Minggu, 15 Oktober 2023

Simposium Cinta: Dari Hellenis Sampai Islam

 

Pemikiran Cinta filosof-filosof Yunani

Seorang Yunani berkata kepada seorang muslim “apa yang kamu pikirkan tentang cinta ?” “saat kau berkata ‘cinta’, benakku melukiskan Tuhan” jawab seorang muslim. Skema pemikiran islam tentu saja dipengaruhi oleh skema pemikiran Yunani, pada abad 424 SM orang-orang Yunani telah mendiskusikan cinta, agaknya dari sekian banyak filsuf yang mengutarakan pemikirannya, Diotima merupakan filosof yang menaruh perhatian besar terhadap pembahasan cinta.

Diskusi mereka (orang Yunani) mengenai cinta kemudian ditulis dan dibukukan oleh Plato, judul bukunya adalah Simposium: Hakikat Eros, Cinta dan Manusia. Dalam diskusi tersebut, tentu saja tidak hanya Diotima yang menghadirnya, nama-nama lain seperti Apollodarus[1], Aristodemus[2], Eryximachus[3], Pausanias[4], Aristhopanes[5], Socrates[6], Agathon, dan Plato[7] itu sendiri. Seluruh orang yang hadir tersebut kemudian memberikan pandangannya mengenai tema diskusi dengan pandangan dunianya sendiri. Namun terlalu panjang untuk mendiskusikan pendapat secara keseluruhan tersebut, disini akan dipaparkan pendapat Eryximachus, Diotima, Socrates dan Plato.

Menurut Eryximachus, setiap makhluk memiliki naturalnya -dalam islam hal ini disebut dengan fitrah, dan kita akan menggunakan kata ‘fitrah’ dalam mendiskusikan pemikiran Eryximachus dalam ringkasan ini- masing-masing, dan konsep tertinggi mengenai fitrah setiap makhluk adalah cinta, dalam dunia kedokteran, cinta merupakan fitrah yang memberikan pengaruh terhadap segala tindakan manusia, namun cinta yang memberikan pengaruh tersebut, juga dipengaruhi oleh setiap pengetahuan manusia mengenai cinta, jika pengetahuan manusia mengenai cinta itu cenderung buruk, seperti persetubuhan, maka tindakan atas cinta yang ditampakkan dalam realitas akan demikian, jenis ini disebut sebagai Eros Vulgar dari Heaven Musly. Ringkasnya, cinta sebagai hal yang fitrah bagi manusia memiliki kekuatan yang lebih unggul dibanding hal fitrah lainnya.[8]

Menurut Diotima, cinta adalah setiap keinginan yang ditujukan untuk hal-hal baik. Cinta dalam pemikiran Diotima dibagi menjadi dua, pertama cinta yang menghantarkan seseorang pada hal-hal materi atau fisik, dalam hal cinta, cinta dalam pembagian pertama ini merupakan cinta yang paling rendah levelnya, karena memiliki objek fisik, objek fisik tersebut kemudian akan hancur oleh waktu, karena itu mencintai hal yang materi adalah bentuk cinta yang paling rendah. Kedua, cinta yang menghantarkan seseorang untuk mencintai eros, dewa cinta itu sendiri, dalam tahap ini seseorang telah benar-benar menggapai makrifat cinta, karena mencintai objek yang tidak fana atau abadi, jika objek yang dicintai adalah abadi, maka cintanya pun akan abadi.

Menurut Socrates, cinta adalah keinginan untuk meraih kebaikan. Dalam mengemukakan pendapatnya, jika diringkas, kira-kira proposisi yang dibangun seperti ini “pada mulanya, manusia memiliki sifat serakah, dimana manusia memiliki keinginan yang sangat banyak, namun dalam menggapai keinginan tersebut, terbesit harapan bahwa yang objek yang diinginkan adalah objek yang akan memberikan kebahagiaan atau kebaikan”.

