Takdir mempertemukan aku dan Nana di tahun
2023. Hallo Pak salam kenal, saya Rifki, guru baru, guru Pendidikan Agama
Islam, ucapku saat itu. Nana menerima dengan baik, kami memulai obrolan
dengan masing-masing menyalakan rokok dan meminum kopi dengan cangkir yang berbeda. Kala itu, aku belum melihat Nana sebagai seorang seorang esensialis,
penulis dan apalagi sebagai sahabatku dalam berolah pikir.
Aku ingat sekali, Prof. Mulyadhi dalam bukunya
Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam mengatakan bahwa berolah
pikir adalah salah satu cara kita untuk menjaga kesehatan mental dan pikiran.
Hal ini hanya aku rasakan, di tempat kerjaku, ketika bersama dengan Nana,
karena kami sama-sama orang yang banyak membaca buku. Itu tak aku temukan di guru
lainnya, hanya Nana yang bisa bertimpal pikiran denganku melalui pola pikir
seorang intelektual, dan begitu pula sebaliknya.
Sedikit sekali guru, -bila tidak boleh
dikatakan tidak ada-, yang mampu menemani pikiran Nana ketika berbincang
santai, semuanya hampir tidak kuat, keluar ruangan adalah pilihan orang-orang
yang lemah pikirannya itu, dan aku bertahan untuk mendengarkannya. Dalam hal
berpikir, Nana memang kuat sekali pikirannya mengenai bahasa, sastra dan
kesejarahan, baik sejarah Indonesia maupun Islam.
Aku senang
sekali bertemu dengan orang sepertinya, kataku dalam hati. Ya, mungkin Nana juga
demikian, Aku rindu bicara secara akademis seperti ini, kata Nana saat
itu di kontrakanku seusai aku membedah salah satu bukunya yang berjudul Solilokui.
Buku itu sangat menarik, pengajaran etika stoisisme dan kritiknya terhadap
etika narsisme dan sinisisme itu adalah pelajaran yang berharga, yang menarik
lagi, buku itu dibuat dengan gaya cerita.
Aku banyak berdiskusi dengannya dan banyak hal
tentunya yang kami diskusikan. Dari mulai pendidikan, bagaimana menjadi seorang
guru, bagaimana menangani murid, sampai pada persoalan-persoalan filosofis dan
kesejarahan. Nana selaku memberikan dukungan yang positif kepadaku ketika aku
banyak menyampaikan hal-hal yang relevan dengan kondisi peserta didik di
sekolah, hal-hal seperti bagaimana posisi penting hari santri dan hari pahlawan
sebagai motif rekonstruksi emosi peserta didik untuk lebih merasakan bagaimana
menjalani hidup sebagai warga Indonesia di zaman dahulu.
Banyak guru dan pejabat sekolah yang tidak
suka kepada Nana, padahal mereka tidak tahu saja bagaimana cara kerja
pikirannya Nana, mereka hanya tidak pernah ngobrol, apalagi berdiskusi
dengan Nana, kataku dalam hati. Aneh sekali mereka yang membenci Nana,
sosok esensialis dan intelektualis sepertinya padahal jarang sekali ada di
sekolah ini, malah tidak aku temukan, selain Nana. Hatiku berkata lagi
sebagai bentuk ketidaksepakatanku atas pandangan subjektif mereka kepada Nana.
Kami pernah berdiskusi dari jam 14.00 sampai
pukul 17.30, saking asyiknya berdiskusi, hingga larut gelap malam pun tidak
kami rasakan, dan itulah yang disebut oleh Prof. Mulyadhi sebagai kebahagiaan
intelektual, sulit untuk mendeskripsikannya, dan ini adalah kebahagiaan
kalangan elite intelektual, tidak semua orang bisa merasakannya.
Nana adalah guru bahasa Inggris, tapi
pengetahuannya lebih dari itu, dia melampauinya. Metode pelajaran project
based learning yang di usung oleh kementrian sebagai gaya pelajaran dalam
kurikulum merdeka telah ia terapkan sejak lama, aku lupa kapan tahunnya, tapi
itu adalah metode yang bagus, jadi bahasa Inggris di sekolah tidak hanya
dipahami sebagai grammar, tapi perlu di aplikasikan, dan itu dimulai
dari membuat video, walaupun terpaksa, dan memang harus dipaksa dulu,
sebagaimana adagium para aktivis di Indonesia, terbentur-terbentur baru
terbentuk.
Baginya, pendidikan harusnya memerdekakan,
tidak boleh membelenggu. Pendidikan yang baik harus dimulai dari pola pikir
yang baik dari seorang guru. Banyak kebijakan yang di kritik oleh Nana, begitu
pula olehku, yang dilakukan oleh sekolah ini, dan karena itu, dia dan aku
banyak tidak disenangi. Sebagai seorang intelektual, kita seharusnya banyak
menggeleng bukan mengangguk, karena gelengan kepala berarti punya pikiran,
sedangkan mengangguk, tidak.
Nana memang memiliki gaya yang nyentrik, dalam
keseharian dia terlihat seperti orang yang absurd, padahal itu hanyalah
cangkang saja, berbeda dengan pemikirannya, terutama mengenai pendidikan, Nana
sangat mencintai dunia pendidikan dan peserta didiknya, jika tidak, tentu saja
Nana akan menggunakan gaya jadul yang biasa-biasa saja untuk mengajar, tapi itu
tidak Nana lakukan.
13 tahun sudah pengabdiannya di sekolah
sebagai guru. Bukan waktu yang sebentar, hari ini Nana mengundurkan diri
sebagai guru dan melanjutkan kariernya sebagai peneliti di Badan Riset Nasional
sebagai praktisi di bidang bahasa dan sastra. Saat ini juga dia akan terbang ke
Sulawesi untuk meneliti karya sastra peninggalan Portugis dalam menyebarkan
agama kristen di Indonesia, menarik betul.
Banyak hal sebetulnya yang ingin aku tuliskan,
tapi cukuplah diketahui, bahwa Nana adalah seorang intelektual, dan kawan ku
dalam berpikir, selama menjadi seorang guru. Sayangnya, Nana akan mudah
dilupakan oleh kebanyakan guru disini, sekalipun diingat, itu hanya hal-hal
jeleknya saja yang tampak diluar, sialan sekali orang-orang itu, diskusi ga
pernah, tau pikirannya engga, seenaknya, sekarang baru saja Nana keluar, sudah
banyak yang membicarakan kejelekannya, sugguh banyak orang yang tidak sehat
pikirannya di sekolah ini, tulisan ini pun aku buat untuk mengenang Nana
sebagai seorang guru, bahkan lebih dari itu, aku ingin mengatakan bahwa Nana
adalah pahlawan pendidikan di sekolah ini. Aku sebetulnya merasa kehilangan.
Tapi, selamat jalan Nana, semoga Tuhan meridhai.
Selasa 30 Januari 2024
12.37
Ramdhani Cartes
jadi sedih
BalasHapusaku suka cerita nya
BalasHapusnopal rania
BalasHapusSiraj andien
BalasHapus