Dalam
beberapa tongkrongan kajian islam kontemporer di Indonesia, wudhu seringkali
dipahami sebagai sebab sahnya sholat, karena itu, wudhu terbatasi pada kajian
fikih, atau dalam pengertian lain, wudhu hanya merupakan pengetahuan furu’iyah
(cabang) dalam kontes pengkajian islam,-dalam hal ini adalah sholat.
Walau
demikian, hal tersebut tetap penting, mengingat bahwa sholat merupakan ibadah
yang utama dalam islam, dikatakan oleh para fuqaha, bahwa sahnya sholat
bergantung pada sahnya wudhu, dan karena itu pula, ada kaidah logika yang
menyatakan bahwa untuk memahami satu hal kita perlu memahami hal lainnya, dalam
hal ini, ketika kita ingin benar-benar melaksanakan sholat, dan telah diketahui
bahwa syarat sahnya sholat salah satunya adalah wudhu, maka kita harus pula
mempelajari wudhu dengan benar.
Pandangan Eksoterisisme
Telah
dikemukakan diatas bahwa wudhu -dilihat dari sisi fikih- merupakan bagian yang
penting dari sholat, kajian wudhu masuk ke dalam lingkup pembahasan thaharah
(bersuci), biasanya, kajian mengenai wudhu dimulai dengan pembahasan mengenai
air yang di dalamnya meliputi jenis-jenis air, kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan jenis air yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Setelah itu,
pembahasan dilanjutkan pada point-point seputar fardhu wudhu, hal-hal yang
membatalkan wudhu dan lain sebagainya. Sampai disini, agaknya kita dapat
memahami bahwa orientasi wudhu dalam fikih adalah melaksanakan syarat sah
sholat, adapaun implikasi lainnya yang diperoleh dari wudhu adalah, seseorang
dapat membaca al-Qur’an, sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an sendiri, untuk
memegangnya seseorang harus dalam keadaan suci, “la yamassuhu illa al
muthahharuna”, atau berwudhu juga dianjurkan bagi seseorang yang hendak
melaksanakan amaliyah amaliyah tambahan yang diperoleh melalui ulama-ulama,
atau dalam kalangan pesantren tradisional biasa disebut dengan tawasulan,
wiridan atau tirakatan.
Tawasulan,
wiridan dan tirakatan adalah nama dari tingkah laku ibadah dalam islam yang
dalam perbendaharaan para wali-wali Allah dikenal dengan esoterisisme, meliputi
penyucian jiwa melalui ritus-ritus tertentu, ritus-ritus tersebut telah
berkembang dengan sangat beragam, walau demikian, ritus tertinggi dari seluruh
ritus yang ada adalah melafalkan kalimat tauhid, yakni lailaha illa Allah.
Pandangan Esoterisisme
Diatas telah
dikemukakan bahwa orientasi utama wudhu dalam literatur yurispudensi islam
adalah syarat sah-nya sholat, disini, menarik bagi kita untuk melirik pandangan
dari al-Bantani (selanjutnya akan kita singkat menjadi al-Bantani saja) dalam
kitabnya nashaihu al-‘ibad dengan mengutip pandangan Ibn Hajar
al-‘Asqalani yang juga mengutip pandangan Ibn Abbas, mengatakan bahwa sholat
adalah pintu bagi seluruh amal shaleh, apabila pintu itu terbuka, maka
terbukalah seluruh pintu amal, dan sebaliknya, apabila tertutup, maka
tertutuplah seluruh pintu amal.
Berdasarkan
argumentasi diatas, kita dapat memiliki sebuah pemahaman bahwa, dikarenakan
sholat adalah pintu, maka kuncinya adalah wudhu, dan pintu semewah apapun akan
mustahil terbuka apabila kunci yang digunakan tidak sesuai.
Dari sini
kita dapat mengetahui bahwa wudhu -sekalipun merupakan pengetahuan cabang-
tetap tidak boleh dipandangan sebelah mata, hal ini, agar wudhu yang dipahami
sebagai kunci, dapat dengan benar membuka pintu amal shaleh yang dipahami
sebagai sholat.
Setelah
memahami posisi penting wudhu, marilah kita beranjak pada pembahasan orientasi
dan implikasi wudhu dalam pandangan para sufi. Al-Bantani mengatakan, bahwa Abu
Hurairah berkata nabi Muhammad tengah bersabda “ada tiga perkara yang
menyelamatkan (munjiyat), tiga perkara merusak (mukhlikat), tiga perkara
meninggikan derajat (darajat) dan tiga perkara menghapus dosa (kaffarat)”, untuk
kelengkapan informasi, disini akan dituliskan masing-masing isi dari tiga
perkara tersebut, selanjutnya akan diinterpretasikan perkara khusus yang
menjadi perhatian dalam tulisan ringkas ini, yakni wudhu.
Masing-masing
isi dari tiga perkara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tiga
munjiyat
a. Takut kepada
Allah saat sendirian maupun ramai
b. Hemat, baik
saat fakir maupun kaya
c. Adil, baik
saat ridha maupun benci.
2. Tiga
mukhlikat
a. Terlalu
bakhil
b. Menuruti
hawa nafsu
c. Bangga
terhadap diri sendiri
3. Tiga darajat
a. Mengucapkan
salam, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak
b. Memberi
makan bagi tamu maupun orang yang sedang kelaparan
c. Sholat malam
saat orang lain tertidur.
4. Tiga
kaffarat
a. Menyempurnakan
wudhu meski cuaca dingin
b. Melangkahkan
kaki untuk sholat berjama’ah
c. Menunggu
waktu sholat yang akan datang setelah mengerjakan
sholat.
Untuk
menambah pengetahuan, dan sebelum aku melakukan interpretasi, perlu diketahui
lebih jauh, ada satu hadits lagi yang dikutip oleh al-Bantani, dalam hadits tersebut
nabi mengatakan bahwa ada tiga golongan manusia yang akan dinaungi Allah di
bawah Arsy-nya pada hari di saat tak ada lagi naungan selain naungan Allah,
salah satu dari ketiga golongan itu adalah orang yang komitmen dan konsisten
menjaga wudhunya sekalipun dalam keadaan sulit.
Kemudian,
sebagai pengantar untuk memahami interpretasi dalam tulisan ini, agaknya
menarik untuk terlebih dahulu memperhatikan penjelasan yang disampaikan pula
oleh al-Bantani dalam kitab kasyifah al-sajah, ketika tengah membahas
bab wudhu, al-Bantani mengatakan bahwa, dari setiap anggota tubuh yang menjadi
bagian wudhu, ada empat bagian yang dikhususkan, bagian itu adalah tempat
dilakukannya dosa oleh nabi ‘Adam, yakni kaki, tangan, mulut dan kepala.
Lebih
lanjut, kaki digunakan untuk berjalan, tangan untuk mengambil, mulut untuk
mengunyah, dan kepalanya tersetuh daun, dari sini, al-bantani mengatakan bahwa,
tingkah berjalan, mengambil, menguyah, dan tersentuh disini yang dimaksud
adalah gerak nabi ‘Adam kepada pohon khuldi.
Manusia,
sekalipun merupakan makhluk berketuhanan sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis
Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban, tentunya, memiliki potensi lalai
dan terjerumus nikmat dalam tarian dosa-dosa, hal ini tentu masuk akal, sebab
itulah Allah mengutus Rasul dengan segala muatan wahyunya.
Kelalaian
manusia ini, menurutku bermula dari apa yang dilihat dan apa yang di dengar,
alat melihat disebut mata, sedangkan alat mendengar disebut telinga. Ada alat yang
terletak di kepala pada bagian wajah yakni mata, karena itu pula, dalam
berwudhu, salah satu fardhunya adalah membasuh wajah, dan salah satu sunnahnya
adalah mengusap telinga, hal ini menurutku, tentunya tak lain adalah wujud Maha
Kasih Allah sebagai jalan penghapusan dosa yang bermula dari kedua alat tersebut,
terlebih kedua alat ini adalah bagian dari indera, yang oleh para filosof
disebut dengan instrumen pengetahuan.
Diceritakan
bahwa sebab tingkah makannya nabi ‘Adam merupakakan rayuan dari Siti Hawa,
rayuan ini, tentu saja hanya dapat dipahami melalui dua jalur, pertama melalui
telinga, apabila rayuan diberikan dengan cara berbicara, dan yang kedua melalui
mata, apabila rayuan diberikan melalui isyarat, selain dua jalur ini adalah
kemustahilan, karena dapat dipastikan pula seseorang yang sedari lahir tak
dapat melihat dan mendengar tentunya tak dapat mengetahui apapun.
Dari sini,
tingkah berjalan, tingkah memakan dan tingkah mengambilnya nabi ‘Adam terhadap
buah khuldi merupakan informasi di akalnya yang masuk melalui mata atau telinga
dan kemudian melahirkan sebuah tindakan berbentuk ketiga tingkah yang telah
disebutkan.
Berdasarkan
uraian tersebut, barangkali kita dapat memahami bahwa wudhu bukan hanya sekedar
menghapuskan dosa, wudhu, pada tataran tertentu dapat dipahami sebagai sebuah
ritus yang memiliki implikasi mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak
bermaksiat kepada Allah, dan apabila seorang muslim benar-benar berislam dan
beriman, setelah mengetahui hal ini, alih-alih hendak melakukan maksiat,
bahkan untuk niat bermaksiat pun harusnya malu.
Sebelum
mengakhiri pembahasan ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa, apabila wudhu saja
yang merupakan kunci dari terbukanya pintu (baca sholat) dapat menghapus dosa,
dan pada tataran tertentu yang harusnya tidak diragukan lagi, wudhu juga dapat
mencegah dan mengingatkan seseorang yang hendak bermaksiat, bagaimana dengan
sholat ?
Bisa dikata,
ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa sholat dapat mencegah manusia dari
mengerjakan larangan-larangan Allah, maka untuk dapat dengan benar mencapai
rasa ‘mencegah’ tersebut, tentu dimulai dari wudhu yang benar, yang
-sebagaimana telah dijelaskan diatas- salah satu fardhunya adalah membasuh
wajah, di dalam wajah itu terdapat mata, dan salah satu sunnahnya adalah
mengusap telinga, dimana mata dan telinga merupakan jalur masuk tahap pertama
pengetahuan manusia yang kemudian akan melahirkan tindakan, dari itu, kita
dapat memahami, apabila tahap pertama dapat dicegah, -dalam hal ini adalah
maksiat, maka mustahil tahap kedua dapat terlaksana.
Bukankah
orang buta tidak mengetahui warna dan orang tuli tak mengetahui suara ? lalu,
apabila mereka tidak mengetahui, bagaimana -misalnya- orang buta hendak memilih
warna dan orang tuli hendak memilih lagu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar