatan Seminar

Pelatihan Kepemimpinan

Disusun Oleh:

Muhamad Rifki Ramdhani, S.Sos

 

Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Jakarta

kangrifki296@gmail.com

 

A.    Seputar Re-Eksistensi

Pernikahan adalah salah satu pengalaman hidup yang menarik, bagaimana tidak ? dua manusia yang -kebanyakan- belum pernah bertemu, diasuh dan diasih dengan model yang -juga kebanyakan- berbeda, bisa menjadi satu dalam mahligai rumah tangga. Akan tetapi, bukan ini point yang hendak saya sampaikan !.

Secara sederhana, sebuah keluarga adalah kesatuan antara orang tua dan anak. Disebut keluarga, karena ada-nya orang tua, dan ada-nya anak, jika demikian, berarti ‘keberadaan’ menjadi point utama dalam hal ini, karena jika tidak ada, maka tidak ada juga yang disebut keluarga. Namun jauh dari itu, selain keberadaan itu merupakan keharusan, pada waktu yang bersamaan juga mesti bisa dirasakan keberadaannya, karena jika tidak, maka keberadaannya hanyalah keberadaan semu.

Begitu pula organisasi, disebut organisasi jika ada pengurus, anggota, tujuan, peraturan dan lain sebagainya, maka tidak disebut organisasi jika tidak demikian. Lebih jauh dari itu, selain keberadaan, organisasi pun harus dirasakan keberadaannya, baik oleh anggota organisasi, maupun masyarakat. Disinilah titik beranjak ku mengenai ide Re-Eksistensi Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK).

Re-Eksistensi berarti sebuah organisasi dapat diketahui dengan jelas keberadaannya, dan dirasakan keberadaannya. Problemnya sederhana, hari ini sudah terlalu banyak organisasi ekstra kampus, namun sangat kering dirasakan keberadaannya. Paling-paling hanya dirasakan oleh anggotanya sendiri, namun inilah persoalannya, bukan kah mahasiswa memiliki fungsi agent of change dan social control ?

Jika demikian, maka keberadaan organisasi ekstra kampus harus dipertanyakan kembali, inilah usaha kritis, yakni mempertanyakan ulang eksistensi setiap organisasi ektra kampus itu !. Karena itu, melalui forum diskusi ini, saya akan mengulas persoalan ini melalui berbagai tahap. Pertama, mendudukan masalah, menampilkan metode yang segar, dan menawarkan karakteristik seorang organisatoris.

B.     Duduk Masalah

Masalah yang ada, sangat kompleks, sehingga rawan untuk mati. Bukankah seseorang yang mengalami kompleksitas penyakit juga rawan untuk mati ? jika pandangan ini benar, maka kita harus tetap optimis, melihat dan memilah masalah dengan cermat dan menyelesaikannya satu persatu, jika tidak, maka kita harus meraung di Kementrian Pendidikan agar point Tridharma Perguruan Tinggi dihapuskan saja.

Jika kedua hal itu sulit, maka kita harus memilih, melakukan pembaharuan organisasi, atau melakukan pembaharuan UU Pendidikan Tinggi ? Itu terserah saja, namun bagi saya, kemungkinan besar hanya terdapat pada pembaharuan organisasi, kenapa ? karena hal itu dekat, dan sangat realistis.

Hanya saja, tidak mudah untuk melakukan pembaharuan, kita mesti cermat, terbuka serta sabar dalam melakukan perjuangan pembaharuan. Akan tetapi, karena saya telah memilih untuk melakukan pembaharuan organisasi, dan saya juga berpikiran bahwa hal itu sulit karena terdapat banyak masalah, maka saya akan terlebih dahulu mendudukan atau melakukan pemetaan masalah.

Masalah pertama, yaitu kebekuan pemikiran. Bagi saya, ini point utamanya, dimana masalah lain akan timbul dari masalah pertama ini, dan karena itu pula saya menganggap ini masalah pertama. Kebekuan pemikiran berarti tidak adanya karya baru. Ini penyakit yang sangat berbahaya, mematikan, merajarela dan kadang tidak dirasakan.

