Minggu, 26 November 2023

My November: Titik Beranjak ke Arah Pergolakan Pemikiran dan Pertemuan dengan Cinta Pertama

 




Minggu 26 November 2000, entah sedang hujan atau panas, yang pasti cuacanya sejuk, sebab ini adalah Kota Hujan. Rasanya hari itu adalah hari paling membahagiakan bagi kedua orang tua ku, menyambut bayi kecil pertama yang memulai aktivitasnya dengan menangis sebagai tanda syukur kepada Allah karena mempergunakan air mata sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Bayi kecil itu kemudian di asuh dengan kasih dan sayang, dibantu pula oleh kakek dan nenek dari kedua orang tua ku. Dan akulah bayi tersebut, Muhamad Rifki Ramdhani.

Beranjak dari bayi menuju masa anak-anak, aku hidup ditengah lingkungan Islam tradisional, atau biasa dikenal dengan pesantren kampung. Agaknya, telinga si bayi sudah biasa mendengar bacaan-bacaan ayat suci al-Qur'an yang menggema menggetarkan langit dan bumi, keluar dari mulut mulut suci para kiyai dan santri dari pesantren itu.

Saat menjadi anak-anak, aku menghabiskan waktu untuk menjalankan pendidikan non formal ku di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Bidayatul Hidayah asuhan K.H. Syatibi bin KH. Syukri, kemudian melanjutkan dengan formal ke sekolah dasar negeri Parakan Muncang 02.

Pada saat bersekolah di SD, tak mau ketinggalan untuk dapat membaca al-Qur'an, aku kemudian mengikuti pengajian baca al-Qur'an di pondok pesantren Ibn Yusuf asuhan K.H. Ukon abdul Ghoni. Sampai saat tulisan ini dibuat, Kang Haji (begitu sapaan kami sebagai santri) adalah tetap guru yang menjadi idolaku.

Saat itu, aku hanya belajar iqro hingga akhirnya menamatkam juz 30  sebanyak tiga kali sampai lulus SD. Selanjutnya aku melanjutkan pendidikan ku di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Babakan Sirna, -kini menjadi MTsN. 2 Kab. Bogor-, dimana saat aku beranjak ke tingkat MTS, aku memulai perjalanan ku untuk menjadi santri dan menuntut ilmu pengetahuan agama (Ulum al-Din), di pondok pesantren Ibn Yusuf asuhan kang haji.

Saat itu, aku memulai kajian kitab kuning berjenis kajian fikih, dengan kitan safinah sebagai kitab sorogannya, dan kitab fathul qorib, riyadh al badi'ah, nasoihul ibad, ta'lim muta'allim, ushfuriyah dan Tijan ad-Darori sebagai kitab kajian coretan.

Perjalanan ku dalam mengkaji agama dimulai dari pengenalanku terhadap Allah, ini tentu saja terbukti dengan kitan safinah sebagai model kitabnya, sebab dalam kitab tersebut, kita dapat menemukan bab-bab teologi pada pembahasan awal, yang tentu saja dibahas dengan sangat ringkas. Pada saat itu, barulah aku mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang patut-benar untuk disembah kecuali Allah, dan bahwa aku tidak bisa melesat sedikit pun dari perbuatan maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.

Aku menyadari, saat itu pengetahuan ku hanya berada pada satu tahap, yaitu tahap mengetahui, aku belum sampai pada tahap memahami, apalagi menjalankan. Maksudnya, sekalipun aku tahu bahwa aku tidak mungkin bisa selamat dari tidak melakukan maksiat, namun aku selalu berpikir bahwa aku yang tidak maksiat adalah berkat kehebatan diriku melawan syahwat. Jika dipersentasekan, mungkin aku menganggap 70 % adalah pilihan sadarku, dan 30 % adalah pertolongan Allah.

Allah pada bagian ini -yakni Tuhan yang patut-benar untuk disembah, dan yang memberikan pertolongan agar bisa selamat dari tipu daya setan untuk bermaksiat-, digambarkan oleh Syekh Salim ibn Sumair (pengarang kitab safinah) sebagai Yang Maha Agung dan Yang Maha Luhur.

Adalah menarik bagiku, sebab dalam kitab ini, setelah kita diperkenalkan dengan Tuhan yang Maha Benar secara Hakiki, kita juga diajarkan bagaimana untuk mendekat kepadanya, yaitu dengan pengkajian terhadap fikih ibadah, pembahasannya seputar thaharoh yang meliputi, ciri baligh, syarat wudhu, syarat air wudhu, macam-macam najis, cara beryamum, cara mandi besar, dan lain sebagainya, juga meliputi pembahasan sholat seperti syarat wajib sholat, syarat sholat, rukun sholat, hal yang membatalkan sholat, cara berjamaah, dan lain sebagainya. Disini aku mulai mengetahui bahwa beribadah itu tidak bisa sembarang atau asal-asalan, sebab jika demikian, maka telah menyalahi salah satu cabang keilmuan Islam yakni fikih.

Aku sangat tertarik dengan keilmuan ini, sebab selain bersifat praktis, belajar fikih dapat memberikan kita kemudahan dan keyakinan dalam menjalankan ibadah. Akan tetapi, selain fikih, keilmuan Islam yang sangat membuatku jatuh hati adalah tauhid. Pada saat fase pendidikan MTs, aku sangat bersemangat apabila malam senin telah tiba, sebab malam senin adalah jadwal ngaji tauhid, dengan menggunakan karya Imam al-Bajuri, yakni Tijan ad-Darori. Sebelum melanjutkan ketertarikanku ini, aku hendak mengatakan bahwa aku mulai mengaji tauhid ini sejak SD, dimana pada saat itu, setiap malam selasa, Kang Haji selalu mengkaji kitab tauhid -walau aku tidak tahu kitab apa yang digunakan-, disitulah aku mulai mengenal kajian tauhid bermadzhab Imam Abu Hasan Al-Asyari, dengan metode teologi-filsafatnya, dikatakan demikian, sebab dalam kajian tauhid madzhab Imam Asya'ari, para ulama Madzhab Asy'ari tidak hanya  menggunakan dalil al-Qur'an untuk membuktikan 'ada'nya Allah, melainkan juga menggunakan dalil dalil rasional, seperti adanya sebab pertama, yang dikemudian hari pun aku temukan sebagai dalil keberadaan Allah yang dibuktikan oleh Al-Kindi, dengan bahasa Satu Sejati atau al-Wahid al-Haqq.

Pada saat itu, aku diberikan pelajaran bahwa kita dapat mengenal Allah melalui sifat-sifatnya, namun sifat-sifat Allah tidak sama dengan makhluk, sebab jika demikian, maka Allah sama dengan makhluk, dan ini ada kontradiksi yang mustahil.

Bagiku, metode mengenal Allah versi Madzhab Imam Asy'ari melalui sifat dua puluh, adalah bentuk penyederhanaan pemahaman yang ditujukan kepada orang awam sepertiku, karena pada hakikatnya, menurutku, tidak ada satu pun yang dapat mengetahui Allah secara universal belaka, melainkan hanya secara partikular, yang aku maksud dengan partikular disini adalah, mengetahui keberadaan Allah, sebab mengetahui hal lain selain keberadaan Allah adalah mustahil, sebab 'mengetahui' berarti mau tidak mau memberikan 'pembatasan', dan jika Allah dapat diketahui secara universal, maka Allah bersifat terbatas, jika Allah bersifat terbatas, berarti Allah sama dengan manusia, dan tentu saja ini adalah kontradiksi yang mustahil.

Dengan demikian, bangunan pemikiranku mengenai keberadaan Allah menjadi mantap, namun aku pun menyadari, pada usiaku saat itu, aku hanya bertaklid saja kepada para ulama madzhab Imam Asy'ari, aku belum bisa membuktikan lebih lanjut sebagaimana bangunan argumen yang aku paparkan diatas.

Tapi, agaknya fase MTs ini sangat penting bagiku, sebab aku belajar banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Pada sebagian waktu aku banyak belajar mengenai fikih dan tauhid di pondok pesantren. Kemudian, pada waktu yang lain aku mempelajari tajwid, dan sejarah peradaban Islam di sekolah. Namun, yang banyak menarik hatiku adalah kajian sejarah, disana aku mulai mengetahui bahwa orang Indonesia tidak langsung berislam begitu saja, melainkan ada orang Islam diluar Indonesia yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam, ini mulai intensif sejak abad 17 dan 18, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara.

Pada waktu MTS, aku banyak mendapatkan pengetahuan baru, seperti proses hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah setelah peristiwa tahun kesedihan yakni meninggalnya Abu Thalib selaku  pamannya, dan Siti Khadijah selaku istrinya. Disini juga emosiku terasa meluap-luap ketika mengetahui bahwa Nabi sempat dilempari batu oleh penduduk Thaif hingga kakinya berlumuran darah ketika hendak mendakwahkan Islam. Aku juga mulai mengenal adanya khulafaurrasyidin yang berjumlah empat orang sebagai pelanjut dakwah nabi Muhammad. Selain itu, aku juga mulai mencicipi pergolakan peradaban dan pemikiran Islam pasca peristiwa tahkim (inkuisisi) pada era Abbasiyah kepada para ulama yang tidak mau menganut paham Mu'tazilah pada saat itu. Walaupun pada kajian teologi Islam klasik yang dilakukan di masa kini, Mu'tazilah tetaplah bagian dari aliran teologi Islam, dan bukannya Ideologi negara. Akan tetapi, aku sangat ingat sekali dengan apa yang disampaikan oleh guru sejarah ku, yakni ibu Hani, dimana ibu Hani mengatakan bahwa pada masa itu, ada arus besar dari luar Islam yang menggerogoti aqidah Islam yang mapan, dan kemudian menjadikan aqidahnya sebagai semacam ideologi, dan siapapun yang tidak mau menganut ideologo tersebut, akan disiksa dan dipenjara.

Pada saat itu, aku hanya mengalami kebingungan, arus besar apa yang datang pada orang-orang Islam hingga aqidahnya tergerogoti ? dan apakah aqidah bisa tergerogoti ? jika demikian, apa yang membuatnya merasa tergerogoti ? apakah karena aqidah yang dibawa oleh orang luar Islam itu salah ? jika salah, dimana salahnya ? dan apa alasan yang membuat aqidah Islam yang saat itu banyak dipegang oleh para ulama adalah aqidah yang paling benar ?

Pada fase ini, aku mulai banyak bertanya kepada guru sejarahku, dan diantara banyak pertanyaan yang aku ajukan, aku hanya memperoleh satu jawaban saja, yakni orang-orang dari luar Islam itu adalah para ahli filsafat dari Yunani.

Aku pulang ke pesantren dengan membawa banyak kegelisahan, aku mulai banyak bertanya-tanya, siapa mereka ? apa yang membuat mereka salah ? apa yang dibawa mereka sehingga aqidah umat Islam menjadi tergerogoti ?

Saat banyak bertanya, tak terasa aku beranjak ke pendidikan formal selanjutnya, yaitu Madrasah Aliyah Negeri Leuwiliang (Sekarang menjadi MAN 2 KAB. BOGOR). Pada fase inilah, aku mulai banyak mendapat jawaban dari kegelisahanku di sekolah, jawaban itu aku peroleh dari KH. Ukon Abdul Ghoni di pesantren. 

Akan tetapi, sembari aku menceritakan bagaimana aku melalui fase pergolakan pemikiran ini, aku juga hendak mengatakan bahwa aku pernah menjalin asmara dengan wanita cantik bernama Silma Oktaviani, ia adalah pacar ku yang pertama, dia cantik putih bersih, tinggi dan menggunakan kacamata, dia adalah siswi yang mengikuti ekskul drum band, aku menjalin kasih bersamanya selama 1 tahun, tentu saja banyak cerita yang kami ukir, seperti perayaan ulang tahun di kelas, karena memang kami satu kelas, juga seperti teredamnya amarah ku yang sedang menghantam teman ku sendiri yang dengan berani-beraninya mendekati Silma yang adalah kekasihku. Sejak lulus dari MTS, kami hanya bertemu satu kali, yaitu pada saat aku sedang mampir di warung kopi sekitar leuwiliang, aku menemuinya sedang duduk sendiri, sengaja aku tak menyapanya, namun dia menyapaku, kami mengobrol tak karuan, aku hanya memegang kepalanya sambil mengucapkan selamat tinggal, karena sungguh hal itu adalah kebiasaan kami berdua saat masih menjalin kasih di MTS, yakni saling memegang kepala sebelum berpisah. Inilah pergolakan pemikiran dan pertemuan cinta pertamaku, usiaku saat berada pada fase ini adalah 12-15 tahun.

Aku akan menutup tulisan ini dengan sebuah tulisan yang aku berikan kepada Silma pada ulang tahun ku dan ulang tahunnya, 26 November, tulisan yang ku berikan kepada Silma ini masih berupa catatan harian ku juga, yang aku tulis pada 25 November 2012, dimana tanggal 25 Maret adalah hari jadian ku bersamanya, seperti ini tulisannya:

"Tak ada pecinta seperti diriku...

Yang tak pernah mengharap cinta dari yang dicintai...

Tak ada kekasih seperti diriku...

Selalu menumpahkan air mata saat sedang dilanda rindu....

Tak ada kekasih seperti diriku...

Selalu membuat gelak tawa saat bertemu..

Tak ada kekasih seperti diriku...

Yang rela mengecup dahi, mengenang kasih dalam kalbu...

TAK ADA YANG SEPERTI DIRIKU..

AKU TAK SAMA..

BERBEDA.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...