Selasa, 30 Januari 2024

Nana Sastrawan: Intelektualis Yang Terlupakan

 


Takdir mempertemukan aku dan Nana di tahun 2023. Hallo Pak salam kenal, saya Rifki, guru baru, guru Pendidikan Agama Islam, ucapku saat itu. Nana menerima dengan baik, kami memulai obrolan dengan masing-masing menyalakan rokok dan meminum kopi dengan cangkir yang berbeda. Kala itu, aku belum melihat Nana sebagai seorang seorang esensialis, penulis dan apalagi sebagai sahabatku dalam berolah pikir.

Aku ingat sekali, Prof. Mulyadhi dalam bukunya Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam mengatakan bahwa berolah pikir adalah salah satu cara kita untuk menjaga kesehatan mental dan pikiran. Hal ini hanya aku rasakan, di tempat kerjaku, ketika bersama dengan Nana, karena kami sama-sama orang yang banyak membaca buku. Itu tak aku temukan di guru lainnya, hanya Nana yang bisa bertimpal pikiran denganku melalui pola pikir seorang intelektual, dan begitu pula sebaliknya.

Sedikit sekali guru, -bila tidak boleh dikatakan tidak ada-, yang mampu menemani pikiran Nana ketika berbincang santai, semuanya hampir tidak kuat, keluar ruangan adalah pilihan orang-orang yang lemah pikirannya itu, dan aku bertahan untuk mendengarkannya. Dalam hal berpikir, Nana memang kuat sekali pikirannya mengenai bahasa, sastra dan kesejarahan, baik sejarah Indonesia maupun Islam.

Aku senang sekali bertemu dengan orang sepertinya, kataku dalam hati. Ya, mungkin Nana juga demikian, Aku rindu bicara secara akademis seperti ini, kata Nana saat itu di kontrakanku seusai aku membedah salah satu bukunya yang berjudul Solilokui. Buku itu sangat menarik, pengajaran etika stoisisme dan kritiknya terhadap etika narsisme dan sinisisme itu adalah pelajaran yang berharga, yang menarik lagi, buku itu dibuat dengan gaya cerita.

Aku banyak berdiskusi dengannya dan banyak hal tentunya yang kami diskusikan. Dari mulai pendidikan, bagaimana menjadi seorang guru, bagaimana menangani murid, sampai pada persoalan-persoalan filosofis dan kesejarahan. Nana selaku memberikan dukungan yang positif kepadaku ketika aku banyak menyampaikan hal-hal yang relevan dengan kondisi peserta didik di sekolah, hal-hal seperti bagaimana posisi penting hari santri dan hari pahlawan sebagai motif rekonstruksi emosi peserta didik untuk lebih merasakan bagaimana menjalani hidup sebagai warga Indonesia di zaman dahulu.

Banyak guru dan pejabat sekolah yang tidak suka kepada Nana, padahal mereka tidak tahu saja bagaimana cara kerja pikirannya Nana, mereka hanya tidak pernah ngobrol, apalagi berdiskusi dengan Nana, kataku dalam hati. Aneh sekali mereka yang membenci Nana, sosok esensialis dan intelektualis sepertinya padahal jarang sekali ada di sekolah ini, malah tidak aku temukan, selain Nana. Hatiku berkata lagi sebagai bentuk ketidaksepakatanku atas pandangan subjektif mereka kepada Nana.

Kami pernah berdiskusi dari jam 14.00 sampai pukul 17.30, saking asyiknya berdiskusi, hingga larut gelap malam pun tidak kami rasakan, dan itulah yang disebut oleh Prof. Mulyadhi sebagai kebahagiaan intelektual, sulit untuk mendeskripsikannya, dan ini adalah kebahagiaan kalangan elite intelektual, tidak semua orang bisa merasakannya.

Nana adalah guru bahasa Inggris, tapi pengetahuannya lebih dari itu, dia melampauinya. Metode pelajaran project based learning yang di usung oleh kementrian sebagai gaya pelajaran dalam kurikulum merdeka telah ia terapkan sejak lama, aku lupa kapan tahunnya, tapi itu adalah metode yang bagus, jadi bahasa Inggris di sekolah tidak hanya dipahami sebagai grammar, tapi perlu di aplikasikan, dan itu dimulai dari membuat video, walaupun terpaksa, dan memang harus dipaksa dulu, sebagaimana adagium para aktivis di Indonesia, terbentur-terbentur baru terbentuk.

Baginya, pendidikan harusnya memerdekakan, tidak boleh membelenggu. Pendidikan yang baik harus dimulai dari pola pikir yang baik dari seorang guru. Banyak kebijakan yang di kritik oleh Nana, begitu pula olehku, yang dilakukan oleh sekolah ini, dan karena itu, dia dan aku banyak tidak disenangi. Sebagai seorang intelektual, kita seharusnya banyak menggeleng bukan mengangguk, karena gelengan kepala berarti punya pikiran, sedangkan mengangguk, tidak.

Nana memang memiliki gaya yang nyentrik, dalam keseharian dia terlihat seperti orang yang absurd, padahal itu hanyalah cangkang saja, berbeda dengan pemikirannya, terutama mengenai pendidikan, Nana sangat mencintai dunia pendidikan dan peserta didiknya, jika tidak, tentu saja Nana akan menggunakan gaya jadul yang biasa-biasa saja untuk mengajar, tapi itu tidak Nana lakukan.

13 tahun sudah pengabdiannya di sekolah sebagai guru. Bukan waktu yang sebentar, hari ini Nana mengundurkan diri sebagai guru dan melanjutkan kariernya sebagai peneliti di Badan Riset Nasional sebagai praktisi di bidang bahasa dan sastra. Saat ini juga dia akan terbang ke Sulawesi untuk meneliti karya sastra peninggalan Portugis dalam menyebarkan agama kristen di Indonesia, menarik betul.

Banyak hal sebetulnya yang ingin aku tuliskan, tapi cukuplah diketahui, bahwa Nana adalah seorang intelektual, dan kawan ku dalam berpikir, selama menjadi seorang guru. Sayangnya, Nana akan mudah dilupakan oleh kebanyakan guru disini, sekalipun diingat, itu hanya hal-hal jeleknya saja yang tampak diluar, sialan sekali orang-orang itu, diskusi ga pernah, tau pikirannya engga, seenaknya, sekarang baru saja Nana keluar, sudah banyak yang membicarakan kejelekannya, sugguh banyak orang yang tidak sehat pikirannya di sekolah ini, tulisan ini pun aku buat untuk mengenang Nana sebagai seorang guru, bahkan lebih dari itu, aku ingin mengatakan bahwa Nana adalah pahlawan pendidikan di sekolah ini. Aku sebetulnya merasa kehilangan. Tapi, selamat jalan Nana, semoga Tuhan meridhai.

 

Selasa 30 Januari 2024

12.37

Ramdhani Cartes

4 komentar:

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...