Kebekuan pemikiran berasal dari minim literasi akibat malas membaca, baik membaca buku maupun membaca situasi terkini. Bagi saya, sebuah inovasi hanya dapat ada apabila syarat ini terpenuhi, jika tidak, maka tidak ada inovasi. Ditambah, mahasiswa hari ini yang tidak lain adalah generasi Z, sudah kabur pandangan epistemologinya oleh simulacra, dan ternina bobokan oleh hiperrealitas.

Akibatnya, sekalipun ada hal yang di diskusikan, sifatnya tak lain -bahkan seringkali- sangat nostalgis-romantis dalam sejarah. Misalnya, kader HMI bangga dengan adanya Cak Nur, kader PMII bangga dengan NU, dan begitu seterusnya. Ini tentu saja harus dirubah. Bagi saya, ini adalah penyakit mental para organisatoris abad 21, dan para jamaahnya tidak hanya generasi z, kadang juga generasi millenial dan generasi diatasnya.

Selain itu, akibat dari kebekuan pemikiran, banyak mahasiswa yang hanya mau menjadi aktivis apabila ada sebuah kontrak uang, atau dalam istilah lain money oriented, ini tentu saja tidak sepenuhnya, dan itu harus diakui, namun ini menjadi sangat lucu, apabila semua aturan yang sudah di ketuk palu dalam persidangan, diabaikan dan kadang-kadang tidak terasa ada. Lagi-lagi, sesuatu itu harus dirasakan keberadaannya, sebab jika hanya ada, jadilah orang-orang seperti ini. Dan orang-orang ini, dalam istilah saya, disebut dengan orang-orang pragmatis, yang sekaligus menganut pragmatisme.

Pragmatisme disini bisa saja dikaitkan dengan pemikiran filsafat William James, dimana sebuah kebenaran diukur berdasarkan manfaatnya. Namun orang-orang pragmatis ini juga sudah jauh dari pemikiran James tadi, sebab orientasinya bukan lagi kebenaran, melainkan uang. Sehingga adagium para filosof mengenai eksistensi terus mengalami perubahan. Katakanlah dulu Descartes mengatakan ‘Aku Berpikir Maka Aku Ada’, kemudian Fransiscus Budi Hardiman mengatakan ‘Aku Klik Maka Aku Ada’, kini orang-orang itu beradagium ‘Aku Beruang Aku Ada’. Inilah sekelumit duduk masalah bagian pertama, yakni kebekuan pemikiran.

Masalah kedua adalah Eksklusifisme atau sikap tertutup. Bagiku, Ini tak lain adalah akibat dari kebekuan pemikiran diatas, walaupun kadang tidak begitu, artinya tidak menjadi kausalitas secara ketat. Masalah kedua ini juga sangat dahsyat merusak seorang organisatoris, sebab akan menampilkan sikap -dalam bahasa Achmad Wahib- double standart, sentimen organisasi, bahkan bodo amat.

Double Standart, atau kepentingan ganda, adalah bentuk sentimen organisasi dan sikap tertutup seorang organisatoris. Kepentingan ganda maksudnya adalah membuka A untuk menutup B, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya, untuk mempertahankan kelanjutan rezim HMI Komisariat Fakultas Dakwah Cabang Ciputat, struktur para pejabat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi diisi oleh seluruh kader HMI, karenanya, bersamaan dengan itu, berarti menutup pintu rapat-rapat bagi kader PMII untuk berorganisasi. Hal serupa terjadi pada Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ushuluddin, dan seterusnya. Ini adalah mental pecundang, sebab tak berani untuk bersaing, namun mereka merasa tak berdosa.

Disini, ada juga sikap bodo amatan. Ini biasanya menjadi sikap seorang mahasiswa yang masuk ke organisasi ekstra kampus melalui jalur doktrin senior, baik melalui tongkrongan, pekan olahraga, ajakan untuk nonton bioskop, atau sekedar mata kuliah SPA (Sejarah Perjalanan Abang). Ketika sudah menjadi anggota organisasi, orang ini biasanya sering tak peduli pada situasi kekinian dan kedisinian, apalagi pada kondisi yang mendatang. Inilah secercah duduk masalah bagian kedua, yakni eksklusifisme.

Masalah ketiga adalah sakralisasi. Dalam hal ini terkenal adagium ‘SIAP ABANG, APA PERINTAH ?’. Jika anda pernah mendengar kalimat tersebut, itulah salah satu ciri dari orang yang menyakralkan senior. Namun jika anda pernah melihat orang yang sering berswafoto menggunakan atribut organisasi, anda sedang melihat ciri orang yang mengalami keterjebakan simbol, biasanya, ciri lanjutannya adalah, hendak membela organisasi, bukan membela kebenaran. Akan tetapi, jika anda bertemu dengan orang yang sentimen organisasi, anda telah bertemu dengan orang yang reaksioner.

Itu semua, dengan mengikuti garis argumen Nurcholis Madjid dan membacanya secara kontektual, adalah sebuah ciri sakralisasi, dimana hal ini juga adalah masalah besar dalam usaha pembaharuan. Objek dari sakralisasi dalam hal ini adalah tak lain para senior -yang sering memberikan perasaan kekeluargaan semu- maupun simbol-simbol organisasi. Dan inilah seteguk masalah ketiga, yakni sakralisasi.

Masalah keempat adalah tradisi monodisiplin. Karena konteks tulisan ini adalah organisasi, maka jika anda mendengar adagium ‘HMI untuk HMI’, ‘NU untuk NU’, ‘Kristen untuk Kristen’, ‘Indonesia untuk Indonesia’, maka inilah yang saya maksudkan dengan monodisiplin atau linieritas. Lebih jelasnya, manfaat organisasi hanya dapat dirasakan oleh organisasi itu sendiri, dan tidak kepada yang lain, tentunya dalam hal ini adalah manfaat yang bersifat universal, bukan partikular. Sebab manfaat partikular merupakan kelebihan dari satu organisasi dengan organisasi lainnya. Dan inilah point terakhir dari empat duduk masalah yang berhasil aku temukan, namun masih bersifat hipotesis.

C.    Seputar Posibilitas dan Tahapan Pengetahuan

Bagian ini tak lain hanya ingin mengatakan bahwa pola laku sangat bergantung pada pola pikir. Karena itu, kita harus memperbaiki pola pikir jika hendak merubah pola laku. Dan karena kita hendak melakukan pembaharuan, maka merubah pola pikir adalah keniscayaan mutlak. Dan semua pemikir, bagi saya, akan sepakat dengan argumen saya ini.

Seseorang yang sentimen dalam berorganisasi, pastilah dia yang memiliki pemikiran sempit, dia menganggap bahwa kehadiran anggota dari organisasi lain hanya akan menghambat pergerakannya. Begitu indah lah apa yang dikatakan oleh para logikawan ‘Yang Tak Memiliki Tak Dapat Memberi’. Dan ini adalah bentuk dari pentingnya seseorang memiliki pengetahuan, terlepas dari jenis pengetahuannya, apakah berbasis teologis, metafisis, mistis, saintifik, dan seterusnya.

Setelah mengetahui pentingnya pengetahuan, ide ini akan membawa kita pada ide lanjutan berupa sebuah pertanyaan, apakah yang disebut orang berpengetahuan adalah orang yang memiliki gelar ? orang yang memiliki jabatan ? atau orang yang sering mengisi kajian dimana-mana ? jika anda berpikiran demikian, anda tidaklah salah, hanya saja belum lengkap.

Informasi dari sarjanawan persia, Murtadha Muthahari, memberi penjelasan yang sangat menarik, baginya, ada tiga tahapan pengetahuan manusia, yakni mengetahui, memahami, dan menjalankan. Nah, seorang organisatoris haruslah sampai pada tahapan ketiga itu, jika tidak, walaupun tetap baik, namun tidak memiliki efek apapun, dan mengaburkan fungsi mahasiswa.

D.    Seputar Sekularisasi

Ide sekularisasi disini tentu saja saya peroleh dari Cak Nur, namun disini akan dibaca lebih kontekstual. Bagiku, sekularisasi itu perlu, apalagi dalam berorganisasi, kita hanya harus menganggap kebenaran-kebenaran mutlak ini meliputi Tuhan, dan ini sangat sesuai dengan karakteristik Indonesia, dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain Tuhan, tidak perlu ada lagi yang disakralkan. Misalnya, senior memang berpengalaman, namun senior juga manusia yang memiliki keterbatasan akal, karena itu senior tidak pasti selalu benar. Begitu pula para senior yang telah berwujud tokoh nasional, seperti Nurcholis Madjid untuk HMI, Abdurrahmad Wahid untuk NU, dan Buya Syafi’i Ma’arif untuk Muhammadiyah.

Mereka semua, memang adalah tokoh superior, bahkan mendapat gelar guru bangsa, namun, kita tetap perlu menguji ulang kebenaran-kebenaran yang telah mereka paparkan, kenapa demikian ? karena dunia ini dinamis, perubahan itu adalah hal yang niscaya, yang tidak berubah hanyalah Tuhan, dan karena itu, hanya Tuhan lah yang patut di sakralkan. Dalam hal ini, aspek turunan Tuhan pun juga diikut sertakan, seperti kitab suci, dan para nabi, sebab para nabi adalah hasil didikan Tuhan secara langsung. Bagiku, kebenaran hanya ada pada kebenaran itu sendiri, dalam bahasa Cak Nur, kebenaran mutlak itu adalah Allah SWT.

Tanpa adanya keberanian untuk desakralisasi terhadap hal-hal yang sudah dikemukakan diatas, organisasi akan menjadi mundur, sebab akan melahirkan konsekuensi logis berupa kejumudan, keterjebakan simbol, sikap tertutup dan seterusnya. Karena itu, saya menawarkan kembali ide sekularisasi dari Cak Nur ini, yang memang sempat meramaikan Indonesia di abad 20.

E.     Transdisiplin

Transdisiplin sebetulnya adalah sebuah metode yang tidak dapat dikatakan baru, namun banyak yang tidak mengetahui. Terutama bagi organisatoris yang hari-harinya sibuk membuat video jedag jedug menggunakan atribut organisasi, atau organisatoris yang sibuk dengan politik praktis kampus. Tentu saja, organisatoris semacam itu hanya berjalan mengikuti buntut senior, tidak akan tahu dengan metode kontemporer ini.

Mari kita langsung saja pada intinya, bagaimana menggunakan trandisiplin dalam membentuk eksistensi organisasi ? Namun, disini kiranya tetap diperlukan penjelasan ringkas mengenai transdisiplin. Melalui pembacaanku terhadap buku Amin Abdullah “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin”, pengertian sederhana dari transdisiplin adalah sebuah pengkajian terhadap suatu masalah ilmu pengetahuan melalui beragam metode dan beragam elemen.

Masalah yang dimaksud oleh Amin adalah masalah universal, seperti kemanusiaan. Adapun beragam metode yang dimaksud adalah kesatupaduan antara metode ilmu-ilmu keagamaan, filsafat, dan sains. Sedangkan elemen yang dimaksud itu meliputi, data empiris, peneliti/ilmuan, pemerintah, dan masyarakat.

Karena disini kita hendak berdiskusi mengenai organisasi, maka yang saya maksudkan dengan penggunaan metode transdisiplin ini adalah usaha untuk mewujudkan sikap terbuka seorang organisatoris. Sebab, hanya dengan sikap terbukalah sebuah pembaharuan itu mungkin, karena jika tidak demikian, maka tidak ada pembaharuan, dan sejarah mencatat bahwa para pembaharu adalah orang-orang yang memiliki sikap terbuka.

Ada tiga point yang diajukan oleh Amin sebagai kunci terjalankannya metode transdisiplin, yaitu semipermeable (saling menembus), intersubjective testability, dan imaginative crativity. Marilah kita mulai dengan semipermeable, saya akan mengatakan bahwa keterbukaan yang dimaksud bukan berarti benar-benar menanggalkan identitas dari masing-masing organisasi, disini saya membayangkan bahwa setiap organisasi memiliki sikap terbuka. Misalnya: seorang organisatoris muslim tidak perlu menanggalkan keimanannya terhadap kebenaran al-Qur’an untuk menerima pandangan dari organisatoris kristen, begitu pun sebaliknya.

Kemudian, intersubjective testability, saya akan berkata bahwa kebenaran yang dicapai harus berdasarkan banyak pikiran, atau kesepakatan. Maksudnya, seorang pengurus organisasi tidak hanya merancang program berdasarkan kemauan sang pengurus, tapi harus juga melihat kebutuhan anggotanya, bahkan kebutuhan masyarakat secara umum.

Selanjutnya, imajinasi kreatif. Disini, yang dimaksud adalah program-program baru yang menjawab kebutuhan para anggotanya, baik jangka dekat maupun jauh. Kuncinya adalah melihat perubahan-perubahan yang ada di realitas. Misalnya, kunjungan perpustakaan nasional sambil membuat video vlog, dan lain sebagainya.

Pemikiran dari Amin ini, yang sebetulnya tertuju hanya pada para ilmuwan atau peneliti, bagi saya juga bisa diterapkan sebagai karakteristik organisasi ekstra kampus, sebab hal ini, walaupun bukan baru, relevan untuk digunakan. Dengan mengikuti Amin, organisasi ekstra kampus memiliki karakteristiknya sendiri. Nah dari sini, karena saya sendiri sepakat bahwa manusia lebih penting dari organisasinya, maka bagaimanakah karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang organisatoris ? Hal itu akan saya jawab pada bagian akhir, yang akan segera anda baca.

F.     Postulat Hipotetis Re-Eksistensi OMEK

Saya menyebut postulat ini dengan hipotetis, bukan berarti saya tidak percaya diri dengan apa yang saya sampaikan, melainkan sebuah bentuk sikap terbuka saya, bahwa hal yang saya sampaikan tidak sepenuhnya bernilai benar, tetap ada kemungkinan besar untuk salah, selain itu, saya memiliki kepercayaan bahwa pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan kerja secara terus menerus.

Bagi saya, karakteristik organisatoris harus meliputi dua hal, yakni intelektualisme dan aktivisme. Kenapa saya mulai dengan intelektualisme ? sebab, saya telah menyatakan bahwa pola laku berdasarkan pola pikir. Kemudian saya melanjutkannya dengan aktivisme, berarti pikiran-pikiran itu harus dapat dirasakan oleh siapapun, tidak hanya bagi pengurus maupun anggotanya, melainkan masyarakat umum, baik masyarakat dalam kampus yang berupa mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang – kuliah pulang), maupun jajaran dosen, dekan, sampai rektor.

Terakhir, bagi saya, keberadaan organisasi hanya dapat dengan jelas dilihat dengan adanya pertarungan intelektual di dalamnya, yang mengacu pada tradisi teks, konteks dan kontekstual. Kemudian, keberadaan organisasi hanya dapat dirasakan dengan adanya kegiatan-kegiatan yang mengobjekkan masyarakat, seperti BAKSOS (Bakti Sosial), BANSOS (Bantuan Sosial). Karena itu, intelektualisme dan aktivisme harus menjadi satu dalam diri seorang organisatoris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...