Sabtu, 06 Mei 2023

Makrifat Wudhu: Membaca Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani


Dalam beberapa tongkrongan kajian islam kontemporer di Indonesia, wudhu seringkali dipahami sebagai sebab sahnya sholat, karena itu, wudhu terbatasi pada kajian fikih, atau dalam pengertian lain, wudhu hanya merupakan pengetahuan furu’iyah (cabang) dalam kontes pengkajian islam,-dalam hal ini adalah sholat.

Walau demikian, hal tersebut tetap penting, mengingat bahwa sholat merupakan ibadah yang utama dalam islam, dikatakan oleh para fuqaha, bahwa sahnya sholat bergantung pada sahnya wudhu, dan karena itu pula, ada kaidah logika yang menyatakan bahwa untuk memahami satu hal kita perlu memahami hal lainnya, dalam hal ini, ketika kita ingin benar-benar melaksanakan sholat, dan telah diketahui bahwa syarat sahnya sholat salah satunya adalah wudhu, maka kita harus pula mempelajari wudhu dengan benar.

Pandangan Eksoterisisme

Telah dikemukakan diatas bahwa wudhu -dilihat dari sisi fikih- merupakan bagian yang penting dari sholat, kajian wudhu masuk ke dalam lingkup pembahasan thaharah (bersuci), biasanya, kajian mengenai wudhu dimulai dengan pembahasan mengenai air yang di dalamnya meliputi jenis-jenis air, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan jenis air yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Setelah itu, pembahasan dilanjutkan pada point-point seputar fardhu wudhu, hal-hal yang membatalkan wudhu dan lain sebagainya. Sampai disini, agaknya kita dapat memahami bahwa orientasi wudhu dalam fikih adalah melaksanakan syarat sah sholat, adapaun implikasi lainnya yang diperoleh dari wudhu adalah, seseorang dapat membaca al-Qur’an, sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an sendiri, untuk memegangnya seseorang harus dalam keadaan suci, “la yamassuhu illa al muthahharuna”, atau berwudhu juga dianjurkan bagi seseorang yang hendak melaksanakan amaliyah amaliyah tambahan yang diperoleh melalui ulama-ulama, atau dalam kalangan pesantren tradisional biasa disebut dengan tawasulan, wiridan atau tirakatan.

Tawasulan, wiridan dan tirakatan adalah nama dari tingkah laku ibadah dalam islam yang dalam perbendaharaan para wali-wali Allah dikenal dengan esoterisisme, meliputi penyucian jiwa melalui ritus-ritus tertentu, ritus-ritus tersebut telah berkembang dengan sangat beragam, walau demikian, ritus tertinggi dari seluruh ritus yang ada adalah melafalkan kalimat tauhid, yakni lailaha illa Allah.

Pandangan Esoterisisme

Diatas telah dikemukakan bahwa orientasi utama wudhu dalam literatur yurispudensi islam adalah syarat sah-nya sholat, disini, menarik bagi kita untuk melirik pandangan dari al-Bantani (selanjutnya akan kita singkat menjadi al-Bantani saja) dalam kitabnya nashaihu al-‘ibad dengan mengutip pandangan Ibn Hajar al-‘Asqalani yang juga mengutip pandangan Ibn Abbas, mengatakan bahwa sholat adalah pintu bagi seluruh amal shaleh, apabila pintu itu terbuka, maka terbukalah seluruh pintu amal, dan sebaliknya, apabila tertutup, maka tertutuplah seluruh pintu amal.

Berdasarkan argumentasi diatas, kita dapat memiliki sebuah pemahaman bahwa, dikarenakan sholat adalah pintu, maka kuncinya adalah wudhu, dan pintu semewah apapun akan mustahil terbuka apabila kunci yang digunakan tidak sesuai.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa wudhu -sekalipun merupakan pengetahuan cabang- tetap tidak boleh dipandangan sebelah mata, hal ini, agar wudhu yang dipahami sebagai kunci, dapat dengan benar membuka pintu amal shaleh yang dipahami sebagai sholat.

Setelah memahami posisi penting wudhu, marilah kita beranjak pada pembahasan orientasi dan implikasi wudhu dalam pandangan para sufi. Al-Bantani mengatakan, bahwa Abu Hurairah berkata nabi Muhammad tengah bersabda “ada tiga perkara yang menyelamatkan (munjiyat), tiga perkara merusak (mukhlikat), tiga perkara meninggikan derajat (darajat) dan tiga perkara menghapus dosa (kaffarat)”, untuk kelengkapan informasi, disini akan dituliskan masing-masing isi dari tiga perkara tersebut, selanjutnya akan diinterpretasikan perkara khusus yang menjadi perhatian dalam tulisan ringkas ini, yakni wudhu.

Masing-masing isi dari tiga perkara tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Tiga munjiyat

a.     Takut kepada Allah saat sendirian maupun ramai

b.    Hemat, baik saat fakir maupun kaya

c.     Adil, baik saat ridha maupun benci.

2.      Tiga mukhlikat

a.     Terlalu bakhil

b.    Menuruti hawa nafsu

c.     Bangga terhadap diri sendiri

3.      Tiga darajat

a.     Mengucapkan salam, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak

b.    Memberi makan bagi tamu maupun orang yang sedang kelaparan

c.     Sholat malam saat orang lain tertidur.

