Selasa, 02 Mei 2023

Kedewasaan Berpikir: Mereguk Adagium al Mu'allim al Awwal KH. Ukon Abdul Ghoni

KH. Ukon Abdul Ghoni atau -kami santrinya- akrab dengan panggilan kang haji, adalah pendiri, pembina dan pendidik pondok pesantren tradisional Ibn Yusuf sejak tahun 2010, selain itu, kang haji juga merupakan seorang penceramah, namanya tidak hanya dikenal di Bogor, akan tetapi sampai melambung ke tanah Banten, Purwakarta dan daerah jawa bagian barat lainnya.

Tulisan pendek ini hendak menjelaskan sebuah adagium yang berulang kali disampaikan oleh kang haji kepada santri-santrinya yakni “kedewasaan berpikir”, memang pantas saja, apabila para santri sering kebingungan dengan penjelasan yang disampaikan oleh kang haji, terutama penjelasan mengenai adagium-adagium semacam ini, sebab adagium semacam ini -walau sederhana, tetap memerlukan perenungan dalam memahaminya. Kesulitan yang terjadi terletak pada ketidak-adaan deskripsi yang jelas mengenai hal tersebut, dikarenakan kang haji hanya memberi argumen metafor yang diiringi contoh-contohnya. Walau demikian, dikarenakan adagium tersebut sudah seringkali dikatakan, maka sedikit demi sedikit, akhirnya penulis selaku salah satu santrinya dapat mengerti hal apa yang dimaksud oleh kang haji tersebut, kemudian dengan sadar dan sengaja menuliskannya dengan metode deskriptif analitis, tujuannya hanya satu yakni menjaga agar pemaknaan terhadap adagium tersebut dapat tersimpan, dan barangkali dapat ditinjau kembali apabila terdapat kekeliruan.

Akan tetapi, agaknya menarik sebelum menjelaskan makna dan tujuan dari adagium tersebut, pertama-tama penulis hendak menjelaskan latar belakang geo-sosio-ritualisme yang mempengaruhi hadirnya adagium tersebut di dalam pikiran kang haji. Kang haji merupakan seorang yang tidak hanya memiliki latar belakang pendidikan di pesantren, kecerdasannya menghantarkan beliau sampai menduduki kursi SMA di salah satu SMA favorit di kabupaten Bogor yakni SMA Negeri 1 Leuwiliang (SMANEL), maka, secara tak langsung, pikiran kang haji sudah terbentuk untuk mempelajari sesuatu secara komperhensif, kritis dan analitis. Latar belakang inilah yang pada akhirnya dapat membentuk sebuah pemikiran yang melandasi adagium kang haji tersebut, agaknya perlu diketahui pula, kang haji yang merupakan seorang penceramah, tentunya sudah seringkali berhadapan dengan kalangan muslim yang beragam, walau seringkali berbeda pandangan dengan para kiyai lainnya, kang haji tidak pernah memutus tali silaturahmi antar sesame kiyai, dan orang-orang lainnya yang berbeda pandangan.

Berangkat dari latar belakang tersebut, hemat penulis, kang haji tengah memiliki pengalaman empirikal yang integratif. Maka, dengan memahami latar belakang tersebut, adagium kedewasaan berpikir dapat bermakna berpikir yang objektif. Berpikir objektif berarti fokus pada sebuah permasalahan dengan mengesampingkan subjeknya, artinya, masalah dilihat sebagaimana masalah, bukan masalah dilihat sebagaimana pelaku masalah, karena lawan dari berpikir objektif adalah berpikir subjektif. Kang haji, seringkali memiliki pandangan yang berbeda, akan tetapi fokusnya adalah pada objek bukan subjek, barangkali contoh ini dapat memberikan pemahaman lebih, pada suatu ketika, Imam Besar Habib Rizieq Shihab pernah melontarkan sebuah kalimat kontroversial yakni “Siap Bela Allah”, atas pernyataan ini, kang haji tidak segan-segan untuk mengkritiknya, kang haji menilai bahwa pernyataan ini adalah pernyataan yang salah, karena Allah tidak perlu dibela, sebab apabila Allah butuh pada pembelaan, berarti Allah sama dengan makhluk, sedangkan kaidah teologi Asy’ari menyatakan bahwa Allah Wajib memiliki sifat mukhalafatu li al-hawadits, yang artinya Allah berbeda dengan makhluknya, hal ini disampaikan oleh kang haji berulang kali ketika mengkaji kitab-kitab dengan genre tauhid.

Contoh lainnya adalah tanggapan kang haji atas pergolakan para ulama Banten yang memperselisihkan antara ulama dan habaib, tokoh yang menjadi sorotan atas pergolakan ini adalah Abuya Muhtadi ibn Abuya Dimyathi Cidahu dengan KH. Qurtubi. Dengan tersebarnya kabar bahwa KH. Qurtubi mengirimkan Hizib Nashor kepada Abuya Muhtadi. Tentunya, tanpa menghilangkan ta’dzim, kang haji tidak sepakat dengan tindakan yang dilakukan oleh KH. Qurtubi, sebab hizib Nashor bukanlah sesuatu yang ditujukan untuk menghancurkan sesame muslim -dalam hal ini terlebih dikirimkan kepada Abuya. Dalam hal ini, penulis menilai ketidak-sepakatan kang haji terhadap tindakan tersebut merupakan sebuah bukti ketidak-sepakatannya terhadap cara berpikir subjektif, bagi penulis, agaknya kang haji berpikir bahwa, seharusnya apabila KH. Qurtubi tidak sepakat dengan Abuya Muhtadi, maka yang diperlukan adalah menjawab argumen dan dalil yang dikemukakan, dan bukan dengan cara menyerang Abuya Muhtadi secara personal.

Adapun mengenai tujuan dikemukakannya adagium tersebut kepada santrinya, tak lain adalah mengajarkan cara berpikir yang benar agar tidak terjebak pada kerancuan berpikir, hal ini patut untuk dipahami mengingat pada zaman ini, ketika suatu masalah menghampiri seseorang, maka pola pikirnya seringkali jatuh pada subjektifitas, sebagaimana tergambar pada sebuah kelompok yang mengatakan bahwa pelaku pemerkosa santri di Bandung adalah seorang muslim Syiah, tentunya cara berpikir demikian jelas keliru, sebab pelaku pemerkosan dalam Islam, baik sunni, syiah, Muhammadiyah dan lain sebagainya adalah perilaku yang jelas-jelas melanggar larangan Allah.

Kesimpulan singkatnya adalah, adagium kedewasaan berpikir yang seringkali dilontarkan oleh kang haji bermakna berpikir objektif dengan tujuan mengajarkan cara berpikir yang benar. Hal ini perlu dimiliki oleh siapapun, terlebih seorang santri, untuk menjaga tradisi ilmiah islam, yakni objektifitas, sebagaimana dilakukan oleh para ulama, sarjana dan para pemikir islam terdahulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...