Menurut Plato, cinta adalah perasaan yang mendorong seseorang pada hal yang bersifat spiritual, seseorang yang sedang dilanda jatuh cinta sudah sepatutnya mengapresiasi diri, karena pada hakikatnya orang yang sedang jatuh cinta adalah orang menuju pada tingkat kesucian. Lebih lanjut, Plato memberikan penjelasan mengenai situasi jatuh cinta dan jalancinta. Adapun situasi jatuh cinta menurut Plato terbagi menjadi dua, pertama subjek melihat kebaikan pada objek, kedua subjek menaruh harapan pada objek. Selanjutnya mengenai jalan cinta, Plato membaginya menjadi tiga bagian, pertama, cinta pada satu objek tertentu, kedua, cinta pada objek yang indah, dan ketiga, cinta pada kebajikan sosial.

Kepentingan dalam Meninjau Dinamika Peralihan Keilmuan: Yunani-Islam

Pendapat dari filosof Yunani kuno tersebut sengaja dikemukakan untuk melihat dinamika peralihan keilmuan dari Yunani menuju islam melalui proses-proses penerjemahan. Pada dasarnya pemikiran intelektual islam tidak terlepas dari dinamika intelektual Yunani kuno dengan Aristoteteles sebagai guru pertamanya. Aristoteles merupakan murid langsung dari Plato, usahanya dalam menjalankan aktivitas filsafat dibuktikan dengan dibangunnya sekolah filsafat bernama Lykeion. Ide pembangunan sekolah tersebut berasal dari gurunya Plato yang mendirikan sekolah bernama Academia.

Pemikir Yunani yang sangat mempengaruhi islam adalah Aristoteteles, berikut akan diuraikan usaha penerjemahan orang-orang Arab dibawah perintah Khalifah Al Ma’mun pada Daulah Abbasiyah, berikut nama-nama dan karya yang diterjemahkan beserta fase-fasenya:

Fase Penerjemahan, dan Percobaan Pengembangan Karya

A.    Bidang Ilmu yang Diterjemahkan

1.    Filsafat

2.    Teologi (dalam intelektual kristen, bukan ilmu kalam atau tauhid)

3.    Logika

4.    Astrologi

5.    Matematika

6.    Astronomi

7.    Kedokteran

8.    Politik

9.    Kimia

10.  Metafora ( semacam cerita/dongeng yang mengandung hikmah atau sindirian )

11.  Meteorologi

12.  Heresiografi

13.  Fisika

14.  Metafisika

15.  Etika

16.  Musik

17.  Hukum

B.    Nama-nama Penerjemah Naskah Klasik

1.    Yahya Al Barmaki

2.    Jibril ibn Bakhtishu

3.    Georgius ibn Jabra’il

4.    ‘Isa ibn Syahlatsa

5.    Harun

6.    Masarjawyh (Masurjuis)

7.    Abdullah ibn Al Muqaffa ( W. 757 M )

8.    Yuhana (Yahya) ibn Masawayh ( W. 806 M )

9.    Ibrahim ( W. 777 M)

10.  Muhammad ibn Ibrahim Al Fazari ( W. 806 M )

11.  Yahya ibn Al Bithriq

12.  Al Hajjaj ib Mathar

13.  Hunain Ibn Ishaq ( 809-873 M )

14.  Ishaq ibn Hunain   ( W. 911 M )

15.  Huabisy

16.  Isa ibn Yahya

17.  Ibn Na’imah Al Himshi ( W. 835 M )

18.  Abu Bisyr Matta ( W. 940 M )

19.  Yahya ibn ‘Adi ( W. 974 M )

20.  Abu ‘Utsman Al Dimasyqi ( W. 900 M )

21.  Abu ‘Ali ibn Zur’a (1008 M )

22.  Al Hasan ibn Suwar

23.  Ibn Al Khammar

24.  Tsabit ibn Qurra

25.  Qustha ibn Luqa

26.  Al-Naubakti

C.   Pengurus Baitul Hikmah di Masa Al Ma’mun

1.    Yahya ibn Masawayh

2.    Al Hajjaj ibn Mathar

3.    Yahya ibn Al Bithriq

4.    Salm

D.   Nama dan Karya Terjemahannya

1.    Abdullah ibn Al Muqaffa

a.    Kalilah Wa Dimnah

b.    Khudai Nameh ( Sejarah Raja-raja Persia )

c.     Ayin Nameh ( Buku tentang Mazda, biografi Anushirwan )

d.    Categories karya Aristoteles

e.    Heurmeneutica karya Aristoteles

f.      Analytica Posteriora karya Aristoteles

2.    Yahya ibn Al Bithriq

a.    De Anima karya Aristoteles

b.    Analytica Prioria karya Aristoteles

c.     Politics karya Aristoteles

d.    Almagest karya Ptolemius ( Kedokteran )

e.    Elements karya Euclid ( Astrologi )

f.      Quadripartius, sebuah karya komentar atas karya Ptolemius, di tulis oleh ‘Umar Farukhan

3.    Hunain ibn Ishaq ( Penerjemahan, Parafrase karya Platon dan Percobaan Pengembangan )

a.    Silogisme Hipotetik,

b.    Etika,

c.     Sofisme,

d.    Parmeinides,

e.    Eraytlus,

f.      Euythdemus,

g.    Timeus,

h.    Negarawan,

i.      Republik,

j.      Hukum

k.     Physiognomoy ( Ilmu Firasat )

l.      Risalah penggerak yang tak Bergerak

m.   Pengantar Logika

n.    Tata Bahasa Yunani

o.    Risalah Tentang Pasang Surut Air Laut

p.    Risalah Tentang Warna

q.    Risalah Tentang Pelangi

r.     Kebenaran Kepercayaan Keagamaan

s.     Kumpulan Tulisan Para Filosof

4.    Ishaq ibn Hunain

a.    Categories

b.    Heurmeneutics

c.     De Generatione et Corruptine

d.    Fisika

e.    Etika

f.      Sofisme

g.    Bagian-magian metafisika

h.    Timaeus

i.      De Plantis

5.    Abu Bisyr Matta ( Penerjemahan dan Penjelasan karya Logika Aristoteles)

a.    Categories

b.    De Caelo

c.     Heurmeneutica

d.    Analytica Prioria

e.    Analytica Posteriora

f.      Introduction Anayltica

g.    Risalah Silogisme Bersyarat

h.    Isagoge karya Porprhy

6.    Yahya ibn ‘Adi ( Karya Platon )

a.    Sophistica

b.    Politica

c.     Topica

d.    Metafisika

e.    Hukum

Tujuh diatas adalah Kristen Nestorian, kecuali Abdullah ibn Muqaffa, ia adalah seorang muslim, dimana sebelumnya adalah seorang zoroastrianisme. Orang Kristen Nestorian lain adalah Muhammad ibn Ibrahim Al fazari, Ibrahim, dan Yahya ibn Masawyh

7.    Tsabit ibn Qurra

a.    Fisika, karya Aristoteles

b.    Tabiat Bintang-bintang dan Pengaruhnya

c.     Dasar-dasar Etika

d.    Menyempurnakan dua karya filosof Yunani, yakni Almagest karya Ptolemius dan Element karya Euclidas

8.    Abu ‘Utsman Al Dimasyqi

a.    Topica

b.    Etica Nichomachea

c.     Fisika IV

d.    De Generatione et Corruptione

e.    Element

f.      Isagoge

9.    Isa Ibn Zur’ah

a.    De Generatione et Corruptione

b.    Metafisika L

c.     Sophistica

Ibn Al Khammar

a.    Meteorologica Aristotetels

b.    Isagoge

c.     Categories

d.    Heurmeneutica

e.    Analytica Prioria

f.      Risalah tentang Materi

g.    Philosophical Life

10.  Ibn Na’imah Al Himshi

a.    Fisika IV-VII Aristoteles

b.    Teologia Aristoteles.

Fase Perkembangan dan Pengembangan

A.    Ketegangan Politik dan Kegamaan dalam Islam

B.    Skolastikisme Islam

C.   Aristotelianisme dan Neoplatonisme dalam Islam

D.   Neo-Pythagoreanisme

E.    Filsafat dan Dogma

F.    Mistisisme Islam

G.   Kebangkitan Aristotelianisme dalam Islam

H.   Iluminasionisme, Transendetalisme dan Reaksinya terhadap Paripatetetik

I.      Modernisme Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal

J.     Neo-Sadrian

Fase Peralihan Intelektual dari Islam ke Barat dan Perkembangannya

A.    Kritik Al Ghazali

B.    Pasca Ibn Rusyd

C.   Abad Pertengahan: Patristikisme dan Skolastikisme

D.   Skeptisisme

E.    Renaissance

F.    Pasca Renaissance

G.   Pragmatisme William James

H.   Sains, Teknologi, dan Metaverse

Banyak filosof barat yang tidak menyebutkan secara langsung karya pemikir muslim yang diterjemahkan, sehingga harus ada pembacaan kritis terhadap karya-karya mereka untuk mengidentifikasi pengaruh pemikirannya, untuk contoh, karya Rene Descartes yang berjudul Meditations on First Philosophy yang sangat mirip dengan karya Al Ghazali yang berjudul Al Munqidz Min Al Dhalal. Contoh lain, kesamaan gaya kritik David Hume dengan Ibn Taymiah terhadap rasionalisme.

Corak Pemikiran Islam: Pengantar Pemikiran, Objek Keilmuan dan Tokoh

Pemikiran islam dibagi menjadi empat bagian, yakni pemikiran tekstualis, teologis, filsafat, dan Irfan. Pemikiran tersebut memiliki corak pikir yang beragam, maka dari itu untuk memperjelas pembahasan ini, marilah kita mulai bahasan ini dengan tekstualis. Pemikiran tekstualis merupakan cara berpikir yang hanya bertolak pada ayat-ayat AL Qur’an dan Hadist, keilmuan yang digeluti di dalamnya termasuk, ‘ulum Al-Qur’an, tafsir Al Qur’an, ‘ulum Al hadits. Dalam sejarah pemikiran islam, corak pemikiran semacam ini berawal dari salah seorang ulama dari keempat madzhab mujtahid mutlak, yakni Imam Ahmad ibn Hanbal. Perkembangannya, corak pemikiran ini terbagi menjadi dua, pertama yang masih bergerak dan setia dengan dunia, dan disebut dengan tekstualis klasik tokohnya adalah Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim Al Jauzi dan lain sebagainya, sedangkan bagian kedua disebut dengan tekstualis modern, yang memiliki ciri khas pergerakan, seperti Salafi wahabi, tokohnya adalah Muhammad ibn Abdul Wahab, Muhammad Abduh dan lain sebagainya.

Pemikiran islam yang kedua adalah adalah teologis, corak pikir ini memiliki khas tersendiri, yakni menggunakan dalil dalil rasional. Sebetulnya, dokumen utama pemikiran ini sama dengan pemikiran tekstualis, yaitu Al Qur’an dan Hadits, namun untuk pengolahannya sangat dekat dan akrab menggunakan prinsip-prinsip rasional. Keilmuan yang digeluti adalah tema-tema besar ketuhanan, seperti pembahasan mengenai wahyu, kausalitas, dan lain-lain. Corak pemikirannya tetap sama hingga saat ini, dalam islam, kelompok orang yang berpikir teologis terbagi menjadi beberapa bagian, seperti, Khawarij, Syiah, Qadariyah, Mu’tazilah, Jabariyah, Murjiah, Shifatiyah Atau Asy’ariyah, dan Maturidiyah, dari sekian kelompok tersebut, menurut Harun Nasution, yang masih bertahan hingga kini hanya Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Tokoh pemikirnya sangat banyak, dapat kita sebutkan Namanya seperti Ghailan Al DImasyqi, Ma’bad Al Juhani, Jahm Ibn Shafwan, Washil ibn Atha, Abu Hasan Al Asy’ari, Abu Mansur Al Maturidi.

Pemikiran islam yang ketiga adalah filsafat, atau dalam kosa kata islam -yang berbahasa Arab- dikenal dengan Falsafah, memiliki corak pemikiran yang kuat terhadap akal. Keilmuan yang digeluti seputar ‘ada’, ringkasnya falsafah adalah bidang keilmuan yang membahas ‘ada’ sebagaimana ‘ada’. Perkembangannya dalam sejarah terbagi menjadi tiga kelompok atau dalam kosa kata khas falsafah islam disebut dengan madrasah, pertama disebut dengan madrasah hikmah masya’iyah, kedua madrasah hikmah isyraqiyah, dan ketiga madrasah hikmah muta’aliyah. Tokoh pemikirnya sangat banyak, dapat kita sebutkanya namanya seperti Abu Yusuf Ya’kub Al Kindi, Abu Husain Ali Ibn Sina, Suhrawardi, Mir Damad, Sharudin Al Syirazi atau dikenal dengan Mulla Sadra.

Pemikiran islam yang keempat adalah Irfan, atau tasawuf falsafi, -kata Irfan sebetulnya sangat khas Persia, karena dalam perkembangan sejarah pemikiran tasawuf, orang-orang dari Persia memperkenalkan gaya tasawuf yang menggunakan skema berpikir filsafat. Corak pemikirannya sangat khas yaitu dengan menggunakan intuisi. Keilmuan yang digeluti seputar akhlak, dan ketuhanan, sebetulnya kajian tasawuf falsafi bertujuan mendidik bagaimana seseorang ‘berislam’. Tokoh pemikirnya sangat banyak, dapat kita sebutkan seperti Muhyiddin Ibn Al ‘Arabi, Maulana Jalaludin Rumi, Muhammad Al Ghazali, Ibn Qayim Al Jauzi.

Kosa Kata Cinta Dalam Logika Islam dan Usaha Mendefinisikannya

Dalam melakukan definisi, logika islam memiliki kaidah dan peraturan yang harus diikuti, agar setiap konsep mendapatkan definisi yang jelas, dalam mendefinisikan sesuatu, dibutuhkan materi-materi untuk memperjelas konsep yang ingin di definisikan, materi-materi ini disebut dengan Kulliyah Al Khamsah. Dalam Kulliyah Al Khamsah terdapat pembagian-pembagian sebagai materi definisi, pembagian tersebut adalah dzat (hakikat) dan ‘arad (sifat), dzat ini kemudian dibagi menjadi tiga, pertama disebut jins, nau’, dan fashl, sedangkan ‘arad dibagi menjadi dua, yakni khas, dan ‘am.

Namun, sebelum menguraikan definisi mengenai cinta, penting untuk terlebih dahulu mengetahui jenis kata dari kata ‘cinta’ itu sendiri. secara ringkas, jenis kata dalam logika islam terbagi menjadi lima, pertama mukhtash, kedua, musytarak lafzhi, ketiga, manqul, keempat, murtajal, dan kelima hakiki dan majazi. Menurut penulis, cinta merupakan jenis kata yang tergolong Musytarak Lafzhi sekaligus hakiki dan majazi. Maksudnya, cinta merupakan jenis kata yang memiliki banyak makna, sekaligus kata yang memiliki makna hakikat yakni cinta sebagaimana cinta dan makna majazi yakni makna yang membutuhkan konteks.

Tulisan ini akan mencari makna hakiki dari cinta itu sendiri, menurut penulis cinta merupakan kepercayaan yang melahirkan tata nilai. Dalam definisi tersebut, konsep kepercayaan merupakan jins dari cinta, dan cinta itu sendiri merupakan nau’, sedangkan tata nilai adalah fashl dari cinta. Definisi ini tidaklah mutlak, penulis tentunya terbuka hati dalam menerima kritik dan saran dalam usaha mendefinisikan cinta itu sendiri.

Subjek dan Objek Cinta

Subjek dalam cinta itu adalah makhluk, artinya setiap makhluk memiliki potensi untuk mencintai, makhluk ini kemudian dibagi menjadi dua yakni makhluk yang disebut sebagai manusia dan makhluk non manusia, sedangkan objek cinta hanyalah satu, yaitu Allah S.W.T., pembahasan ini akan menemukan kejelasannya dalam pembahasan asas cinta dalam islam.

Asas Cinta dalam Islam

Asas cinta dalam islam adalah Q.S. Al Baqarah ayat 143, tentu dalam hal cinta, pemaknaan dalam ayat tersebut tidak dibaca secara teks, melainkan konteks. Konteks dalam ayat tersebut adalah penghapusan terhadap dikotomi. Dalam objek cinta yang telah dituliskan diatas, kita mengetahui bahwa objek cinta hanya Allah, lalu apakah salah ketika seseorang mencintai selain Allah seperti laki-laki mencintai wanita atau sebaliknya, nah disinilah dikotomi tersebut harus dihilangkan atau dihapus.

Alam semesta dalam pemikiran islam disebut sebagai makrokosmos, penggunaan bahasa makro tersebut mengandaikan adanya mikro, dan yang disebut sebagai mikrokosmos ini adalah manusia. Dalam literatur tasawuf falsafi, manusia adalah cermin Tuhan, pemikiran mengenai cermin Tuhan bertolak pada pemikiran Ibn ‘Arabi mengenai konsep Wahdatul Wujud, yakni wujud itu hanya satu yakni wujud Allah, selain itu hanya merupakan derivasi, atau pancaran dari wujud Allah tersebut. Selanjutnya karena manusia ini sebagai cermin Tuhan, manusia juga disebut sebagai mikrokosmos atau alam kecil, karena pada diri manusia tersimpan berbagai daya yang terdapat di alam semesta, yakni daya mineral, tumbuhan dan binatang.

Pertanyaan apakah kita tidak boleh mencintai yang lain selain Allah tentunya akan sangat keliru, karena sebetulnya yang ‘ada’ hanyalah Allah S.W.T saja, yang lain hanyalah pancaran, namun karena manusia merupakan makhluk yang lalai, seringkali manusia terlalu mencintai objek lain, karena itu, islam memberikan solusi sebagai pengingat manusia agar tetap dalam jalan mencintai Allah, solusi itu adalah mujahadah al nafs.

Pembahasan seputar ini terlalu panjang dan akan menghabiskan banyak waktu, maka untuk mempersingkat penjelasan ini, penulis akan mengutip skema pembahasan lafadz alhamdu lillahi robbil ‘alamin, yang jika diartikan secara literal adalah “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”, dalam literatur islam klasik, makna puji tersebut terbagi menjadi empat, pertama puji Allah kepada Allah, kedua puji Allah kepada makhluk, ketiga puji makhluk kepada Allah dan keempat puji makhluk kepada makhluk.

Dalam penjelasan tersebut, kita menemukan bahwa ada beberapa bentuk pujian, dan keseluruhan pujian ini hanya berorientasi kepada Allah. Jawaban terkait pertanyaan ‘apakah boleh mencintai selain Allah, mengandaikan seseorang mencintai makhluk’ dan jawaban ini menurut penulis adalah jawaban yang paling akurat.

Jenis Pencinta dalam Islam

Dalam melakukan pembagian terhadap jenis pencinta, penulis menggunakan pembagian terperinci guna mempermudah dan memperjelas pembagian tersebut. Kaidah pembagian ini mengikuti kaidah pembagian logika islam yakni Qismah Tafshiliyah.

Adapun jenis-jenis pecinta dalam pemikiran islam adalah sebagai berikut:

1.    ‘Awam, seorang pecinta pada jenis ini memiliki orientasi selain Allah, objek yang dicintainya adalah materi murni, seperti pasangan, harta dan dirinya sendiri. Dalam islam, jenis pecinta seperti ini adalah orang yang celaka, menurut Imam Al Ghazali, mencintai diri sendiri merupakan penyakit dan dosa bathin.

2.    Khawash, seorang pecinta pada jenis ini memiliki orientasi kepada Allah, namun belum sepenuhnya lepas dari materi, seperti orang yang bersedekah namun masih berharap kelipatan rezekinya.

3.    Khawash Al Khawas, seorang pecinta pada jenis ini memiliki orientasi kepada Allah semata, dan sudah sepenuhnya lepas dari keinginan duniawi, orang-orang yang termasuk ke dalam jenis ini merupakan para sufi atau wali Allah. Allah telah benar-benar menjadi tujuannya, tidak hanya di dalam ide, melainkan di dalam tindakan.

Tujuan Cinta

Zainudin sangat mencintai hayati, dalam proses mencintainya, zainudin seringkali menulis surat untuk Hayati, setiap surat yang ditulis oleh Zainudin selalu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi zainudin, demikianlah pecinta, ia akan Bahagia menjalankan sesuatu yang disukai oleh objek yang dicintainya.

Seorang Arab dari suku Bani Amir bernama Qays sangat mencintai Layla, suatu hari Qays dilanda sakit yang sangat parah dan diharuskan menjalani operasi oleh dokter, namun Qays menolak, “jika engkau melakukan operasi kepadaku dengan mencoba untuk membedahku, maka aku akan menolaknya, karena pada saat engkau akan membedahku, layla juga akan merasakan sakit, demikian seorang pecinta akan menolak melakukan sesuatu yang tidak disukai pasangannya.

Dalam dua kutipan cerita diatas, dapat disimpulkan bahwa, seorang pecinta akan melaksanakan apa yang diinginkan oleh objek yang dicintainya, dan akan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh objek yang dicintainya, pada akhirnya pecinta akan sirna dihadapan objek yang dicintainya, ringkasnya, ketika seseorang benar-benar jatuh cinta, maka sirnalah dirinya, yang ada hanyalah objek yang dicintai.

Manusia pada umumnya melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan satu hal, yakni kebahagiaan. Manusia memiliki beragam cita-cita, beragam ikhtiar namun tetap tertuju pada satu hal tersebut. Kebahagiaan adalah bentuk finishing touching dari aktivitas pencinta, karena itu tujuan dari cinta adalah kebahagiaan.

Dalam pemikiran islam, dengan mengutip Nurcholis Madjid, mencintai dan menjalani hidup adalah keselarasan, yaitu menggapai kebahagiaan. Sebetulnya Nurcholis sendiri tidak secara langsung menyatakan kebahagiaan, namun Nurcholis menggunakan kata “menggapai ridha Allah”, nah, dalam pemikiran etika islam, kebahagiaan tertinggi adalah menggapai ridha Allah S.W.T., jadi jelas bahwa mencintai dan menjalani kehidupan adalah keselarasan.

Kesimpulannya, ketika seseorang benar-benar telah mencintai, maka ia akan menjalankan segala hal yang telah disukai dan menjauhi segala hal yang tidak disukai oleh objek yang dicintainya, aktivitas ini melahirkan kebahagiaan bagi pecinta, dan pada akhirnya seorang pecinta akan hilang, sirna oleh objek yang dicintai. Dalam islam, puncak kecintaan kepada Allah tertinggi juga demikian, namun dalam sejarah, para sufi seperti Abu Mansur Al Hallaj, dan Syekh Siti Jenar belum mampu menguraikan puncak kecintaan tertinggi tersebut secara filosofis, sehingga mereka kemudian dibunuh.

Daftar Pustaka

(Ed), Nurcholis Madjid. 2019. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Bagir, Haidar. 2022. Alkimia Cinta: Mendaras Makrifat Melalui Syair dan Syarahnya. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Bertens, K. 2011. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: KANISIUS.

Fadli, Abdul Hadi. 2015. Khulashah Al Manthiq . Jakarta: Sadra Press.

Fakhry, Majid. 1987. A History of Islamic Philosophy. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad Al. 2017. Bidayah Al Hidayah. Bandung: Penerbit Mizan.

Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Nizami. 2002. Layla Majnun. Yogyakarta: NAVILA.

Plato. 2017. The Dialogues of Plato. Yogyakarta: BASABASI.

Rumi, Maulana Jalaluddin. 2019. Masnavi i Ma'navi. Jakarta: Zaman.

Yazdi, Muhammad Taqi Misbah. 2021. Amuzesy e-Falsafeh (Jilid I). Jakarta: Sadra Press.

 

 



[1] Apollodarus adalah ahli bahasa Yunani dan merupakan murid kesayangan dari Diogenes

[2] Aristodemus adalah prajurit Spartan

[3] Eryximachus adalah dokter Asclepaid Athena, merupakan anggota ikatan dokter Asclepius.

[4] Pausanias adalah Raja Sparta pada tahun 445 – 426 SM

[5] Aristhopanes adalah seorang penulis, tulisan-tulisan dari Aristhopanes biasanya merupakan drama komedi dengan pendekatan multidisipliner, yakni drama yang mengandung unsur politik, sosial, ekonomi dan lain-lain.

[6] Socrates merupakan seorang filosof sekaligus guru dari Plato.

[7] Plato merupakan filosof sekaligus murid kesayangan dari Socrates.

[8] Hal fitrah lain yang dimaksud oleh Eryximachus adalah lawan atau konsep-konsep dibawah cinta, seperti membenci, marah, sedih dan lain-lain yang merupakan ekspresi diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...