4.      Tiga kaffarat

a.     Menyempurnakan wudhu meski cuaca dingin

b.    Melangkahkan kaki untuk sholat berjama’ah

c.     Menunggu waktu sholat yang akan datang setelah mengerjakan

sholat.

Untuk menambah pengetahuan, dan sebelum aku melakukan interpretasi, perlu diketahui lebih jauh, ada satu hadits lagi yang dikutip oleh al-Bantani, dalam hadits tersebut nabi mengatakan bahwa ada tiga golongan manusia yang akan dinaungi Allah di bawah Arsy-nya pada hari di saat tak ada lagi naungan selain naungan Allah, salah satu dari ketiga golongan itu adalah orang yang komitmen dan konsisten menjaga wudhunya sekalipun dalam keadaan sulit.

Kemudian, sebagai pengantar untuk memahami interpretasi dalam tulisan ini, agaknya menarik untuk terlebih dahulu memperhatikan penjelasan yang disampaikan pula oleh al-Bantani dalam kitab kasyifah al-sajah, ketika tengah membahas bab wudhu, al-Bantani mengatakan bahwa, dari setiap anggota tubuh yang menjadi bagian wudhu, ada empat bagian yang dikhususkan, bagian itu adalah tempat dilakukannya dosa oleh nabi ‘Adam, yakni kaki, tangan, mulut dan kepala.

Lebih lanjut, kaki digunakan untuk berjalan, tangan untuk mengambil, mulut untuk mengunyah, dan kepalanya tersetuh daun, dari sini, al-bantani mengatakan bahwa, tingkah berjalan, mengambil, menguyah, dan tersentuh disini yang dimaksud adalah gerak nabi ‘Adam kepada pohon khuldi.

Manusia, sekalipun merupakan makhluk berketuhanan sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, tentunya, memiliki potensi lalai dan terjerumus nikmat dalam tarian dosa-dosa, hal ini tentu masuk akal, sebab itulah Allah mengutus Rasul dengan segala muatan wahyunya.

Kelalaian manusia ini, menurutku bermula dari apa yang dilihat dan apa yang di dengar, alat melihat disebut mata, sedangkan alat mendengar disebut telinga. Ada alat yang terletak di kepala pada bagian wajah yakni mata, karena itu pula, dalam berwudhu, salah satu fardhunya adalah membasuh wajah, dan salah satu sunnahnya adalah mengusap telinga, hal ini menurutku, tentunya tak lain adalah wujud Maha Kasih Allah sebagai jalan penghapusan dosa yang bermula dari kedua alat tersebut, terlebih kedua alat ini adalah bagian dari indera, yang oleh para filosof disebut dengan instrumen pengetahuan.

Diceritakan bahwa sebab tingkah makannya nabi ‘Adam merupakakan rayuan dari Siti Hawa, rayuan ini, tentu saja hanya dapat dipahami melalui dua jalur, pertama melalui telinga, apabila rayuan diberikan dengan cara berbicara, dan yang kedua melalui mata, apabila rayuan diberikan melalui isyarat, selain dua jalur ini adalah kemustahilan, karena dapat dipastikan pula seseorang yang sedari lahir tak dapat melihat dan mendengar tentunya tak dapat mengetahui apapun.

Dari sini, tingkah berjalan, tingkah memakan dan tingkah mengambilnya nabi ‘Adam terhadap buah khuldi merupakan informasi di akalnya yang masuk melalui mata atau telinga dan kemudian melahirkan sebuah tindakan berbentuk ketiga tingkah yang telah disebutkan.

Berdasarkan uraian tersebut, barangkali kita dapat memahami bahwa wudhu bukan hanya sekedar menghapuskan dosa, wudhu, pada tataran tertentu dapat dipahami sebagai sebuah ritus yang memiliki implikasi mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak bermaksiat kepada Allah, dan apabila seorang muslim benar-benar berislam dan beriman, setelah mengetahui hal ini, alih-alih hendak melakukan maksiat, bahkan untuk niat bermaksiat pun harusnya malu.

Sebelum mengakhiri pembahasan ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa, apabila wudhu saja yang merupakan kunci dari terbukanya pintu (baca sholat) dapat menghapus dosa, dan pada tataran tertentu yang harusnya tidak diragukan lagi, wudhu juga dapat mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak bermaksiat, bagaimana dengan sholat ?

Bisa dikata, ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa sholat dapat mencegah manusia dari mengerjakan larangan-larangan Allah, maka untuk dapat dengan benar mencapai rasa ‘mencegah’ tersebut, tentu dimulai dari wudhu yang benar, yang -sebagaimana telah dijelaskan diatas- salah satu fardhunya adalah membasuh wajah, di dalam wajah itu terdapat mata, dan salah satu sunnahnya adalah mengusap telinga, dimana mata dan telinga merupakan jalur masuk tahap pertama pengetahuan manusia yang kemudian akan melahirkan tindakan, dari itu, kita dapat memahami, apabila tahap pertama dapat dicegah, -dalam hal ini adalah maksiat, maka mustahil tahap kedua dapat terlaksana.

Bukankah orang buta tidak mengetahui warna dan orang tuli tak mengetahui suara ? lalu, apabila mereka tidak mengetahui, bagaimana -misalnya- orang buta hendak memilih warna dan orang tuli hendak memilih lagu ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...