RE-EKSISTENSI
ORGANISASI MAHASISWA
EKSTRA KAMPUS:
INTELEKTUALISME DAN AKTIVISME
Disusun Dan
Diajukan Sebagai Bahan Diskusi Pada Kegiatan Seminar
Pelatihan Kepemimpinan
Disusun Oleh:
Muhamad Rifki Ramdhani, S.Sos
Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra
Jakarta
A. Seputar
Re-Eksistensi
Pernikahan adalah salah satu pengalaman hidup yang menarik, bagaimana tidak
? dua manusia yang -kebanyakan- belum pernah bertemu, diasuh dan diasih dengan
model yang -juga kebanyakan- berbeda, bisa menjadi satu dalam mahligai rumah
tangga. Akan tetapi, bukan ini point yang hendak saya sampaikan !.
Secara sederhana, sebuah keluarga adalah kesatuan antara orang tua dan
anak. Disebut keluarga, karena ada-nya orang tua, dan ada-nya anak, jika
demikian, berarti ‘keberadaan’ menjadi point utama dalam hal ini, karena jika
tidak ada, maka tidak ada juga yang disebut keluarga. Namun jauh dari itu,
selain keberadaan itu merupakan keharusan, pada waktu yang bersamaan juga mesti
bisa dirasakan keberadaannya, karena jika tidak, maka keberadaannya hanyalah
keberadaan semu.
Begitu pula organisasi, disebut organisasi jika ada pengurus, anggota,
tujuan, peraturan dan lain sebagainya, maka tidak disebut organisasi jika tidak
demikian. Lebih jauh dari itu, selain keberadaan, organisasi pun harus
dirasakan keberadaannya, baik oleh anggota organisasi, maupun masyarakat.
Disinilah titik beranjak ku mengenai ide Re-Eksistensi Organisasi Mahasiswa
Ekstra Kampus (OMEK).
Re-Eksistensi berarti sebuah organisasi dapat diketahui dengan jelas
keberadaannya, dan dirasakan keberadaannya. Problemnya sederhana, hari ini
sudah terlalu banyak organisasi ekstra kampus, namun sangat kering dirasakan
keberadaannya. Paling-paling hanya dirasakan oleh anggotanya sendiri, namun
inilah persoalannya, bukan kah mahasiswa memiliki fungsi agent of change dan
social control ?
Jika demikian, maka keberadaan organisasi ekstra kampus harus dipertanyakan
kembali, inilah usaha kritis, yakni mempertanyakan ulang eksistensi setiap
organisasi ektra kampus itu !. Karena itu, melalui forum diskusi ini, saya akan
mengulas persoalan ini melalui berbagai tahap. Pertama, mendudukan masalah,
menampilkan metode yang segar, dan menawarkan karakteristik seorang
organisatoris.
B. Duduk Masalah
Masalah yang ada, sangat kompleks, sehingga rawan untuk mati. Bukankah
seseorang yang mengalami kompleksitas penyakit juga rawan untuk mati ? jika
pandangan ini benar, maka kita harus tetap optimis, melihat dan memilah masalah
dengan cermat dan menyelesaikannya satu persatu, jika tidak, maka kita harus
meraung di Kementrian Pendidikan agar point Tridharma Perguruan Tinggi
dihapuskan saja.
Jika kedua hal itu sulit, maka kita harus memilih, melakukan pembaharuan
organisasi, atau melakukan pembaharuan UU Pendidikan Tinggi ? Itu terserah
saja, namun bagi saya, kemungkinan besar hanya terdapat pada pembaharuan
organisasi, kenapa ? karena hal itu dekat, dan sangat realistis.
Hanya saja, tidak mudah untuk melakukan pembaharuan, kita mesti cermat,
terbuka serta sabar dalam melakukan perjuangan pembaharuan. Akan tetapi, karena
saya telah memilih untuk melakukan pembaharuan organisasi, dan saya juga
berpikiran bahwa hal itu sulit karena terdapat banyak masalah, maka saya akan
terlebih dahulu mendudukan atau melakukan pemetaan masalah.
Masalah pertama, yaitu kebekuan pemikiran. Bagi saya, ini point utamanya,
dimana masalah lain akan timbul dari masalah pertama ini, dan karena itu pula
saya menganggap ini masalah pertama. Kebekuan pemikiran berarti tidak adanya
karya baru. Ini penyakit yang sangat berbahaya, mematikan, merajarela dan
kadang tidak dirasakan.
Kebekuan pemikiran berasal dari minim literasi akibat malas membaca, baik
membaca buku maupun membaca situasi terkini. Bagi saya, sebuah inovasi hanya
dapat ada apabila syarat ini terpenuhi, jika tidak, maka tidak ada inovasi.
Ditambah, mahasiswa hari ini yang tidak lain adalah generasi Z, sudah kabur
pandangan epistemologinya oleh simulacra, dan ternina bobokan oleh
hiperrealitas.
Akibatnya, sekalipun ada hal yang di diskusikan, sifatnya tak lain -bahkan
seringkali- sangat nostalgis-romantis dalam sejarah. Misalnya, kader HMI bangga
dengan adanya Cak Nur, kader PMII bangga dengan NU, dan begitu seterusnya. Ini
tentu saja harus dirubah. Bagi saya, ini adalah penyakit mental para
organisatoris abad 21, dan para jamaahnya tidak hanya generasi z, kadang juga
generasi millenial dan generasi diatasnya.
Selain itu, akibat dari kebekuan pemikiran, banyak mahasiswa yang hanya mau
menjadi aktivis apabila ada sebuah kontrak uang, atau dalam istilah lain money
oriented, ini tentu saja tidak sepenuhnya, dan itu harus diakui, namun ini
menjadi sangat lucu, apabila semua aturan yang sudah di ketuk palu dalam
persidangan, diabaikan dan kadang-kadang tidak terasa ada. Lagi-lagi, sesuatu
itu harus dirasakan keberadaannya, sebab jika hanya ada, jadilah orang-orang
seperti ini. Dan orang-orang ini, dalam istilah saya, disebut dengan
orang-orang pragmatis, yang sekaligus menganut pragmatisme.
Pragmatisme disini bisa saja dikaitkan dengan pemikiran filsafat William
James, dimana sebuah kebenaran diukur berdasarkan manfaatnya. Namun orang-orang
pragmatis ini juga sudah jauh dari pemikiran James tadi, sebab orientasinya
bukan lagi kebenaran, melainkan uang. Sehingga adagium para filosof mengenai eksistensi
terus mengalami perubahan. Katakanlah dulu Descartes mengatakan ‘Aku
Berpikir Maka Aku Ada’, kemudian Fransiscus Budi Hardiman mengatakan ‘Aku Klik
Maka Aku Ada’, kini orang-orang itu beradagium ‘Aku Beruang Aku Ada’. Inilah
sekelumit duduk masalah bagian pertama, yakni kebekuan pemikiran.
Masalah kedua adalah Eksklusifisme atau sikap tertutup. Bagiku, Ini tak
lain adalah akibat dari kebekuan pemikiran diatas, walaupun kadang tidak
begitu, artinya tidak menjadi kausalitas secara ketat. Masalah kedua ini juga
sangat dahsyat merusak seorang organisatoris, sebab akan menampilkan sikap
-dalam bahasa Achmad Wahib- double standart, sentimen organisasi, bahkan
bodo amat.
Double Standart, atau kepentingan ganda, adalah bentuk sentimen organisasi dan sikap
tertutup seorang organisatoris. Kepentingan ganda maksudnya adalah membuka A
untuk menutup B, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya, untuk mempertahankan
kelanjutan rezim HMI Komisariat Fakultas Dakwah Cabang Ciputat, struktur para
pejabat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi diisi
oleh seluruh kader HMI, karenanya, bersamaan dengan itu, berarti menutup pintu
rapat-rapat bagi kader PMII untuk berorganisasi. Hal serupa terjadi pada
Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas
Ushuluddin, dan seterusnya. Ini adalah mental pecundang, sebab tak berani untuk
bersaing, namun mereka merasa tak berdosa.
Disini, ada juga sikap bodo amatan. Ini biasanya menjadi sikap seorang
mahasiswa yang masuk ke organisasi ekstra kampus melalui jalur doktrin senior,
baik melalui tongkrongan, pekan olahraga, ajakan untuk nonton bioskop, atau
sekedar mata kuliah SPA (Sejarah Perjalanan Abang). Ketika sudah menjadi
anggota organisasi, orang ini biasanya sering tak peduli pada situasi kekinian
dan kedisinian, apalagi pada kondisi yang mendatang. Inilah secercah duduk
masalah bagian kedua, yakni eksklusifisme.
Masalah ketiga adalah sakralisasi. Dalam hal ini terkenal adagium ‘SIAP
ABANG, APA PERINTAH ?’. Jika anda pernah mendengar kalimat tersebut, itulah
salah satu ciri dari orang yang menyakralkan senior. Namun jika anda pernah
melihat orang yang sering berswafoto menggunakan atribut organisasi, anda
sedang melihat ciri orang yang mengalami keterjebakan simbol, biasanya, ciri
lanjutannya adalah, hendak membela organisasi, bukan membela kebenaran. Akan
tetapi, jika anda bertemu dengan orang yang sentimen organisasi, anda telah
bertemu dengan orang yang reaksioner.
Itu semua, dengan mengikuti garis argumen Nurcholis Madjid dan membacanya
secara kontektual, adalah sebuah ciri sakralisasi, dimana hal ini juga adalah
masalah besar dalam usaha pembaharuan. Objek dari sakralisasi dalam hal ini
adalah tak lain para senior -yang sering memberikan perasaan kekeluargaan semu-
maupun simbol-simbol organisasi. Dan inilah seteguk masalah ketiga, yakni
sakralisasi.
Masalah keempat adalah tradisi monodisiplin. Karena konteks tulisan ini
adalah organisasi, maka jika anda mendengar adagium ‘HMI untuk HMI’, ‘NU untuk
NU’, ‘Kristen untuk Kristen’, ‘Indonesia untuk Indonesia’, maka inilah yang
saya maksudkan dengan monodisiplin atau linieritas. Lebih jelasnya, manfaat
organisasi hanya dapat dirasakan oleh organisasi itu sendiri, dan tidak kepada
yang lain, tentunya dalam hal ini adalah manfaat yang bersifat universal, bukan
partikular. Sebab manfaat partikular merupakan kelebihan dari satu organisasi
dengan organisasi lainnya. Dan inilah point terakhir dari empat duduk masalah
yang berhasil aku temukan, namun masih bersifat hipotesis.
C. Seputar
Posibilitas dan Tahapan Pengetahuan
Bagian ini tak lain hanya ingin mengatakan bahwa pola laku sangat
bergantung pada pola pikir. Karena itu, kita harus memperbaiki pola pikir jika
hendak merubah pola laku. Dan karena kita hendak melakukan pembaharuan, maka
merubah pola pikir adalah keniscayaan mutlak. Dan semua pemikir, bagi saya,
akan sepakat dengan argumen saya ini.
Seseorang yang sentimen dalam berorganisasi, pastilah dia yang memiliki
pemikiran sempit, dia menganggap bahwa kehadiran anggota dari organisasi lain
hanya akan menghambat pergerakannya. Begitu indah lah apa yang dikatakan oleh para
logikawan ‘Yang Tak Memiliki Tak Dapat Memberi’. Dan ini adalah bentuk dari
pentingnya seseorang memiliki pengetahuan, terlepas dari jenis pengetahuannya,
apakah berbasis teologis, metafisis, mistis, saintifik, dan seterusnya.
Setelah mengetahui pentingnya pengetahuan, ide ini akan membawa kita pada
ide lanjutan berupa sebuah pertanyaan, apakah yang disebut orang berpengetahuan
adalah orang yang memiliki gelar ? orang yang memiliki jabatan ? atau orang
yang sering mengisi kajian dimana-mana ? jika anda berpikiran demikian, anda
tidaklah salah, hanya saja belum lengkap.
