KH. Ukon Abdul Ghoni atau -kami
santrinya- akrab dengan panggilan kang haji, adalah pendiri, pembina dan
pendidik pondok pesantren tradisional Ibn Yusuf sejak tahun 2010, selain itu,
kang haji juga merupakan seorang penceramah, namanya tidak hanya dikenal di
Bogor, akan tetapi sampai melambung ke tanah Banten, Purwakarta dan daerah jawa
bagian barat lainnya.
Tulisan pendek ini hendak
menjelaskan sebuah adagium yang berulang kali disampaikan oleh kang haji kepada
santri-santrinya yakni “kedewasaan berpikir”, memang pantas saja, apabila para
santri sering kebingungan dengan penjelasan yang disampaikan oleh kang haji,
terutama penjelasan mengenai adagium-adagium semacam ini, sebab adagium semacam
ini -walau sederhana, tetap memerlukan perenungan dalam memahaminya. Kesulitan
yang terjadi terletak pada ketidak-adaan deskripsi yang jelas mengenai hal
tersebut, dikarenakan kang haji hanya memberi argumen metafor yang diiringi
contoh-contohnya. Walau demikian, dikarenakan adagium tersebut sudah seringkali
dikatakan, maka sedikit demi sedikit, akhirnya penulis selaku salah satu
santrinya dapat mengerti hal apa yang dimaksud oleh kang haji tersebut,
kemudian dengan sadar dan sengaja menuliskannya dengan metode deskriptif
analitis, tujuannya hanya satu yakni menjaga agar pemaknaan terhadap adagium
tersebut dapat tersimpan, dan barangkali dapat ditinjau kembali apabila
terdapat kekeliruan.
Akan tetapi, agaknya menarik
sebelum menjelaskan makna dan tujuan dari adagium tersebut, pertama-tama
penulis hendak menjelaskan latar belakang geo-sosio-ritualisme yang
mempengaruhi hadirnya adagium tersebut di dalam pikiran kang haji. Kang haji
merupakan seorang yang tidak hanya memiliki latar belakang pendidikan di
pesantren, kecerdasannya menghantarkan beliau sampai menduduki kursi SMA di
salah satu SMA favorit di kabupaten Bogor yakni SMA Negeri 1 Leuwiliang
(SMANEL), maka, secara tak langsung, pikiran kang haji sudah terbentuk untuk
mempelajari sesuatu secara komperhensif, kritis dan analitis. Latar belakang
inilah yang pada akhirnya dapat membentuk sebuah pemikiran yang melandasi
adagium kang haji tersebut, agaknya perlu diketahui pula, kang haji yang
merupakan seorang penceramah, tentunya sudah seringkali berhadapan dengan
kalangan muslim yang beragam, walau seringkali berbeda pandangan dengan para
kiyai lainnya, kang haji tidak pernah memutus tali silaturahmi antar sesame
kiyai, dan orang-orang lainnya yang berbeda pandangan.
Berangkat dari latar belakang
tersebut, hemat penulis, kang haji tengah memiliki pengalaman empirikal yang
integratif. Maka, dengan memahami latar belakang tersebut, adagium kedewasaan
berpikir dapat bermakna berpikir yang objektif. Berpikir objektif berarti fokus
pada sebuah permasalahan dengan mengesampingkan subjeknya, artinya, masalah
dilihat sebagaimana masalah, bukan masalah dilihat sebagaimana pelaku masalah,
karena lawan dari berpikir objektif adalah berpikir subjektif. Kang haji,
seringkali memiliki pandangan yang berbeda, akan tetapi fokusnya adalah pada
objek bukan subjek, barangkali contoh ini dapat memberikan pemahaman lebih,
pada suatu ketika, Imam Besar Habib Rizieq Shihab pernah melontarkan sebuah
kalimat kontroversial yakni “Siap Bela Allah”, atas pernyataan ini, kang haji
tidak segan-segan untuk mengkritiknya, kang haji menilai bahwa pernyataan ini
adalah pernyataan yang salah, karena Allah tidak perlu dibela, sebab apabila
Allah butuh pada pembelaan, berarti Allah sama dengan makhluk, sedangkan kaidah
teologi Asy’ari menyatakan bahwa Allah Wajib memiliki sifat mukhalafatu li
al-hawadits, yang artinya Allah berbeda dengan makhluknya, hal ini disampaikan
oleh kang haji berulang kali ketika mengkaji kitab-kitab dengan genre tauhid.
Contoh lainnya adalah tanggapan
kang haji atas pergolakan para ulama Banten yang memperselisihkan antara ulama
dan habaib, tokoh yang menjadi sorotan atas pergolakan ini adalah Abuya Muhtadi
ibn Abuya Dimyathi Cidahu dengan KH. Qurtubi. Dengan tersebarnya kabar bahwa
KH. Qurtubi mengirimkan Hizib Nashor kepada Abuya Muhtadi. Tentunya, tanpa menghilangkan
ta’dzim, kang haji tidak sepakat dengan tindakan yang dilakukan oleh KH.
Qurtubi, sebab hizib Nashor bukanlah sesuatu yang ditujukan untuk menghancurkan
sesame muslim -dalam hal ini terlebih dikirimkan kepada Abuya. Dalam hal ini,
penulis menilai ketidak-sepakatan kang haji terhadap tindakan tersebut
merupakan sebuah bukti ketidak-sepakatannya terhadap cara berpikir subjektif,
bagi penulis, agaknya kang haji berpikir bahwa, seharusnya apabila KH. Qurtubi
tidak sepakat dengan Abuya Muhtadi, maka yang diperlukan adalah menjawab
argumen dan dalil yang dikemukakan, dan bukan dengan cara menyerang Abuya
Muhtadi secara personal.
Adapun mengenai tujuan
dikemukakannya adagium tersebut kepada santrinya, tak lain adalah mengajarkan
cara berpikir yang benar agar tidak terjebak pada kerancuan berpikir, hal ini
patut untuk dipahami mengingat pada zaman ini, ketika suatu masalah menghampiri
seseorang, maka pola pikirnya seringkali jatuh pada subjektifitas, sebagaimana
tergambar pada sebuah kelompok yang mengatakan bahwa pelaku pemerkosa santri di
Bandung adalah seorang muslim Syiah, tentunya cara berpikir demikian jelas
keliru, sebab pelaku pemerkosan dalam Islam, baik sunni, syiah, Muhammadiyah
dan lain sebagainya adalah perilaku yang jelas-jelas melanggar larangan Allah.
Kesimpulan singkatnya adalah,
adagium kedewasaan berpikir yang seringkali dilontarkan oleh kang haji bermakna
berpikir objektif dengan tujuan mengajarkan cara berpikir yang benar. Hal ini
perlu dimiliki oleh siapapun, terlebih seorang santri, untuk menjaga tradisi
ilmiah islam, yakni objektifitas, sebagaimana dilakukan oleh para ulama,
sarjana dan para pemikir islam terdahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar