Minggu, 22 Oktober 2023

Kontekstualisasi Spirit Islam Ideologis dalam Fatwa Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 Untuk Umat Islam Indonesia Masa Depan

 



“Penulisan Kembali sejarah Indonesia secara jujur harus memuat penuturan dengan penuh penghargaan kepada kaum santri di bawah pimpinan para kiyai itu.” (Madjid, 2008)

Demikian pernyataan Nurcholis Madjid dalam muqaddimah bukunya ‘Islam Doktrin dan Peradaban’. Hal demikian dikatakan oleh Nurcholis berkaitan dengan peran para kiyai dan para santri dalam melawan penjajah dengan membawa spirit Islam.

Tulisan ini dibuat untuk mengenang dan menangkap spirit sebuah sejarah gerakan Islam ideologis yang dilakukan oleh organisasi Islam yang -banyak dikatakan sangat- besar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Spirit tersebut kemudian akan dibaca dan di jadikan sebagai wacana konseptual untuk umat Islam di masa depan.

Sebelum beranjak ke pembahasan lebih lanjut, Sekedar informasi saja, dikatakan oleh Aguk Irawan dalam novel biografi KH. Hasyim Asy’ari yang berjudul “Penakluk Badai”, bahwa Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Kemudian, agaknya perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Islam ideologis. Pengertian Islam Ideologis menurut Amin Abdullah, seorang guru besar filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta- mengatakan dalam studi Islam Kontemporer, adalah M. Abu-Rabi, seorang intelektual muslim asal Palestina, mengatakan bahwa mengkaji Islam pada era modern dapat dilakuakan dengan empat perspektif, salah satunya adalah perspektif ideologis. Menurutnya, Islam dapat digunakan sebagai gerakan yang dapat mengajak ke arah kemajuan, tetapi dapat juga digunakan sebagai alat penunjang status quo sebuah rezim. Artinya, Islam atau Muslim sebagai komunitas pemeluk agama telah dimaknai lebih dari satu definisi saja. (Abdullah, 2021)

Atas pengertian tersebut, tentu saja kita bisa memberikan asumsi -jika terlalu jauh dikatakan sebagai kesimpulan atau penilaian- bahwa Nahdlatul Ulama, selain merupakan sebuah organisasi intelektual Islam di Indonesia, sekaligus juga merupakan organisasi yang memaknai Islam sebagai sebuah Ideologis, dengan bukti bahwa atas dikeluarkannya fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, adalah Bung Tomo, yang kemudian melanjutkan spirit tersebut dengan menyampaikan sebuah orasi perjuangan. (MN, 2020)

Berdasarkan uraian tersebut, agaknya sekarang kita telah mengetahui bahwa ada sebuah spirit Islam yang dibawakan oleh Nahdlatul Ulama melalui fatwa jihadnya. Sekarang, kita akan meresapi spirit tersebut untuk konteks Umat Islam Indonesia pada hari ini. Namun sebelum itu, agaknya tetap diperlukan sebuah gambaran ringkas mengenai hubungan antara fatwa jihad dengan orasi Bung Tomo yang kemudian membangkitkan semangat para arek-arek suroboyo. Marilah kita mulai dengan menulis ulang resolusi tersebut dengan mengacu kepada teks asli yang dilampirkan oleh Aguk Irawan dalam novel biografi KH. Hasyim Asy’ari. (MN, 2020)

Resolusi N.U Tentang

Djihadfi Sabilillah

BISMILLAHIRRACHMANIR ROCHIM

Resolusi:

Rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2) perhimpunan NAHDLATOEL OELAMA seluruh djawa-madura pada tanggal 21-22 oktober 1945 di SURABAJA

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Djawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan alim oelama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan agama, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang:

a.       bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap 2 orang islam.

b.      bahwa di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagaian besar terdiri dari umat islam

Mengingat:

a.       bahwa oleh pihak belanda (NICA) dan djepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketenteraman umum.

b.      bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan negara republik indonesia dan agama, dan ingin kembali mendjdjah di sini maka di beberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak diwa manusia.

c.       bahwa pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat islam jang merasa wadjid menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara da agamanya.

d.      bahwa di dalam menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan tuntunan jang njata dari pemerintah republik indonesia jang sesuai dengan kedjadian-kedjadian tersebut.

Memutuskan

1.      memohon dengan sangat kepada pemerintah republik indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan kemerdekaan dan agama dan negara indonesia, terutama terhadap pihak belanda dan kaki-tangannya.

2.      suapaja memerintah melandjutkan perdjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya negara republik indonesia merdeka dan agama islam

Surabaja, 22-10-1945

H.B. NAHDLATOEL OELAMA

 

Diceritakan oleh Aguk bahwa setelah resolusi itu dikeluarkan kemudian menyebar, lalu pada tanggal 27 oktober terjadilah perang pertama antara pribumi dengan Inggris. Mula-mula peperangan itu hanya perang kecil saja, tapi lama-kelamaan perang itu menjadi besar, akan tetapi segera di redakan dengan ditandanganinya surat gencatan senjata oleh Presiden Soekarno dan Jenderal D.C. Hawthorn pada 29 Oktober 1945. (MN, 2020)

Walau demikian, perang terus saja terjadi, dan mencapai puncaknya pada kematian seorang jenderal Inggris bernama Mallaby (cari tahu siapa). Hal tersebut membuat Inggris marah, kemudian memerintahkan mayor jenderal eric carden robert mansergh untuk mengeluarkan ultimatum yang berisikan perintah bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Batas ultimatum tersebut adalah pada tanggal 10 november 1945. Akan tetapi, ultimatum tersebut ditolak oleh para pejuang Indonesia. (MN, 2020)

Penolakan tersebut langsung dibayar dengan harga mahal oleh masyarakat Indonesia setelah pada pagi hari yang masih sejuk, tentara Inggris menyerang Indonesia menggunakan bom yang dilontarkan dari udara dan penggerakan 30.000 infanteri. Aguk mengklaim bahwa dengan demikian, Inggris beranggapan bahwa pribumi akan kalah telak karena ketidaksiapan dalam posisi bertempur. (MN, 2020)

Hal itu terbantahkan dengan adanya orasi yang sangat menggetarkan jiwa yang disampaikan oleh Bung Tomo setelah sampai kepadanya isi dari resolusi jihad dari nahdlatul ulama sebagaimana aku tuliskan diatas. Kemudian Bung Tomo memulai orasinya: (MN, 2020)

Bismillahirrahmanirrahim

MERDEKA ! ! !

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota surabaya, kita semuanya telah mengetahui bahwa, hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.

Kita diwajibkan, untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya -pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini- di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing, beserta pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol dan telah menunjukkan satu kekuatan, sehingga pihah lawan terjepit dimana-mana.

Hanya karena taktik yang licik dari mereka itu, Saudara-saudara, dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk memberhentikan pertempuran, tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri, Dan setelah kuat, sekarang inilah kepadanya.

Saudara-saudara ! Kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, maka dengarkanlah ini tentara Inggris ! Ini jawaban kita, ini jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris ! kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu

Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita.

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita menyerah kepada siapa pun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya, bersiaplah ! keadaan genting ! Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati !.

Dan kita yakin, saudara-sudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.

Percayalah, saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian ...

Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!

MERDEKA!!!

Mengenai bagaimana perang dan berapa korban yang ada di kedua belah pihak tentu diluar tujuan penulisan ini. Yang perlu diketahui adalah, bahwa spirit Islam yang dibawa oleh Bung Tomo melalui kalimat takbir tersebut merupakan kelanjutan dari spirit para ulama Nahdlatul Ulama yang mengeluarkan fatwa Jihad. (MN, 2020)

Adapun bila anda bertanya apa landasan perang melawan penjajah itu bernilai jihad fi sabilillah, tentu aku tak mampu menjawabnya, sebab Aguk sendiri tidak menginformasikannya. Aguk hanya mengatakan bahwa fatwa tersebut dikeluarkan setelah para kiyai dari kalangan Nahdlatul Ulama berkumpul, kesimpulan dari perkumpulan tersebut, Kiyai Hasyim mengatakan “statusnya sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankannya. (MN, 2020)

Sekarang, marilah kita lanjutkan tulisan ini dengan meresapi kejadian-kejadian yang sudah diuraikan diatas. Paling tidak, menurutku ada dua spirit yang mestinya dapat kita resapi, pertama spirit konteks dan spirit kontekstual. Adapun yang pertama, apabila kita melihat konteksnya pada saat itu, tentu saja berperang secara langsung dengan jiwa yang membara dan gagah berani merupakan pilihan yang tepat, namun, apakah ini masih bisa dimaknai sebagaimana demikian ? jawabannya tentu saja tidak.

Akan tetapi, jiwa membara dalam melawan kedzoliman tetap harus dimiliki, dihayati, juga diteruskan untuk spirit kontektualnya. Karena itu, untuk memahami sprit kedua, yakni spirit kontekstual, kita terlebih dahulu harus mengetahui kondisi Islam di Indonesia hari ini, dilihat dari spirit Islam sebagai ideologi yang menggerakkan.

Sebelumnya, aku hendak berkata “berilah aku wajan yang sangat jernih nan besar, sebesar istana raja Najasyi, niscaya akan ku penuhi wajan itu dengan air mataku”. Aku, tentu saja tidak dapat menilai secara keseluruhan atas apa yang terjadi pada Islam di Indonesia hari ini. Namun aku melihat, bagaimana adanya sebuah lorong pemisah antara kiyai, santri dan masyarakat di Indonesia.

Aku adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam di SMK Kebangsaan, salah satu sekolah kejuruan yang ada di Pondok Aren, Tangerang Selatan. Sebagai seorang guru, tentu saja aku harus memahami karakter murid-muridku, dan aku melihat ketidakutuhan Islam yang ada pada mereka, ketidakutuhan itu tergambar tentu saja tidak kepada seluruh murid walaupun jika dipersentasekan, jumlahnya dapat mencapai 85-95 % murid yang jauh keindahan dan keelokan Islam.

Spirit yang harus ditangkap dalam konteks ini adalah bagaimana seorang muslim memahami bahwa Islam tidak hanya sebuah agama teosentris, melainkan juga sebuah agama antroposentris -yang juga sekaligus- kosmosentris. Artinya, menjadi muslim tidak hanya melakukan ibadah semata yang dipahami sebagai ibadah individual, personal, yang kemudian melahirkan kesalehan individual, personal. Gambaran ketidakutuhan tersebut mungkin saja terjadi akibat ketidaktahuan terhadap sejarah, atau mungkin saja terjadi akibat kehampaan sejarah yang di ajarkan. Sebab selama ini, sejarah seringkali di ajarkan hanya untuk diketahui sebagai aktivitas intelektual, bukan sebagai aktivitas mental. Karena bagiku, sejarah harus juga dipahami sebagai aktivitas mental yang melatih emosi, oleh sebab itu, fatwa jihad dan keterhubungannya dengan peperangan Surabaya melalui orasi Bung Tomo, haruslah juga dapat dirasakan secara emotif.

Pembelajaran emosi melalui pelajaran sejarah fatwa jihad tersebut agaknya menarik apabila diterapkan di SMK Kebangsaan. Aku mengatakannya menarik sebab aku memiliki visi menerapkan Islam Egalitarianis di SMK Kebangsaan. Untuk alasan penerapan Islam Egalitarianis mungkin anda dapat membaca artikel yang telah ku tulis sebelum ini yang berjudul “Jabatan Elit, Akhlak Sulit: Prospek Integrasi Islam Egalitarianis di SMK Kebangsaan”.

Masalah yang terjadi di SMK Kebangsaan adalah kemerosotan moral, disana, mungkin saja anda akan menyangka bahwa yang menjadi objek kemerosotan moral adalah para murid. Hal ini tentu saja aku dapat menilainya dengan salah mutlak, sebab kenyataannya, bahkan kepala sekolah sekalipun mengalami kemerosotan tersebut.

Kini kita telah mengetahui konteks Islam di Indonesia yang aku maksudkan. Sekarang kita akan meresapi sejarah tersebut melalui spirit kedua, yakni spirit kontektual. Aku akan memulainya dengan sebuah pertanyaan “apakah cukup kita menangkap spirit tersebut dengan menghayati dan merasakan secara emotif jiwa-jiwa membara yang melekat pada para pejuang tersebut ?” jawabannya juga tentu saja tidak, sebab hal tersebut hanya akan membuat seorang muslim bernostalgia dengan sejarah, dan hal ini, jika kita merujuk pada Nurcholis Madjid dalam karyanya Islam Kemodernan dan keindonesiaan, hanya akan mendatangkan kejumudan bagi seorang muslim. (Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, 2013)

Dikarenakan bernostalgia hanya hanya mendatangkan kejumudan, maka kita harus menangkap makna lain dari sejarah tersebut, makna lain yang aku tawarkan, dalam konteks SMK Kebangsaan, adalah kebangkitan akhlak mulia, melalui salah satu nilai akhlak penting yang diutarakan oleh Quraish Shihab, yakni kemuliaan dan harga diri manusia. (Shihab, 2022)

Seluruh manusia memiliki kemuliaan dan kehormatan, terlebih yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa kemuliaan dan harga diri tersebut diberikan langsung oleh Allah SWT( Q.S. al-Isra ayat 70). (Shihab, 2022) Kemudian, masih berkaitan dengan kemuliannya, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa derajat makhluk lain diturunkan untuk menyongsong kemuliaan manusia tersebut (Q.S. Al-Jatsiyah ayat 13), kemuliaan tersebut tak lain adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (Q.S. al-Baqarah ayat 30). (Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, 2013)

Pada saat itu, hal yang melatar belakangi persatuan umat Islam di Indonesia adalah karena merasakan adanya ketidakamanan dalam hidup dengan adanya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan kemudian dilanjutkan oleh Jepang. Atas dasar itulah, dibentuk suatu organisasi yang mempersatukan organisasi-organisasi yang sudah ada, organisasi ini bernama Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). (MN, 2020)

Kemerosotan moral yang terjadi di SMK Kebangsaan ini, berkaitan dengan ketiadaan akhlak atau sopan santun kepada sesama manusia, memarahi orang lain di depan khalayak sebagaimana dilakukan oleh kepala sekolah, atau murid yang asbun pada saat guru sedang menerangkan, adalah bentuk kemerosotan moral yang terjadi di Kebangsaan.

Orang-orang pelaku kemerosotan moral ini, baik pada objek satuan pendidikan SMK Kebangsaan, maupun muslim di Indonesia, kiranya dapat teratasi dengan memberikan pembelajaran sejarah fatwa jihad ini, dengan harapan hati atau jiwanya akan tersentuh, sehingga muncul darinya akhlak untuk menghargai atau menghormati sesama manusia.

Kemerosotan moral tentu saja bukan hanya menjadi bagian masalah di SMK Kebangsaan, melainkan juga masalah muslim di Indonesia, hal ini juga dapat dilacak dengan memperhatikan generasi muda yang sering mengeluarkan kata-kata najis dan kotor dari mulutnya, yang hari-hari ini dinilai biasa, bahkan lumrah.

Karena itu, singkatnya, meresapi sejarah fatwa jihad dengan kontekstual berarti menanamkan akhlak pada diri seorang muslim, yang dalam hal ini adalah sikap menghormati dan menghargai sesama manusia. Bagaimana mungkin kita dapat saling menjatuhkan harga diri manusia, ketika kita mengetahui bahwa para pendahulu kita mempersatukan jiwa raganya untuk menjatuhkan orang-orang yang menyakiti kita ? apakah ada sesuatu di dalam hati anda yang mengakibatkan anda menjadi orang yang merosot moralnya ? apakah anda tidak dapat menghayati atau minimal merasakan bagaimana jika anda yang hidup pada masa penjajahan tersebut kemudian ditelantarkan bahkan dijatuhkan kemanusiaannya ? inilah kiranya point penting yang hendak aku sampaikan, kita hanya dapat bersatu apabila kita saling menghargai dan saling menghormati, kita jangan sampai lupa bahwa kebebasan kita dalam hidup saat ini adalah hasil dari ratusan kilo darah yang ditumpahkan oleh para pendahulu.

Kita tidak perlu lagi berperang, yang perlu kita lakukan adalah saling menghargai dan saling menghormati, inilah yang aku sebut dengan spirit kontekstual. Ini, tentu saja bukan satu-satunya spirit yang harus diresapi, masih banyak spirit yang harus diresapi, namun, agaknya kita harus mulai membenahi masalah kemerosotan moral ini dengan mengajarkan sejarah tidak hanya sebagai aktivitas intelektual, namun lebih jauh dan dalam dari itu, kita harus mengajarkan sejarah sebagai aktivitas mental, yang darisana akan lahir emosi positif, kemudian tumbuh nan besar menjadi akhlak mulia.

 

Referensi

Abdullah, M. A. (2021). Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer. Yogyakarta: IB Pustaka.

Madjid, N. (2008). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Madjid, N. (2013). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

MN, A. I. (2020). Penakluk Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy'ari. Jakarta: Republika Penerbit.

Shihab, M. Q. (2022). Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...