Informasi dari sarjanawan persia, Murtadha Muthahari, memberi penjelasan
yang sangat menarik, baginya, ada tiga tahapan pengetahuan manusia, yakni
mengetahui, memahami, dan menjalankan. Nah, seorang organisatoris haruslah
sampai pada tahapan ketiga itu, jika tidak, walaupun tetap baik, namun tidak
memiliki efek apapun, dan mengaburkan fungsi mahasiswa.
D. Seputar
Sekularisasi
Ide sekularisasi disini tentu saja saya peroleh dari Cak Nur, namun disini
akan dibaca lebih kontekstual. Bagiku, sekularisasi itu perlu, apalagi dalam
berorganisasi, kita hanya harus menganggap kebenaran-kebenaran mutlak ini
meliputi Tuhan, dan ini sangat sesuai dengan karakteristik Indonesia, dimana
sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain Tuhan, tidak perlu ada lagi yang disakralkan. Misalnya, senior
memang berpengalaman, namun senior juga manusia yang memiliki keterbatasan
akal, karena itu senior tidak pasti selalu benar. Begitu pula para senior yang
telah berwujud tokoh nasional, seperti Nurcholis Madjid untuk HMI, Abdurrahmad
Wahid untuk NU, dan Buya Syafi’i Ma’arif untuk Muhammadiyah.
Mereka semua, memang adalah tokoh superior, bahkan mendapat gelar guru
bangsa, namun, kita tetap perlu menguji ulang kebenaran-kebenaran yang telah
mereka paparkan, kenapa demikian ? karena dunia ini dinamis, perubahan itu
adalah hal yang niscaya, yang tidak berubah hanyalah Tuhan, dan karena itu,
hanya Tuhan lah yang patut di sakralkan. Dalam hal ini, aspek turunan Tuhan pun
juga diikut sertakan, seperti kitab suci, dan para nabi, sebab para nabi adalah
hasil didikan Tuhan secara langsung. Bagiku, kebenaran hanya ada pada kebenaran
itu sendiri, dalam bahasa Cak Nur, kebenaran mutlak itu adalah Allah SWT.
Tanpa adanya keberanian untuk desakralisasi terhadap hal-hal yang sudah
dikemukakan diatas, organisasi akan menjadi mundur, sebab akan melahirkan
konsekuensi logis berupa kejumudan, keterjebakan simbol, sikap tertutup dan
seterusnya. Karena itu, saya menawarkan kembali ide sekularisasi dari Cak Nur
ini, yang memang sempat meramaikan Indonesia di abad 20.
E. Transdisiplin
Transdisiplin sebetulnya adalah sebuah metode yang tidak dapat dikatakan
baru, namun banyak yang tidak mengetahui. Terutama bagi organisatoris yang hari-harinya
sibuk membuat video jedag jedug menggunakan atribut organisasi, atau
organisatoris yang sibuk dengan politik praktis kampus. Tentu saja,
organisatoris semacam itu hanya berjalan mengikuti buntut senior, tidak akan
tahu dengan metode kontemporer ini.
Mari kita langsung saja pada intinya, bagaimana menggunakan trandisiplin
dalam membentuk eksistensi organisasi ? Namun, disini kiranya tetap diperlukan
penjelasan ringkas mengenai transdisiplin. Melalui pembacaanku terhadap buku
Amin Abdullah “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin”, pengertian
sederhana dari transdisiplin adalah sebuah pengkajian terhadap suatu masalah
ilmu pengetahuan melalui beragam metode dan beragam elemen.
Masalah yang dimaksud oleh Amin adalah masalah universal, seperti
kemanusiaan. Adapun beragam metode yang dimaksud adalah kesatupaduan antara
metode ilmu-ilmu keagamaan, filsafat, dan sains. Sedangkan elemen yang dimaksud
itu meliputi, data empiris, peneliti/ilmuan, pemerintah, dan masyarakat.
Karena disini kita hendak berdiskusi mengenai organisasi, maka yang saya
maksudkan dengan penggunaan metode transdisiplin ini adalah usaha untuk
mewujudkan sikap terbuka seorang organisatoris. Sebab, hanya dengan sikap
terbukalah sebuah pembaharuan itu mungkin, karena jika tidak demikian, maka
tidak ada pembaharuan, dan sejarah mencatat bahwa para pembaharu adalah
orang-orang yang memiliki sikap terbuka.
Ada tiga point yang diajukan oleh Amin sebagai kunci terjalankannya metode
transdisiplin, yaitu semipermeable (saling menembus), intersubjective
testability, dan imaginative crativity. Marilah kita mulai dengan
semipermeable, saya akan mengatakan bahwa keterbukaan yang dimaksud bukan
berarti benar-benar menanggalkan identitas dari masing-masing organisasi,
disini saya membayangkan bahwa setiap organisasi memiliki sikap terbuka.
Misalnya: seorang organisatoris muslim tidak perlu menanggalkan keimanannya terhadap
kebenaran al-Qur’an untuk menerima pandangan dari organisatoris kristen, begitu
pun sebaliknya.
Kemudian, intersubjective testability, saya akan berkata bahwa kebenaran
yang dicapai harus berdasarkan banyak pikiran, atau kesepakatan. Maksudnya,
seorang pengurus organisasi tidak hanya merancang program berdasarkan kemauan
sang pengurus, tapi harus juga melihat kebutuhan anggotanya, bahkan kebutuhan
masyarakat secara umum.
Selanjutnya, imajinasi kreatif. Disini, yang dimaksud adalah
program-program baru yang menjawab kebutuhan para anggotanya, baik jangka dekat
maupun jauh. Kuncinya adalah melihat perubahan-perubahan yang ada di realitas.
Misalnya, kunjungan perpustakaan nasional sambil membuat video vlog, dan lain
sebagainya.
Pemikiran dari Amin ini, yang sebetulnya tertuju hanya pada para ilmuwan
atau peneliti, bagi saya juga bisa diterapkan sebagai karakteristik organisasi
ekstra kampus, sebab hal ini, walaupun bukan baru, relevan untuk digunakan.
Dengan mengikuti Amin, organisasi ekstra kampus memiliki karakteristiknya
sendiri. Nah dari sini, karena saya sendiri sepakat bahwa manusia lebih penting
dari organisasinya, maka bagaimanakah karakteristik yang harus dimiliki oleh
seorang organisatoris ? Hal itu akan saya jawab pada bagian akhir, yang akan
segera anda baca.
F. Postulat
Hipotetis Re-Eksistensi OMEK
Saya menyebut postulat ini dengan hipotetis, bukan berarti saya tidak
percaya diri dengan apa yang saya sampaikan, melainkan sebuah bentuk sikap
terbuka saya, bahwa hal yang saya sampaikan tidak sepenuhnya bernilai benar,
tetap ada kemungkinan besar untuk salah, selain itu, saya memiliki kepercayaan
bahwa pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan kerja secara terus menerus.
Bagi saya, karakteristik organisatoris harus meliputi dua hal, yakni
intelektualisme dan aktivisme. Kenapa saya mulai dengan intelektualisme ?
sebab, saya telah menyatakan bahwa pola laku berdasarkan pola pikir. Kemudian
saya melanjutkannya dengan aktivisme, berarti pikiran-pikiran itu harus dapat
dirasakan oleh siapapun, tidak hanya bagi pengurus maupun anggotanya, melainkan
masyarakat umum, baik masyarakat dalam kampus yang berupa mahasiswa kupu-kupu
(kuliah pulang – kuliah pulang), maupun jajaran dosen, dekan, sampai rektor.
Terakhir, bagi saya, keberadaan organisasi hanya dapat dengan jelas dilihat
dengan adanya pertarungan intelektual di dalamnya, yang mengacu pada tradisi
teks, konteks dan kontekstual. Kemudian, keberadaan organisasi hanya dapat
dirasakan dengan adanya kegiatan-kegiatan yang mengobjekkan masyarakat, seperti
BAKSOS (Bakti Sosial), BANSOS (Bantuan Sosial). Karena itu, intelektualisme dan
aktivisme harus menjadi satu dalam diri seorang organisatoris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar