Menulis, adalah sama saja bagiku dengan bercerita, dan mungkin ini akan terus berlanjut sampai jiwaku kembali kepada dzat yang kasih dan penyayang, sekalipun aku memiliki istri kelak, apabila umurku panjang, namun, dikarenakan aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, yang aku Yakini adalah, aku dapat menulis sampai Izrail tersenyum dihadapanku.
Malam hari, di kontrakan yang gelap, aku hanya ingin menulis seperti biasanya. Aku terbiasa melakukan ini ketika pikiranku terganggu, karena, selain aku menyukai kesunyian, aku memang benar-benar tidak memiliki teman yang dapat mendengarkan seluruh ceritaku, temanku memang banyak, tapi tak ada satupun yang benar-benar mengerti, sekalipun aku sudah berusaha untuk selalu mengerti mereka.
Aku memang sering kesepian, namun dalam sepi itu,
sebuah jawaban mengenai pasangan ideal datang menghampiriku hatiku -yang
digenggam oleh Tuhan- bahwa pasangan yang ideal bagiku adalah seseorang yang
kelak nanti -dengan keikhlasan- mau untuk mendengarkan cerita-cerita payahku.
Tulisanku tak menentu, aku hanya menulis sesuatu yang
tiba-tiba terlintas dalam benakku, dan itu tidak hanya masalah pertanyaan
mengenai ilmu pengetahuan yang selalu meruang, melainkan masalah perasaan. Aku
pernah tiga kali jatuh cinta, namun tak pernah abadi, semuanya sirna atas
takdir Tuhan, hingga aku pernah berpikir bahwa aku tidak akan pernah jatuh
cinta lagi kepada makhluk-makhluk Tuhan ini. Makhluk Tuhan -selain tak abadi,-
mereka juga tak sebaik Tuhan, mungkin saja mereka demikian, karena memang
mereka bukanlah Tuhan, akan tetapi, apabila manusia sepertiku menginginkan rasa
cinta yang hakiki, maka objek cinta itu sendiri haruslah Tuhan, namun dapatkah
aku menjadi seperti demikian ? aku pikir itu akan terasa sangat sulit, aku
bukanlah seorang yang alim dan sholeh, aku hanya manusia biasa seperti yang
lainnya.
Lalu, apabila mencintai harus demikian ? mengapa Tuhan
memberi kita cinta kepada selainnya ? apakah ini ujian ? atau anugerah ?
tetapi, bila ini anugerah ? salahkah aku apabila kembali jatuh cinta ?
bagaimana ? sedang cinta sendiri bukanlah sesuatu yang berada di dalam
kendaliku, mataku -yang merupakan instrumen pengetahuan- menyerap keelokan yang
mendalam itu, kemudian cinta, apakah aku harus menjadi buta agar aku hanya
dapat mencintai Tuhanku ? tidak, tentu saja tidak, karena apabila aku buta, aku
akan kehilangan suatu pengetahuan lain yang bernilai baik, seperti ilmu-ilmu
ketuhanan yang menjadikanku mengenal Tuhanku, tak pernah terpikir olehku
apabila aku menjadi buta sejak dilahirkan, mungkin saja aku tidak pernah
mengetahui bahwa awan berwarna putih, api berwarna merah, serta hal-hal
lainnya.
Betapa pahitnya hidup ini apabila mencintai selainmu
Tuhan, aku tahu itu, sudah banyak karya para pemikir islam yang menjelaskannya,
tetapi, kenapa aku masih saja belum merasakan cinta itu ? aku tengah
melaksanakan perintah-perintahmu, aku juga mengenalmu, engkau Tuhanku yang Esa,
Terdahulu, dan Abadi.
