Minggu 26 November 2000, entah sedang hujan atau panas,
yang pasti cuacanya sejuk, sebab ini adalah Kota Hujan. Rasanya hari itu adalah
hari paling membahagiakan bagi kedua orang tua ku, menyambut bayi kecil pertama
yang memulai aktivitasnya dengan menangis sebagai tanda syukur kepada Allah
karena mempergunakan air mata sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Bayi kecil itu kemudian di asuh dengan kasih dan sayang,
dibantu pula oleh kakek dan nenek dari kedua orang tua ku. Dan akulah
bayi tersebut, Muhamad Rifki Ramdhani.
Beranjak dari bayi menuju masa anak-anak, aku hidup ditengah lingkungan Islam tradisional, atau biasa
dikenal dengan pesantren kampung. Agaknya, telinga si bayi sudah biasa
mendengar bacaan-bacaan ayat suci al-Qur'an yang menggema menggetarkan langit
dan bumi, keluar dari mulut mulut suci para kiyai dan santri dari pesantren
itu.
Saat menjadi anak-anak, aku menghabiskan waktu untuk
menjalankan pendidikan non formal ku di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Bidayatul Hidayah asuhan
K.H. Syatibi bin KH. Syukri, kemudian melanjutkan dengan formal ke sekolah
dasar negeri Parakan Muncang 02.
Pada saat bersekolah di SD, tak mau ketinggalan untuk
dapat membaca al-Qur'an, aku kemudian mengikuti pengajian baca al-Qur'an di
pondok pesantren Ibn Yusuf asuhan K.H. Ukon abdul Ghoni. Sampai saat tulisan
ini dibuat, Kang Haji (begitu sapaan kami sebagai santri) adalah tetap guru
yang menjadi idolaku.
Saat itu, aku hanya belajar iqro hingga akhirnya
menamatkam juz 30 sebanyak tiga kali
sampai lulus SD. Selanjutnya aku melanjutkan pendidikan ku di Madrasah
Tsanawiyah Negeri Model Babakan Sirna, -kini menjadi MTsN. 2 Kab. Bogor-,
dimana saat aku beranjak ke tingkat MTS, aku memulai perjalanan ku untuk
menjadi santri dan menuntut ilmu pengetahuan agama (Ulum al-Din), di pondok
pesantren Ibn Yusuf asuhan kang haji.
Saat itu, aku memulai kajian kitab kuning berjenis kajian
fikih, dengan kitan safinah sebagai kitab sorogannya, dan kitab fathul qorib,
riyadh al badi'ah, nasoihul ibad, ta'lim muta'allim, ushfuriyah dan Tijan
ad-Darori sebagai kitab kajian coretan.
Perjalanan ku dalam mengkaji agama dimulai dari
pengenalanku terhadap Allah, ini tentu saja terbukti dengan kitan safinah
sebagai model kitabnya, sebab dalam kitab tersebut, kita dapat menemukan
bab-bab teologi pada pembahasan awal, yang tentu saja dibahas dengan sangat
ringkas. Pada saat itu, barulah aku mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang
patut-benar untuk disembah kecuali Allah, dan bahwa aku tidak bisa melesat
sedikit pun dari perbuatan maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.
Aku menyadari, saat itu pengetahuan ku hanya berada pada
satu tahap, yaitu tahap mengetahui, aku belum sampai pada tahap memahami,
apalagi menjalankan. Maksudnya, sekalipun aku tahu bahwa aku tidak mungkin bisa
selamat dari tidak melakukan maksiat, namun aku selalu berpikir bahwa aku yang
tidak maksiat adalah berkat kehebatan diriku melawan syahwat. Jika
dipersentasekan, mungkin aku menganggap 70 % adalah pilihan sadarku, dan 30 %
adalah pertolongan Allah.
Allah pada bagian ini -yakni Tuhan yang patut-benar untuk
disembah, dan yang memberikan pertolongan agar bisa selamat dari tipu daya
setan untuk bermaksiat-, digambarkan oleh Syekh Salim ibn Sumair (pengarang
kitab safinah) sebagai Yang Maha Agung dan Yang Maha Luhur.
Adalah menarik bagiku, sebab dalam kitab ini, setelah kita
diperkenalkan dengan Tuhan yang Maha Benar secara Hakiki, kita juga diajarkan
bagaimana untuk mendekat kepadanya, yaitu dengan pengkajian terhadap fikih
ibadah, pembahasannya seputar thaharoh yang meliputi, ciri baligh, syarat
wudhu, syarat air wudhu, macam-macam najis, cara beryamum, cara mandi besar,
dan lain sebagainya, juga meliputi pembahasan sholat seperti syarat wajib
sholat, syarat sholat, rukun sholat, hal yang membatalkan sholat, cara berjamaah,
dan lain sebagainya. Disini aku mulai mengetahui bahwa beribadah itu tidak bisa
sembarang atau asal-asalan, sebab jika demikian, maka telah menyalahi salah
satu cabang keilmuan Islam yakni fikih.
