Pada umumnya
konsumerisme seringkali diartikan sebagai perilaku boros mutlak, dengan
demikian kata konsumerisme menjadi sempit dengan sendirinya. Atas kepentingan
menjelaskan dan memberikan insight baru terhadap kata tersebut,
dibutuhkan penelusuran sejarah dari pemikiran ekonom yang tentunya tetap menaati
disiplin metodologi sejarah, adalah Walt Whitman Rostow -dalam bukunya yang
berjudul The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manisfesto-
merupakan satu dari banyak ekonom yang mendiskusikan hal tersebut.
Selain
melakukan pembacaan sejarah melalui tokoh, tulisan inipun hendak melakukan
pembacaan terhadap perkembangannya di Indonesia, hal tersebut tentunya sangat
dibutuhkan, sehingga terdapat relevansi mengapa pembahasan ini menjadi
perhatian penulis, dengan demikian, harapan akan pemahaman ide mengenai
konsumerisme dapat dipahami dengan jelas di Indonesia.
Konsumerisme: Ringkasan Sejarah dan
Pembacaan Makna
Rostow dalam
bukunya The Stage of Economic Growth, memberikan penjelasan mengenai
tahapan pembangunan ekonomi, walaupun tidak secara langsung menggunakan kata
konsumerisme, namun pembacaan terhadap hal tersebut sangat dapat dilihat dari
penjelasannya mengenai lima tahap pembangunan ekonomi.
Rostow
menjelaskan, bahwa dalam hal ekonomi, masyarakat melalui beberapa tahapan atau
fase, Rostow mengatakan “ It is Possible to identify all societies, in their
economic dimensions, as lying within one of five categories, the traditional
society, the pre-conditions for take-off, the take-off, the drive to maturity,
and the age of high mass consumption”.
Pembacaan
sejarah tahapan ekonomi masyarakat Rostow berakhir pada masyarakat konsumsi
tingkat tinggi, menurut Rostow, hal ini terjadi tepat pada abad 20. Masyarakat
konsumsi yang ada dalam ide Rostow tersebut, menurutnya memiliki dua ciri,
pertama, terdapat sejumlah orang yang menguasai konsumsi tinggi, dimana
konsumsi tidak lagi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan keinginan,
dan yang kedua, terdapat perasaan dari para pekerja di dalam status ekonomi
rendah untuk melakukan konsumsi tingkat tinggi.
Tahap
konsumsi tingkat tinggi tersebut tentunya sudah di dukung oleh media-media
-yang pada saat itu, walau belum secanggih sekarang, seperti adanya shoppe, Tokopedia
dan lain sebagainya, sudah amat mempengaruhi perilaku konsumsi-, karena pada
tahap kedewasaan atau maturity, ciri perilaku konsumsinya adalah
pengaruh media-media, hal tersebut terjadi di negara-negara Eropa seperi
Jerman, Inggris, Amerika, dan ini sudah terjadi sejak abad ke 19.
Adanya dua
ciri dari masyarakat konsumsi tersebut lahir kepentingan-kepentingan politis
dari beberapa kelompok, kelompok tersebut kemudian melahirkan inflasi dan
kecurangan pasar. Kepentingan politis itu dibuat untuk melanggengkan daya
konsumtif tinggi dari masyarakat, tentunya hal ini melahirkan inflasi, sehingga
masyarakat akan melakukan pekerjaan apapun untuk memenuhi keinginannya.
Dalam
penjelasan kesejarahan inilah, kemudian dapat kita ketahui dengan jelas pengertian
yang diberikan oleh KBBI, dalam KBBI, konsumerisme memiliki dua definisi,
pertama konsumerisme merupakan gerakan pembelaan terhadap kecurangan pasar, dan
juga merupakan perilaku boros dari konsumen.
Dalam
logika, konsumerisme termasuk jenis kata ekuivokal, yakni satu kata yang
memiliki banyak makna. Penulis pikir, kata konsumerisme dan masyarakat konsumsi
merupakan dua kata yang memiliki relasi umum dan khusus mutlak, jadi setiap
masyarakat konsumsi tingkat tinggi atau perilaku boros adalah konsumerisme,
namun konsumerisme tidak hanya masyarakat konsumsi tingkat tinggi.
Konsumerisme di Indonesia: Kelahiran dan
Perkembangan
Setelah
mengetahui dengan jelas sejarah dan makna dari konsumerisme, kita baru dapat
membacanya di Indonesia. Pada abad ke 20, Nurcholis Madjid, dalam bukunya Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, membicarakan mengenai konsumerisme -dengan makna
perilaku konsumsi tinggi- pada bagian kedua yang bertajuk “Islam dan Cita-cita
Keadilan Sosial dalam Islam”, namun sebagaimana Rostow, Nurcholis Madjid tidak
menggunakan kata konsumerisme untuk menjelaskan perilaku boros masyarakat,
namun ia menggunakan kata demonstration effect.
Pendapat
Nurcholis Madjid mengenai konsumerisme, dibangun melalui pikirannya mengenai
penggunaan harta dan gaya hidup. Cak Nur mengatakan “Pola penggunaan harta
menyangkut tata nilai seseorang, Hal itu tidak selalu dihubungkan dengan
persoalan benar-salah, tetapi terutama menyangkut rasa tata hormat dan tidak
terhormat, Bahagia dan tidak Bahagia. Umpamanya, jika kita berpandangan bahwa
kehormatan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan dan kebahagiaan terletak pada
kekayaan yang nampak dan dapat dilihat orang lain (lebih-lebih jika mampu
menerbitkan rasa iri hati pada mereka), maka sudah tentu pola penggunaan harta
yang kita anut ialah pola penggunaan harta yang maksimal”.
Konsumerisme
dalam pemikiran Nurcholis Madjid, dalam tataran tertentu akan mendorong
seseorang untuk memperkaya diri dan merugikan orang lain, serta menghalangi
terwujudnya masyarakat adil dan Makmur, tentunya hal ini akan menghalangi
tujuan dari kemerdekaan Indonesia.
Menurut
penulis, konsumerisme di Indonesia sudah terjadi sejak pertengahan abad 20,
alasannya adalah dengan adanya pernyataan yang penulis rujuk dari buku
Nurcholis tersebut, tentunya, Nurcholis merupakan pemikir islam Indonesia yang
selalu melakukan kontekstualisasi pemikiran dengan kondisi Indonesia, jadi
memahaminya demikian -rasanya- tidak salah..
Terkait
dengan perkembangannya di Indonesia, menarik untuk membaca pemikiran dari Sri
Wening dalam bukunya yang berjudul “Waspada Konsumerisme: Kiat-kiat Menghambat
Melalui Pendidikan Karakter”.
Sri Wening
dalam buku tersebut mula-mula memberikan penjelasan mengenai masyarakat
konsumsi tingkat tinggi di Indonesia, Sri memberikan contoh pada tahun 2010 di
salah satu mall di Jakarta, terdapat antrean manusia yang sangat panjang untuk
membeli sepatu merek Crocs yang sedang diberikan diskon.
Menurut Sri,
dunia konsumsi tertinggi di Indonesia adalah fashion perempuan, mulai
dari bayi hingga orang tua. Perilaku konsumtif lain pada perempuan juga terjadi
pada kegiatan arisan, perilaku pasar perempuan yang unik menjadi sebuah
pembacaan strategi para produsen dan menjadikan perempuan sebagai target pasar
utama, namun penulis belum menemuka data yang valid untuk menunjukkan kuantitas
dari pernyataan Sri tersebut, karena Sri Wening juga tidak memberikan data
empirisnya yang berupa angka.
Namun
tentunya Sri juga menyatakan dengan tegas bahwa laki-laki juga memiliki sikap
konsumtif yang tinggi, hal ini dikaitkan dengan jumlah perokok. Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional terbaru, jumlah perokok di
Indonesia pada tahun 2019 hingga 2021 selalu lebih jauh besar dari perempuan,
data tersebut dapat dilihat sebagai berikut
Jenis Kelamin + Nasional |
Presentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 tahun, Menurut Jenis
Kelamin (Persen) |
||
|
2019 |
2020 |
2021 |
Laki-laki |
7,39 |
7,26 |
7,14 |
Perempuan |
0,15 |
0,17 |
0,09 |
Nasional |
3,87 |
3,81 |
3,69 |
Pembacaan
terhadap perkembangan masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia sudah
tentu memerlukan data yang valid, karena itu penulis juga akan menunjukkan data
tersebut yang penulis akses dari katadata yang dikelola oleh kementerian
komunikasi dan informatika pada tahun 2022, namun sebelum itu, penulis memiliki
asumsi bahwa masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia akan semakin
membesar dengan adanya berbagai macam aplikasi pendukung, aktivitas tersebut
kemudian disebut dengan belanja online.
Tentunya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Rostow, masyarakat konsumsi tingkat tinggi
dipengaruhi oleh adanya teknologi, jika dilihat dari tahun penulisan buku
Rustow yaitu pada tahun 1966, maka dapat dipastikan platform digital pendukung
untuk belanja belum begitu maju seperti sekarang, maka atas dasar tersebut,
masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia akan terus meningkat setiap
tahunnya. Hal ini logis, karena platform digital sudah sangat beragam,
dan keseluruhannya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang
kemudian akan menarik hati konsumen.
Pangkal
asumsi penulis terhadap pembacaan masyarakat konsumsi tingkat tinggi di
Indonesia berdasarkan dari data frekuensi belanja online di Indonesia. Data ini
merupakan survey kolaborasi antara Katadata Insight Center (KIC) dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika. Data tersebut diperoleh dari 10 ribu
responden yang berasal dari 34 provinsi.
Adapun untuk kelengkapan data tersebut berdasarkan persen adalah sebagai berikut: (untuk lebih lengkap silahkan kunjungi link https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/frekuensi-belanja-online-masyarakat-indonesia
Data Belanja Online Masyarakat Indonesia |
|
Setiap hari |
1,9 % |
2-3 hari sekali |
4,2 % |
Tidak pernah menggunakan |
6 % |
Seminggu sekali |
8,4 % |
2-3 kali sebulan |
14 % |
Sebulan sekali |
27 % |
Beberapa bulan sekali |
37, 9 % |
Kesimpulannya, perilaku boros yang sering berdengung konsumerisme adalah
benar, namun tidak dibenarkan jika seseorang memahami konsumerisme adalah
perilaku boros mutlak. Rostow menyebut konsumerisme sebagai masyarakat konsumsi
tingkat tinggi, berbeda dengan Nurcholis Madjid yang menyebut konsumerisme
dengan nama lain yaitu demonstration effect, namun tetap merujuk pada
perilaku konsumsi tingkat tinggi.
Dengan terdapatnya penjelasan dari Nurcholis Madjid, dapat dipastikan konsumerisme telah ada di Indonesia sejak abad 20, -namun tidak dapat dipastikan kemunculan jelasnya pada awal, pertengahan atau akhir abad tersebut-, adapun perkembangannya pada abad 21, menurut Sri Wening dapat dengan jelas dilihat dari berbagai antrean panjang yang terjadi di mall atau supermarket, Sri berpendapat perempuan lebih dominan memiliki perilaku konsumtif dibanding laki-laki, walau demikian, Sri tetap mengatakan laki-laki memiliki sikap konsumsi tingkat tinggi. Konsumerisme di Indonesia dapat dipastikan akan tetap tumbuh, hal demikian, jika mengikuti pemikiran Nurcholis Madjid akan menjauhkan Indonesia dari tujuan kemerdekannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar