Rabu, 03 Mei 2023

Konsumerisme dan Masyarakat Konsumsi: Kilasan Makna dan Perkembangannya di Indonesia

Pada umumnya konsumerisme seringkali diartikan sebagai perilaku boros mutlak, dengan demikian kata konsumerisme menjadi sempit dengan sendirinya. Atas kepentingan menjelaskan dan memberikan insight baru terhadap kata tersebut, dibutuhkan penelusuran sejarah dari pemikiran ekonom yang tentunya tetap menaati disiplin metodologi sejarah, adalah Walt Whitman Rostow -dalam bukunya yang berjudul The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manisfesto- merupakan satu dari banyak ekonom yang mendiskusikan hal tersebut.

Selain melakukan pembacaan sejarah melalui tokoh, tulisan inipun hendak melakukan pembacaan terhadap perkembangannya di Indonesia, hal tersebut tentunya sangat dibutuhkan, sehingga terdapat relevansi mengapa pembahasan ini menjadi perhatian penulis, dengan demikian, harapan akan pemahaman ide mengenai konsumerisme dapat dipahami dengan jelas di Indonesia.

Konsumerisme: Ringkasan Sejarah dan Pembacaan Makna

Rostow dalam bukunya The Stage of Economic Growth, memberikan penjelasan mengenai tahapan pembangunan ekonomi, walaupun tidak secara langsung menggunakan kata konsumerisme, namun pembacaan terhadap hal tersebut sangat dapat dilihat dari penjelasannya mengenai lima tahap pembangunan ekonomi.

Rostow menjelaskan, bahwa dalam hal ekonomi, masyarakat melalui beberapa tahapan atau fase, Rostow mengatakan “ It is Possible to identify all societies, in their economic dimensions, as lying within one of five categories, the traditional society, the pre-conditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the age of high mass consumption”. (Rostow 1960)

Pembacaan sejarah tahapan ekonomi masyarakat Rostow berakhir pada masyarakat konsumsi tingkat tinggi, menurut Rostow, hal ini terjadi tepat pada abad 20. Masyarakat konsumsi yang ada dalam ide Rostow tersebut, menurutnya memiliki dua ciri, pertama, terdapat sejumlah orang yang menguasai konsumsi tinggi, dimana konsumsi tidak lagi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan keinginan, dan yang kedua, terdapat perasaan dari para pekerja di dalam status ekonomi rendah untuk melakukan konsumsi tingkat tinggi. (Rostow 1960)

Tahap konsumsi tingkat tinggi tersebut tentunya sudah di dukung oleh media-media -yang pada saat itu, walau belum secanggih sekarang, seperti adanya shoppe, Tokopedia dan lain sebagainya, sudah amat mempengaruhi perilaku konsumsi-, karena pada tahap kedewasaan atau maturity, ciri perilaku konsumsinya adalah pengaruh media-media, hal tersebut terjadi di negara-negara Eropa seperi Jerman, Inggris, Amerika, dan ini sudah terjadi sejak abad ke 19. (Rostow 1960)

Adanya dua ciri dari masyarakat konsumsi tersebut lahir kepentingan-kepentingan politis dari beberapa kelompok, kelompok tersebut kemudian melahirkan inflasi dan kecurangan pasar. Kepentingan politis itu dibuat untuk melanggengkan daya konsumtif tinggi dari masyarakat, tentunya hal ini melahirkan inflasi, sehingga masyarakat akan melakukan pekerjaan apapun untuk memenuhi keinginannya.

Dalam penjelasan kesejarahan inilah, kemudian dapat kita ketahui dengan jelas pengertian yang diberikan oleh KBBI, dalam KBBI, konsumerisme memiliki dua definisi, pertama konsumerisme merupakan gerakan pembelaan terhadap kecurangan pasar, dan juga merupakan perilaku boros dari konsumen.

Dalam logika, konsumerisme termasuk jenis kata ekuivokal, yakni satu kata yang memiliki banyak makna. Penulis pikir, kata konsumerisme dan masyarakat konsumsi merupakan dua kata yang memiliki relasi umum dan khusus mutlak, jadi setiap masyarakat konsumsi tingkat tinggi atau perilaku boros adalah konsumerisme, namun konsumerisme tidak hanya masyarakat konsumsi tingkat tinggi.

Konsumerisme di Indonesia: Kelahiran dan Perkembangan

Setelah mengetahui dengan jelas sejarah dan makna dari konsumerisme, kita baru dapat membacanya di Indonesia. Pada abad ke 20, Nurcholis Madjid, dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, membicarakan mengenai konsumerisme -dengan makna perilaku konsumsi tinggi- pada bagian kedua yang bertajuk “Islam dan Cita-cita Keadilan Sosial dalam Islam”, namun sebagaimana Rostow, Nurcholis Madjid tidak menggunakan kata konsumerisme untuk menjelaskan perilaku boros masyarakat, namun ia menggunakan kata demonstration effect. (Madjid 1991)

Pendapat Nurcholis Madjid mengenai konsumerisme, dibangun melalui pikirannya mengenai penggunaan harta dan gaya hidup. Cak Nur mengatakan “Pola penggunaan harta menyangkut tata nilai seseorang, Hal itu tidak selalu dihubungkan dengan persoalan benar-salah, tetapi terutama menyangkut rasa tata hormat dan tidak terhormat, Bahagia dan tidak Bahagia. Umpamanya, jika kita berpandangan bahwa kehormatan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan yang nampak dan dapat dilihat orang lain (lebih-lebih jika mampu menerbitkan rasa iri hati pada mereka), maka sudah tentu pola penggunaan harta yang kita anut ialah pola penggunaan harta yang maksimal”. (Madjid 1991)

Konsumerisme dalam pemikiran Nurcholis Madjid, dalam tataran tertentu akan mendorong seseorang untuk memperkaya diri dan merugikan orang lain, serta menghalangi terwujudnya masyarakat adil dan Makmur, tentunya hal ini akan menghalangi tujuan dari kemerdekaan Indonesia.