Ya Tuhan, sejujurnya aku belum pernah jatuh cinta
melalui pendengaranku, sehingga, agaknya telingaku tidak terlalu mempengaruhi
objek apa yang akan aku cintai, begitu Tuhan. Aku hanya memiliki konflik
internal antara mata, akal dan hatiku, ketiga instrumen ini seringkali meramaikan
suasana diskusi dalam diriku, dan engkau pasti mengetahui itu Tuhan.
Nah, bagaimana jika begini saja, bukankah makna
kalimat alhamdulillah itu adalah “segala puji bagi Tuhan” ? dan aku
mendapatkan bahwa pujian itu terbagi menjadi empat -tentu pembagian ini
menggunakan qismah tafshiliyah sebagaimana diajarkan oleh Syekh
al-Mudzaffar dalam kitab manthiqnya, dari keempat pujian itu, semuanya
harus diorientasikan kepada Tuhan, nah urutan terakhir dalam pujian itu adalah haditsun
‘ala al-hadits, jadi mungkin saja aku mencintai makhluk, akan tetapi
kecintaanku kepada makhluk, selain pada hakikatnya adalah kecintaanku padamu,
juga harus dengan sengaja aku orientasikan untukmu -Tuhan.
Bagaimana jika begitu ? kini, aku tidak akan ragu lagi
untuk mencintai makhlukmu, karena pada hakikatnya, ketika aku mencintai
makhlukmu, aku tengah mencintaimu. Terlebih, ada salah satu pemikiran sufistik
yang sangat melekat dalam pikiranku yang menyatakan bahwa manusia adalah cermin
Tuhan, bahkan dalam literatur sufistik yang lebih ekstrim, dalam sejarah
dinyatakan bahwa ada seorang sufi bernama al-Hallaj yang mengatakan ana
al-haqq, yang walaupun berujung dengan kematian, itu membuktikan bahwa
memang manusia merupakan cermin Tuhan.
Aku sangat yakin, dikarenakan manusia berasal dari
Tuhan, dengan segala rekayasa penciptaan dan peniupan ruh kedalamnya, maka
dalam diri manusia pun terdapat Tuhan, ini bukan berarti manusia adalah Tuhan,
karena tentu saja manusia dan Tuhan itu berbeda, karena setiap ciptaan akan
senantiasa terdapat perberbedaan dengan sang pencipta, maksudku, dalam diri
manusia itu ada Tuhan, karena ruh merupakan bagian Tuhan, akan tetapi ruh bukan
Tuhan, ia hanya bagian darinya. Sederhananya, aku tidak perlu khawatir,
sekalipun aku belum benar-benar dapat mencintaimu secara langsung, ketika aku
mencintai makhlukmu dengan orientasi yang benar, maka aku sudah dapat
mencintaimu, walaupun secara tidak langsung.
Bahagianya aku, kini salah satu masalah rumit yang ada
dipikiranku dapat terselesaikan. Akan tetapi ya Tuhan, bagaimana jika aku
menjalin kasih, maksudku berpacaran, apakah tidak apa-apa ? aku pikir ini tidak
baik, karena, pacaran itu dapat mengaburkan orientasiku, lantas bagaimana
baiknya ? oalahhh, ada pernikahan, inilah solusinya, namun, apakah dengan itu
akan menjamin keutuhan orientasiku ? bukankah pernikahan hanyalah jawaban
syariat agar aku terhindar dari dosa zinah ? aku harus bagaimana ?
Aku berpikir bahwa pernikahan -sekalipun merupakan
syariat agama islam dalam menghadapi masalah perzinahan-, adalah merupakan
bentuk menyelingkuhi Tuhan yang amat nyata, bagaimana tidak ? bukankah cinta
tidak menerima dualitas ? kita tidak dapat mencintai dua objek dalam satu waktu
yang sama. Jika demikian, Apakah aku perlu menikah ?
Tadi aku sudah mendapat jawaban, tidak apa-apa aku
mencintai makhluk jikalau orientasi cintaku adalah Tuhan itu sendiri, tidak
apa-apa karena manusia merupakan cermin Tuhan, ada bagian Tuhan dalam diri
manusia. Saat ini aku kembali bimbang, apakah denga begitu orientasiku akan tetap terjaga, bukankah
setan selalu mengganggu pikiranku, yang aku takutkan adalah, ketika aku
menikah, mungkin saja orientasiku tetap mencintai Tuhan, akan tetapi apakah itu
akan bertahan lama ? sepengalamanku, mencintai objek selain Tuhan tetap
mengandung konsekuensi yang negatif, sekalipun itu tidak secara terus menerus.
Oh iya aku lupa, aku adalah benda materi, jadi aku akan dengan mudah mencintai
hal-hal materi, jadi aku sangat yakin, sekalipun aku mencintai makhluk dengan
orientasi demikian, dapat dipastikan, orientasiku sesekali juga dapat berubah.
Terlebih, apabila makhluk yang kucintai merupakan seseorang yang aku idealkan.
Gawat, pikiranku mulai kacau.
Aku menjadi tidak yakin dengan jawaban itu. Begini
saja, dikarenakan di dalam diri manusia hanya terdapat -ruh yang merupakan-
bagian dari Tuhan, akan tetapi jika dipikir kembali, semua yang ada pada
manusia adalah milik Tuhan, manusianya sendiri pun adalah milik Tuhan. Manusia
pertama, yakni Adam, diciptakan langsung oleh Tuhan dari tanah yang juga
merupakan ciptaan Tuhan, tanah itu terdapat di alam semesta yang juga
diciptakan oleh Tuhan, maka semua hal yang ada selain Tuhan berasal dari Tuhan,
karena itu, kenapa tidak langsung saja mencintai Tuhan ? apakah itu sulit ?
Sesulit apapun itu, apabila kita mengetahui hal-hal
positif yang kembali kepada kita, tentu kita akan senantiasa ikhlas
melakukannya. Misalnya saja, ketika kita mencintai Tuhan, sudah tentu kita akan
mengadu hanya kepadanya, dan ketika kita mengadu kepadanya, Tuhan tidak akan
berkomentar atau mengadu Nasib dengan kita, Bukankah hal ini yang diinginkan
oleh setiap orang yang sedang bercerita tentang kebahagiaan atau keluh kesah
hidupnya ?, jadi, hal ini adalah masuk akal, kita hanya harus mencintai Tuhan,
dengan mencintainya, kita tidak perlu khawatir akan jatuh cinta pada selainnya,
karena Tuhan sudah cukup. Hal ini tentu saja berbeda ketika kita mencintai
selain Tuhan, dikarenakan selain Tuhan itu selalu terdapat kekurangan, dan kita
akan selalu mencari pelengkap kekurangan itu agar menjadi puas, kita akan puas
ketika objek yang kita cintai sudah tidak terdapat kekurangan, dan hanya
Tuhanlah yang tidak memiliki kekurangan, karena dia mukhalafat lil
al-hawadits.
Kesimpulannya, aku barangkali dapat mencintai makhluk
Tuhan dengan orientasi yang benar, yakni orientasi cinta kepada Tuhan,
maksudnya, ketika aku mencintai makhluk berarti aku mencintai Tuhan, karena ada
bagian Tuhan dalam setiap makhluk. Akan tetapi, hal ini masih mengandung
keraguan, satu-satunya obat untuk menghilangkan keraguan itu adalah dengan
mencintai Allah sendiri, dan apabila cinta itu akan tumbuh dengan melakukan apa
yang disukai dan menjauhi apa yang tidak disukai oleh objek cinta, maka kita
hanya perlu beribadah dan menjauhi maksiat, baik yang bersifat esoterik maupun
esoteris, dengan demikian, cinta kita kepada Tuhan akan tumbuh, ketika kita
sudah mencintai Tuhan, maka cukuplah itu, karena Tuhan tidak memiliki
kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar