Sabtu, 06 Mei 2023

Dialog Diri: Tentang Cinta

 

Menulis, adalah sama saja bagiku dengan bercerita, dan mungkin ini akan terus berlanjut sampai jiwaku kembali kepada dzat yang kasih dan penyayang, sekalipun aku memiliki istri kelak, apabila umurku panjang, namun, dikarenakan aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, yang aku Yakini adalah, aku dapat menulis sampai Izrail tersenyum dihadapanku.

Malam hari, di kontrakan yang gelap, aku hanya ingin menulis seperti biasanya. Aku terbiasa melakukan ini ketika pikiranku terganggu, karena, selain aku menyukai kesunyian, aku memang benar-benar tidak memiliki teman yang dapat mendengarkan seluruh ceritaku, temanku memang banyak, tapi tak ada satupun yang benar-benar mengerti, sekalipun aku sudah berusaha untuk selalu mengerti mereka.

Aku memang sering kesepian, namun dalam sepi itu, sebuah jawaban mengenai pasangan ideal datang menghampiriku hatiku -yang digenggam oleh Tuhan- bahwa pasangan yang ideal bagiku adalah seseorang yang kelak nanti -dengan keikhlasan- mau untuk mendengarkan cerita-cerita payahku.

Tulisanku tak menentu, aku hanya menulis sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam benakku, dan itu tidak hanya masalah pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan yang selalu meruang, melainkan masalah perasaan. Aku pernah tiga kali jatuh cinta, namun tak pernah abadi, semuanya sirna atas takdir Tuhan, hingga aku pernah berpikir bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi kepada makhluk-makhluk Tuhan ini. Makhluk Tuhan -selain tak abadi,- mereka juga tak sebaik Tuhan, mungkin saja mereka demikian, karena memang mereka bukanlah Tuhan, akan tetapi, apabila manusia sepertiku menginginkan rasa cinta yang hakiki, maka objek cinta itu sendiri haruslah Tuhan, namun dapatkah aku menjadi seperti demikian ? aku pikir itu akan terasa sangat sulit, aku bukanlah seorang yang alim dan sholeh, aku hanya manusia biasa seperti yang lainnya.

Lalu, apabila mencintai harus demikian ? mengapa Tuhan memberi kita cinta kepada selainnya ? apakah ini ujian ? atau anugerah ? tetapi, bila ini anugerah ? salahkah aku apabila kembali jatuh cinta ? bagaimana ? sedang cinta sendiri bukanlah sesuatu yang berada di dalam kendaliku, mataku -yang merupakan instrumen pengetahuan- menyerap keelokan yang mendalam itu, kemudian cinta, apakah aku harus menjadi buta agar aku hanya dapat mencintai Tuhanku ? tidak, tentu saja tidak, karena apabila aku buta, aku akan kehilangan suatu pengetahuan lain yang bernilai baik, seperti ilmu-ilmu ketuhanan yang menjadikanku mengenal Tuhanku, tak pernah terpikir olehku apabila aku menjadi buta sejak dilahirkan, mungkin saja aku tidak pernah mengetahui bahwa awan berwarna putih, api berwarna merah, serta hal-hal lainnya.

Betapa pahitnya hidup ini apabila mencintai selainmu Tuhan, aku tahu itu, sudah banyak karya para pemikir islam yang menjelaskannya, tetapi, kenapa aku masih saja belum merasakan cinta itu ? aku tengah melaksanakan perintah-perintahmu, aku juga mengenalmu, engkau Tuhanku yang Esa, Terdahulu, dan Abadi.

Ya Tuhan, sejujurnya aku belum pernah jatuh cinta melalui pendengaranku, sehingga, agaknya telingaku tidak terlalu mempengaruhi objek apa yang akan aku cintai, begitu Tuhan. Aku hanya memiliki konflik internal antara mata, akal dan hatiku, ketiga instrumen ini seringkali meramaikan suasana diskusi dalam diriku, dan engkau pasti mengetahui itu Tuhan.

Nah, bagaimana jika begini saja, bukankah makna kalimat alhamdulillah itu adalah “segala puji bagi Tuhan” ? dan aku mendapatkan bahwa pujian itu terbagi menjadi empat -tentu pembagian ini menggunakan qismah tafshiliyah sebagaimana diajarkan oleh Syekh al-Mudzaffar dalam kitab manthiqnya, dari keempat pujian itu, semuanya harus diorientasikan kepada Tuhan, nah urutan terakhir dalam pujian itu adalah haditsun ‘ala al-hadits, jadi mungkin saja aku mencintai makhluk, akan tetapi kecintaanku kepada makhluk, selain pada hakikatnya adalah kecintaanku padamu, juga harus dengan sengaja aku orientasikan untukmu -Tuhan.

Bagaimana jika begitu ? kini, aku tidak akan ragu lagi untuk mencintai makhlukmu, karena pada hakikatnya, ketika aku mencintai makhlukmu, aku tengah mencintaimu. Terlebih, ada salah satu pemikiran sufistik yang sangat melekat dalam pikiranku yang menyatakan bahwa manusia adalah cermin Tuhan, bahkan dalam literatur sufistik yang lebih ekstrim, dalam sejarah dinyatakan bahwa ada seorang sufi bernama al-Hallaj yang mengatakan ana al-haqq, yang walaupun berujung dengan kematian, itu membuktikan bahwa memang manusia merupakan cermin Tuhan.

Aku sangat yakin, dikarenakan manusia berasal dari Tuhan, dengan segala rekayasa penciptaan dan peniupan ruh kedalamnya, maka dalam diri manusia pun terdapat Tuhan, ini bukan berarti manusia adalah Tuhan, karena tentu saja manusia dan Tuhan itu berbeda, karena setiap ciptaan akan senantiasa terdapat perberbedaan dengan sang pencipta, maksudku, dalam diri manusia itu ada Tuhan, karena ruh merupakan bagian Tuhan, akan tetapi ruh bukan Tuhan, ia hanya bagian darinya. Sederhananya, aku tidak perlu khawatir, sekalipun aku belum benar-benar dapat mencintaimu secara langsung, ketika aku mencintai makhlukmu dengan orientasi yang benar, maka aku sudah dapat mencintaimu, walaupun secara tidak langsung.

Bahagianya aku, kini salah satu masalah rumit yang ada dipikiranku dapat terselesaikan. Akan tetapi ya Tuhan, bagaimana jika aku menjalin kasih, maksudku berpacaran, apakah tidak apa-apa ? aku pikir ini tidak baik, karena, pacaran itu dapat mengaburkan orientasiku, lantas bagaimana baiknya ? oalahhh, ada pernikahan, inilah solusinya, namun, apakah dengan itu akan menjamin keutuhan orientasiku ? bukankah pernikahan hanyalah jawaban syariat agar aku terhindar dari dosa zinah ? aku harus bagaimana ?

Aku berpikir bahwa pernikahan -sekalipun merupakan syariat agama islam dalam menghadapi masalah perzinahan-, adalah merupakan bentuk menyelingkuhi Tuhan yang amat nyata, bagaimana tidak ? bukankah cinta tidak menerima dualitas ? kita tidak dapat mencintai dua objek dalam satu waktu yang sama. Jika demikian, Apakah aku perlu menikah ?

Tadi aku sudah mendapat jawaban, tidak apa-apa aku mencintai makhluk jikalau orientasi cintaku adalah Tuhan itu sendiri, tidak apa-apa karena manusia merupakan cermin Tuhan, ada bagian Tuhan dalam diri manusia. Saat ini aku kembali bimbang, apakah denga  begitu orientasiku akan tetap terjaga, bukankah setan selalu mengganggu pikiranku, yang aku takutkan adalah, ketika aku menikah, mungkin saja orientasiku tetap mencintai Tuhan, akan tetapi apakah itu akan bertahan lama ? sepengalamanku, mencintai objek selain Tuhan tetap mengandung konsekuensi yang negatif, sekalipun itu tidak secara terus menerus. Oh iya aku lupa, aku adalah benda materi, jadi aku akan dengan mudah mencintai hal-hal materi, jadi aku sangat yakin, sekalipun aku mencintai makhluk dengan orientasi demikian, dapat dipastikan, orientasiku sesekali juga dapat berubah. Terlebih, apabila makhluk yang kucintai merupakan seseorang yang aku idealkan. Gawat, pikiranku mulai kacau.

Aku menjadi tidak yakin dengan jawaban itu. Begini saja, dikarenakan di dalam diri manusia hanya terdapat -ruh yang merupakan- bagian dari Tuhan, akan tetapi jika dipikir kembali, semua yang ada pada manusia adalah milik Tuhan, manusianya sendiri pun adalah milik Tuhan. Manusia pertama, yakni Adam, diciptakan langsung oleh Tuhan dari tanah yang juga merupakan ciptaan Tuhan, tanah itu terdapat di alam semesta yang juga diciptakan oleh Tuhan, maka semua hal yang ada selain Tuhan berasal dari Tuhan, karena itu, kenapa tidak langsung saja mencintai Tuhan ? apakah itu sulit ?

Sesulit apapun itu, apabila kita mengetahui hal-hal positif yang kembali kepada kita, tentu kita akan senantiasa ikhlas melakukannya. Misalnya saja, ketika kita mencintai Tuhan, sudah tentu kita akan mengadu hanya kepadanya, dan ketika kita mengadu kepadanya, Tuhan tidak akan berkomentar atau mengadu Nasib dengan kita, Bukankah hal ini yang diinginkan oleh setiap orang yang sedang bercerita tentang kebahagiaan atau keluh kesah hidupnya ?, jadi, hal ini adalah masuk akal, kita hanya harus mencintai Tuhan, dengan mencintainya, kita tidak perlu khawatir akan jatuh cinta pada selainnya, karena Tuhan sudah cukup. Hal ini tentu saja berbeda ketika kita mencintai selain Tuhan, dikarenakan selain Tuhan itu selalu terdapat kekurangan, dan kita akan selalu mencari pelengkap kekurangan itu agar menjadi puas, kita akan puas ketika objek yang kita cintai sudah tidak terdapat kekurangan, dan hanya Tuhanlah yang tidak memiliki kekurangan, karena dia mukhalafat lil al-hawadits.

Kesimpulannya, aku barangkali dapat mencintai makhluk Tuhan dengan orientasi yang benar, yakni orientasi cinta kepada Tuhan, maksudnya, ketika aku mencintai makhluk berarti aku mencintai Tuhan, karena ada bagian Tuhan dalam setiap makhluk. Akan tetapi, hal ini masih mengandung keraguan, satu-satunya obat untuk menghilangkan keraguan itu adalah dengan mencintai Allah sendiri, dan apabila cinta itu akan tumbuh dengan melakukan apa yang disukai dan menjauhi apa yang tidak disukai oleh objek cinta, maka kita hanya perlu beribadah dan menjauhi maksiat, baik yang bersifat esoterik maupun esoteris, dengan demikian, cinta kita kepada Tuhan akan tumbuh, ketika kita sudah mencintai Tuhan, maka cukuplah itu, karena Tuhan tidak memiliki kekurangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...