Menurut penulis, konsumerisme di Indonesia sudah terjadi sejak pertengahan abad 20, alasannya adalah dengan adanya pernyataan yang penulis rujuk dari buku Nurcholis tersebut, tentunya, Nurcholis merupakan pemikir islam Indonesia yang selalu melakukan kontekstualisasi pemikiran dengan kondisi Indonesia, jadi memahaminya demikian -rasanya- tidak salah..

Terkait dengan perkembangannya di Indonesia, menarik untuk membaca pemikiran dari Sri Wening dalam bukunya yang berjudul “Waspada Konsumerisme: Kiat-kiat Menghambat Melalui Pendidikan Karakter”.

Sri Wening dalam buku tersebut mula-mula memberikan penjelasan mengenai masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia, Sri memberikan contoh pada tahun 2010 di salah satu mall di Jakarta, terdapat antrean manusia yang sangat panjang untuk membeli sepatu merek Crocs yang sedang diberikan diskon.

Menurut Sri, dunia konsumsi tertinggi di Indonesia adalah fashion perempuan, mulai dari bayi hingga orang tua. Perilaku konsumtif lain pada perempuan juga terjadi pada kegiatan arisan, perilaku pasar perempuan yang unik menjadi sebuah pembacaan strategi para produsen dan menjadikan perempuan sebagai target pasar utama, namun penulis belum menemuka data yang valid untuk menunjukkan kuantitas dari pernyataan Sri tersebut, karena Sri Wening juga tidak memberikan data empirisnya yang berupa angka. (Wening 2011)

Namun tentunya Sri juga menyatakan dengan tegas bahwa laki-laki juga memiliki sikap konsumtif yang tinggi, hal ini dikaitkan dengan jumlah perokok. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional terbaru, jumlah perokok di Indonesia pada tahun 2019 hingga 2021 selalu lebih jauh besar dari perempuan, data tersebut dapat dilihat sebagai berikut

Jenis Kelamin + Nasional

Presentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen)

 

2019

2020

2021

Laki-laki

7,39

7,26

7,14

Perempuan

0,15

0,17

0,09

Nasional

3,87

3,81

3,69

 

Pembacaan terhadap perkembangan masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia sudah tentu memerlukan data yang valid, karena itu penulis juga akan menunjukkan data tersebut yang penulis akses dari katadata yang dikelola oleh kementerian komunikasi dan informatika pada tahun 2022, namun sebelum itu, penulis memiliki asumsi bahwa masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia akan semakin membesar dengan adanya berbagai macam aplikasi pendukung, aktivitas tersebut kemudian disebut dengan belanja online.

Tentunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Rostow, masyarakat konsumsi tingkat tinggi dipengaruhi oleh adanya teknologi, jika dilihat dari tahun penulisan buku Rustow yaitu pada tahun 1966, maka dapat dipastikan platform digital pendukung untuk belanja belum begitu maju seperti sekarang, maka atas dasar tersebut, masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini logis, karena platform digital sudah sangat beragam, dan keseluruhannya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang kemudian akan menarik hati konsumen.

Pangkal asumsi penulis terhadap pembacaan masyarakat konsumsi tingkat tinggi di Indonesia berdasarkan dari data frekuensi belanja online di Indonesia. Data ini merupakan survey kolaborasi antara Katadata Insight Center (KIC) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Data tersebut diperoleh dari 10 ribu responden yang berasal dari 34 provinsi.

Adapun untuk kelengkapan data tersebut berdasarkan persen adalah sebagai berikut: (untuk lebih lengkap silahkan kunjungi link https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/frekuensi-belanja-online-masyarakat-indonesia

Data Belanja Online Masyarakat Indonesia

Setiap hari

1,9 %

2-3 hari sekali

4,2 %

Tidak pernah menggunakan

6 %

Seminggu sekali

8,4 %

2-3 kali sebulan

14 %

Sebulan sekali

27 %

Beberapa bulan sekali

37, 9 %

Kesimpulannya, perilaku boros yang sering berdengung konsumerisme adalah benar, namun tidak dibenarkan jika seseorang memahami konsumerisme adalah perilaku boros mutlak. Rostow menyebut konsumerisme sebagai masyarakat konsumsi tingkat tinggi, berbeda dengan Nurcholis Madjid yang menyebut konsumerisme dengan nama lain yaitu demonstration effect, namun tetap merujuk pada perilaku konsumsi tingkat tinggi.

Dengan terdapatnya penjelasan dari Nurcholis Madjid, dapat dipastikan konsumerisme telah ada di Indonesia sejak abad 20, -namun tidak dapat dipastikan kemunculan jelasnya pada awal, pertengahan atau akhir abad tersebut-, adapun perkembangannya pada abad 21, menurut Sri Wening dapat dengan jelas dilihat dari berbagai antrean panjang yang terjadi di mall atau supermarket, Sri berpendapat perempuan lebih dominan memiliki perilaku konsumtif dibanding laki-laki, walau demikian, Sri tetap mengatakan laki-laki memiliki sikap konsumsi tingkat tinggi. Konsumerisme di Indonesia dapat dipastikan akan tetap tumbuh, hal demikian, jika mengikuti pemikiran Nurcholis Madjid akan menjauhkan Indonesia dari tujuan kemerdekannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...