Aku sangat tertarik dengan keilmuan ini, sebab selain
bersifat praktis, belajar fikih dapat memberikan kita kemudahan dan keyakinan
dalam menjalankan ibadah. Akan tetapi, selain fikih, keilmuan Islam yang sangat
membuatku jatuh hati adalah tauhid. Pada saat fase pendidikan MTs, aku sangat
bersemangat apabila malam senin telah tiba, sebab malam senin adalah jadwal
ngaji tauhid, dengan menggunakan karya Imam al-Bajuri, yakni Tijan ad-Darori.
Sebelum melanjutkan ketertarikanku ini, aku hendak mengatakan bahwa aku mulai
mengaji tauhid ini sejak SD, dimana pada saat itu, setiap malam selasa, Kang
Haji selalu mengkaji kitab tauhid -walau aku tidak tahu kitab apa yang
digunakan-, disitulah aku mulai mengenal kajian tauhid bermadzhab Imam Abu
Hasan Al-Asyari, dengan metode teologi-filsafatnya, dikatakan demikian, sebab
dalam kajian tauhid madzhab Imam Asya'ari, para ulama Madzhab Asy'ari tidak
hanya menggunakan dalil al-Qur'an untuk
membuktikan 'ada'nya Allah, melainkan juga menggunakan dalil dalil rasional,
seperti adanya sebab pertama, yang dikemudian hari pun aku temukan sebagai
dalil keberadaan Allah yang dibuktikan oleh Al-Kindi, dengan bahasa Satu Sejati
atau al-Wahid al-Haqq.
Pada saat itu, aku diberikan pelajaran bahwa kita dapat
mengenal Allah melalui sifat-sifatnya, namun sifat-sifat Allah tidak sama
dengan makhluk, sebab jika demikian, maka Allah sama dengan makhluk, dan ini
ada kontradiksi yang mustahil.
Bagiku, metode mengenal Allah versi Madzhab Imam Asy'ari
melalui sifat dua puluh, adalah bentuk penyederhanaan pemahaman yang ditujukan
kepada orang awam sepertiku, karena pada hakikatnya, menurutku, tidak ada satu
pun yang dapat mengetahui Allah secara universal belaka, melainkan hanya secara
partikular, yang aku maksud dengan partikular disini adalah, mengetahui
keberadaan Allah, sebab mengetahui hal lain selain keberadaan Allah adalah
mustahil, sebab 'mengetahui' berarti mau tidak mau memberikan 'pembatasan', dan
jika Allah dapat diketahui secara universal, maka Allah bersifat terbatas, jika
Allah bersifat terbatas, berarti Allah sama dengan manusia, dan tentu saja ini
adalah kontradiksi yang mustahil.
Dengan demikian, bangunan pemikiranku mengenai keberadaan
Allah menjadi mantap, namun aku pun menyadari, pada usiaku saat itu, aku hanya
bertaklid saja kepada para ulama madzhab Imam Asy'ari, aku belum bisa
membuktikan lebih lanjut sebagaimana bangunan argumen yang aku paparkan diatas.
Tapi, agaknya fase MTs ini sangat penting bagiku, sebab
aku belajar banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Pada sebagian waktu aku
banyak belajar mengenai fikih dan tauhid di pondok pesantren. Kemudian, pada
waktu yang lain aku mempelajari tajwid, dan sejarah peradaban Islam di sekolah.
Namun, yang banyak menarik hatiku adalah kajian sejarah, disana aku mulai
mengetahui bahwa orang Indonesia tidak langsung berislam begitu saja, melainkan
ada orang Islam diluar Indonesia yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agama Islam, ini mulai intensif sejak abad 17 dan 18, sebagaimana dikatakan
oleh Azyumardi Azra dalam bukunya jaringan ulama timur tengah dan kepulauan
nusantara.
Pada waktu MTS, aku banyak mendapatkan pengetahuan baru,
seperti proses hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah setelah peristiwa
tahun kesedihan yakni meninggalnya Abu Thalib selaku pamannya, dan Siti Khadijah selaku istrinya. Disini juga emosiku
terasa meluap-luap ketika mengetahui bahwa Nabi sempat dilempari batu oleh
penduduk Thaif hingga kakinya berlumuran darah ketika hendak mendakwahkan
Islam. Aku juga mulai mengenal adanya khulafaurrasyidin yang berjumlah empat
orang sebagai pelanjut dakwah nabi Muhammad. Selain itu, aku juga mulai
mencicipi pergolakan peradaban dan pemikiran Islam pasca peristiwa tahkim
(inkuisisi) pada era Abbasiyah kepada para ulama yang tidak mau menganut paham
Mu'tazilah pada saat itu. Walaupun pada kajian teologi Islam klasik yang
dilakukan di masa kini, Mu'tazilah tetaplah bagian dari aliran teologi Islam,
dan bukannya Ideologi negara. Akan tetapi, aku sangat ingat sekali dengan apa
yang disampaikan oleh guru sejarah ku, yakni ibu Hani, dimana ibu Hani
mengatakan bahwa pada masa itu, ada arus besar dari luar Islam yang
menggerogoti aqidah Islam yang mapan, dan kemudian menjadikan aqidahnya sebagai
semacam ideologi, dan siapapun yang tidak mau menganut ideologo tersebut, akan
disiksa dan dipenjara.
Pada saat itu, aku hanya mengalami kebingungan, arus besar
apa yang datang pada orang-orang Islam hingga aqidahnya tergerogoti ? dan
apakah aqidah bisa tergerogoti ? jika demikian, apa yang membuatnya merasa
tergerogoti ? apakah karena aqidah yang dibawa oleh orang luar Islam itu salah
? jika salah, dimana salahnya ? dan apa alasan yang membuat aqidah Islam yang
saat itu banyak dipegang oleh para ulama adalah aqidah yang paling benar ?
Pada fase ini, aku mulai banyak bertanya kepada guru
sejarahku, dan diantara banyak pertanyaan yang aku ajukan, aku hanya memperoleh
satu jawaban saja, yakni orang-orang dari luar Islam itu adalah para ahli
filsafat dari Yunani.
Aku pulang ke pesantren dengan membawa banyak kegelisahan,
aku mulai banyak bertanya-tanya, siapa mereka ? apa yang membuat mereka salah ?
apa yang dibawa mereka sehingga aqidah umat Islam menjadi tergerogoti ?
Saat banyak bertanya, tak terasa aku beranjak ke pendidikan formal selanjutnya, yaitu Madrasah Aliyah Negeri Leuwiliang (Sekarang menjadi MAN 2 KAB. BOGOR). Pada fase inilah, aku mulai banyak mendapat jawaban dari kegelisahanku di sekolah, jawaban itu aku peroleh dari KH. Ukon Abdul Ghoni di pesantren.
Akan tetapi, sembari aku menceritakan bagaimana aku melalui fase
pergolakan pemikiran ini, aku juga hendak mengatakan bahwa aku pernah menjalin
asmara dengan wanita cantik bernama Silma Oktaviani, ia adalah pacar ku yang
pertama, dia cantik putih bersih, tinggi dan menggunakan kacamata, dia adalah siswi
yang mengikuti ekskul drum band, aku menjalin kasih bersamanya selama 1 tahun,
tentu saja banyak cerita yang kami ukir, seperti perayaan ulang tahun di kelas,
karena memang kami satu kelas, juga seperti teredamnya amarah ku yang sedang
menghantam teman ku sendiri yang dengan berani-beraninya mendekati Silma yang
adalah kekasihku. Sejak lulus dari MTS, kami hanya bertemu satu kali, yaitu
pada saat aku sedang mampir di warung kopi sekitar leuwiliang, aku menemuinya
sedang duduk sendiri, sengaja aku tak menyapanya, namun dia menyapaku, kami
mengobrol tak karuan, aku hanya memegang kepalanya sambil mengucapkan selamat
tinggal, karena sungguh hal itu adalah kebiasaan kami berdua saat masih
menjalin kasih di MTS, yakni saling memegang kepala sebelum berpisah. Inilah
pergolakan pemikiran dan pertemuan cinta pertamaku, usiaku saat berada pada
fase ini adalah 12-15 tahun.
Aku akan menutup tulisan ini dengan sebuah tulisan yang
aku berikan kepada Silma pada ulang tahun ku dan ulang tahunnya, 26 November,
tulisan yang ku berikan kepada Silma ini masih berupa catatan harian ku juga,
yang aku tulis pada 25 November 2012, dimana tanggal 25 Maret adalah hari
jadian ku bersamanya, seperti ini tulisannya:
"Tak
ada pecinta seperti diriku...
Yang
tak pernah mengharap cinta dari yang dicintai...
Tak
ada kekasih seperti diriku...
Selalu
menumpahkan air mata saat sedang dilanda rindu....
Tak
ada kekasih seperti diriku...
Selalu
membuat gelak tawa saat bertemu..
Tak
ada kekasih seperti diriku...
Yang
rela mengecup dahi, mengenang kasih dalam kalbu...
TAK
ADA YANG SEPERTI DIRIKU..
AKU
TAK SAMA..
BERBEDA.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar