Kajian
karya klasik mengenai bidang ilmu tauhid di pondok pesantren salaf yang
mayoritas santri dan kiyai nya adalah NU, kebanyakan mengacu pada pemikiran
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, pemikiran ini
mencapai tingkat kegemilangannya saat salah satu pemikir islam yang kemudian dikenal
sebagai Hujjatul Islam yakni Imam Ghazali lahir di muka bumi tepatnya di kota
Thus pada tahun 1058 M.
Imam
Ghazali dalam masa tiga tahun dibawah pengawasan gurunya yakni Al-Juwayni di
Nisyapur, menurut Imam Ghazali sendiri, ia telah berhasil menguasai filsafat
secara lengkap “dengan bantuan Tuhan” hal ini terlihat saat Imam Ghazali
menulis sebuah karya filosofis pertamanya yakni Maqasid al-Falasifah (Tujuan
para filsuf), kemudian di susul dengan karya logika nya yakni Mi’yar al-ilm (Kriteria-Kriteria
ilmu) dan Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filsuf). Penulisan
karya logika tersebut, menunjukka bahwa Imam Ghazali tidak sembarang belajar,
dan memang memahami filsafat secara utuh.
karya ini menjadi trilogi filosofisnya
yang dianggap sangat penting bagi pengembangan teologi Asy’arisme dalam melawan
kaum Paripatetik, Neo-Platonisme dan Hellenisme terhadap pembuktian kerancuan
para filsuf pada bagian tertentu dan dasar pemikiran filosofisnya, sasaran
utamanya menurut Majid Fakhry adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Inilah sumbangsih
besar Al-Ghazali dalam pemikiran filosofis islam. Tahafut adalah Karya
yang dtulis atas sebuah fenomena dimana ada sekelompok pemikir islam liberal
yang banyak menangkalkan akal nya dan meninggalkan wahyu, karena wahyu sendiri
dianggap -oleh sekelompok kecil itu- tidak dapat mencapai intelektual mereka.
Hal
ini juga telah terjadi pada saat pendiri Teologi Sunni hidup, yakni Imam
Asy’ari yang berhadapan dengan kaum Mu’tazilah, Mu’tazilah pada awalnya adalah
teologi yang di kecam oleh para khalifah Bani Umayyah karena kepentingan
politik Umayyah yang mendukung Jabariyah. Teolog Qodariyah -yang kemudian nanti
menjadi cikal bakal Mu’tazilah- awal seperti Ma’bad Al-Juhaini, dan Ghailan
Ad-Dimasyqi telah di hukum mati. Al-Juhaini dihukum mati pada zaman khalifah
Abd Malik sedangkan Ghailan di eksekusi mati oleh Hisyam bin Abd Malik.
Pada
saat itu Mu’tazilah adalah -semacam- ideologi atau usaha teologi politik yang
dipaksakan oleh Al-Ma’mun kepada para teolog yang tak sejalan pada tahun
827-833 M. Al’Ma’mun saat itu sangat menyukai filsafat terutama
perdebatan-perdebatan mengenai teologi, buah karya nya antara lain Risalah
tentang Islam dan Syahadat Kesatuan (Tawhid), dan Bintang-Bintang Ramalan
(Lumaniries of Propchery) sedikit saja mengenai buku kedua, di katakan
bahwa dalam menjalankan segala sesuatu Al-Ma’mun selalu meminta pendapat para
astronom mengenai “kapan” seharusnya ide dan pemikirannya di jalankan.
Cerita ini dapat anda ketahui lebih dalam melalui buku terjemahan Prof. Mulyadhi Kartanegara yakni Sejarah Filsafat islam yang ditulis oleh Majid Fakhry dengan judul asli The History of Islamic Philosophy yang di terjemahkan pada tahun 1987. Karena dalam tulisan singkat ini, rasanya tidak perlu di jelaskan lagi terlalu panjang. Satu hal lagi yang menarik dari buku ini adalah, sebelum di terbitkan oleh Prof. Mulyadhi, ternyata buku ini terlebih dahulu diberikan kepada Cak Nur (Nurcholis Madjid) untuk di periksa, setelah mendapat respon yang baik, kemudian buku tersebut di terbitkan.
Ini adalah salah satu pandangan saya -sebagai seorang santri- mengenai pengaruh teologi Asy’arisme, Asy’arisme dalam lingkup teologi islam berarti pemahaman mengenai Tuhan dengan menggunakan kekuatan akal atau rasio filosofis yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Imam Asy’ari tetap meyakini bahwa akal sangatlah lemah jika di hadapkan dengan kebenaran qur’ani.
Beberapa
kitab panduan dalam memahami Tuhan, baik esensinya maupun eksistensinya yang
bercorak filsafat dapat kita lihat dalam salah satu karangan teolog islam yakni
Syekh Ibrohim Al-Bajuri dalam risalahnya yang kemudian di buat syarah oleh
Syekh Nawawi Al-Bantani, kitab itu Bernama Tijan Ad-Durori. Kemudian
kitab lainnya seperti kifayatul ‘Awam, Fathul Majid, Jawhar Tawhid, Hudhudhi
dan Ummul Barohin.
Dalam
kitab itu, pada awal muqaddimah nya pembaca sudah dikenalkan dengan logika,
yakni mengenai wajib, mustahil dan jaiz menurut akal. Logika tersebut lebih
dalam lagi di bahas pada pembahasan mengenai sifat wujud Tuhan (Allah) bahwa
adanya alam ini merupakan akibat dari sebab adanya Tuhan. Pembahasannya dibuat
ringan saja, karena dalam alam pikir teolog asy’arisme, pembahasan mengenai
Tuhan di bagi menjadi dua yakni, ijmali dan tafshili. Argumentasi
ijmali di tujukan pada sifat pembahasan yang sangat ringkas dan di hukumi
wajib a’in yakni seluruh umat muslim wajib untuk mengetahuinya,
sedangkan tafshili dihukumi wajib kifayah, karena minimal dalam
satu daerah ada satu orang yang memahaminya.
Dalam
mengenal Tuhan, tentunya argumentasi para teolog lebih mudah di terima di
bandingkan para filsuf, karena umat islam lebih dahulu menyadari bahwa
Al-Qur’an dan Hadits ialah sumber utama dan barangkali satu-satunya di
bandingkan logika rasional. Maka, seorang sejarawan dan profesor di Edinburgh
University yakni William Montgomery Watt dalam bukunya “Islamic Philosophy
and Theology” menyatakan bahwa Imam Asy’ari merupakan ulama fundamental
yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam sejarah teologi islam.
Selain
itu, santri NU sudah mendapat doktrin bahwa “hanya inilah pemahaman yang
benar”, hal ini menjadikan pemikiran santri tersebut menjadi terutup.
Sebetulnya baik saja dalam memberikan pemahaman Asy’arisme tersebut, yang menjadi
kekhawatiran saya adalah doktrin tersebut seringkali menutup pikiran para
santri. Sehingga, lulusan pesantren salaf seringkali mengalami sikap was-was dan
bercorak pikir hitam putih saat berhadapan dengan argumen-argumen filosofis.
Padahal,
dalam mengenal eksistensi Tuhan atau mempercayai bahwa Tuhan itu satu, kita dapat menggunakan pemikiran ilmuan islam
lainnya atau filsuf muslim seperti Al-Kindi dalam Dalilul Huduts, Ibnu
Sina dalam Dalilul Jawaz, dan bahkan Jalaludin Rumi seorang mistisisme
dalam teori Mawar nya.
Al-Kindi
mengatakan bahwa alam ini terdiri dari materi, gerak, dan waktu. Selanjutnya,
ia mengatakan bahwa alam semesta ini terbatas, karena alam semesta terbatas
maka sesuatu yang ada pada alam semesta pun juga terbatas, karena ia terbatas maka
ia akan musnah, karena ia musnah, sudah pasti ia memiliki awal, dan harus
berujung pada satu sebab yakni Tuhan. Jika Tuhan bukan sebab pertama, maka ada
sebuah fallacy dalam alam pikir kita, hal itu disebut dengan tasalsul.
Ibnu
Sina mengatakan bahwa alam ini merupakan potensi, dan harus ada yang
mengaktualkannya, di katakan potensi karena alam ini bersifat mumkin yakni
akal dapat membayangkan jika alam ini tidak ada, dan wujud aktual yang
mengaktualkan alam ini ialah Tuhan. Ibnu Sina menyatakan bahwa alam ini ada
karena ada yang mengadakan, seperti wanita hamil, perlu ada yang membuatnya
hamil, karena mustahil ia bisa hamil dengan sendirinya.
Argumen
romantis dari seorang sufi bernama Jalaludin Rumi yang mengatakan bahwa, jika
kita ingin mengenal Tuhan jangan berhenti pada simbol-simbol, dalam kalimat
sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut “bagaimana kita akan mengetahui
bahwa seorang Rektor ada di meja kerja jika kita hanya berhenti di depan pintu
nya yang bertuliskan nama Rektor tersebut ? maka masuklah, niscaya engkau dapat
melihat Rektor tersebut” hal ini, oleh Rumi sering di analogikan dengan mawar,
dalam kalimat yang romantis Rumi mengatakan “dapatkah engkau mengenal mawar
melalui tulisan M.A.W.A.R. pada secarik kertas ? tentu tidak, jika kita ingin
mengenal mawar maka pergilah ke taman bunga.
Bahkan
-jika boleh-, ada seorang filsuf yang dikenal dengan bapak filsafat modern dan
matematikawan dari tanah Perancis yang membuktikan keberadaan Tuhan dengan
terlebih dahulu menyatakan kelemahan dan keraguan dirinya pada panca indera,
baginya, jika manusia hanya mempercayai indera sebagai alat satu-satunya untuk
meraih pengetahuan, maka orang tersebut sampai akhir hayatnya tidak akan
percaya dengan Tuhan, ia adalah Rene Descartes, dengan prinsip matematisnya
mengenai segitiga yang dimulai dari satu titik menandakan bahwa ala mini pasti
memiliki awalan.
Jadi,
setelah sekian lama saya melakukan meditasi terhadap ilmu pengetahuan terkait
Tuhan (tawhid dalam Bahasa Arab dan Teologi dalam Bahasa Yunani),
terhadap pikiran dan hati saya, saya beranggapan bahwa nilai-nilai nya sama,
hanya saja pemilahan masalah dan penyusunan pikiran serta argumentasi nya saja
yang berbeda, sikap terbuka dalam pemikiran tersebut akan menghantarkan seorang
santri menjadi lebih plural dalam berpikir dan bertindak, sehingga santri tidak
hanya di nilai sebagai kaum sarungan ortodok yang terbelakang karena pikirannya
yang tertutup, namun menjadi pelopor atas pengembangan teologi skolastik
tersebut, tentunya dengan beragam pandangan serta paradigma berpikir lainnya.
Dengan
usaha berpikir plural semacam ini, saya yakin pemahaman mengenai teologi di
Indonesia menjadi harmonis, dan toleransi tidak hanya semacam spekulasi saja,
namun menjadi sebuah sikap kemanusiaan, tak ada lagi doktrin, atau ikhtiar
menghadapkan argumen terkuat untuk argumen terlemah, karena berbeda paham.
Sebagai
penutup, marilah kita mulai jujur dengan diri kita, bahwa doktrin merupakan
sebuah kemaksiatan intelektual yang akan melahirkan sikap apologetik, yakni
berani membela namun tak tau bagaimana caranya membela, serta tidak mematikan
nalar kritis santri yang sudah menjadi fitrahnya dengan memberikan doktrin
hitam putih pada pemikiran Asy’arisme.
Referensi
Al-Bantani, N. (2005). Tijan Ad-Durori. Surabaya:
Darul Ilmu.
Kartanegara, M. (1987). Sejarah
Filsafat Islam diterjemahkan dari A History of Islamic Philosophy.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Kartanegara, M. (2005). Menembus
Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Kartanegara, M. (2006). Gerbang
Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati.
Ma'ruf, A. F. (2020). Diskursus
dan Metode diterjemahkan dari Discourse on Method. Yogyakarta: IRCiSoD.
Watt, W. M. (1985). Islamic
Philosophy and Theology. George Square: Edinburgh University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar