“Penulisan Kembali sejarah Indonesia secara
jujur harus memuat penuturan dengan penuh penghargaan kepada kaum santri di
bawah pimpinan para kiyai itu.”
Demikian pernyataan Nurcholis Madjid dalam muqaddimah
bukunya ‘Islam Doktrin dan Peradaban’. Hal demikian dikatakan oleh
Nurcholis berkaitan dengan peran para kiyai dan para santri dalam melawan
penjajah dengan membawa spirit Islam.
Tulisan ini dibuat untuk mengenang dan
menangkap spirit sebuah sejarah gerakan Islam ideologis yang dilakukan oleh
organisasi Islam yang -banyak dikatakan sangat- besar di Indonesia, yakni
Nahdlatul Ulama. Spirit tersebut kemudian akan dibaca dan di jadikan sebagai
wacana konseptual untuk umat Islam di masa depan.
Sebelum beranjak ke pembahasan lebih lanjut, Sekedar
informasi saja, dikatakan oleh Aguk Irawan dalam novel biografi KH. Hasyim
Asy’ari yang berjudul “Penakluk Badai”, bahwa Nahdlatul Ulama berdiri pada 31
Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Kemudian, agaknya perlu
dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Islam ideologis.
Pengertian Islam Ideologis menurut Amin Abdullah, seorang guru besar filsafat
Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta- mengatakan dalam studi Islam
Kontemporer, adalah M. Abu-Rabi, seorang intelektual muslim asal Palestina,
mengatakan bahwa mengkaji Islam pada era modern dapat dilakuakan dengan empat
perspektif, salah satunya adalah perspektif ideologis. Menurutnya, Islam dapat
digunakan sebagai gerakan yang dapat mengajak ke arah kemajuan, tetapi dapat
juga digunakan sebagai alat penunjang status quo sebuah rezim. Artinya,
Islam atau Muslim sebagai komunitas pemeluk agama telah dimaknai lebih dari satu
definisi saja.
Atas pengertian tersebut, tentu saja kita bisa
memberikan asumsi -jika terlalu jauh dikatakan sebagai kesimpulan atau
penilaian- bahwa Nahdlatul Ulama, selain merupakan sebuah organisasi
intelektual Islam di Indonesia, sekaligus juga merupakan organisasi yang
memaknai Islam sebagai sebuah Ideologis, dengan bukti bahwa atas dikeluarkannya
fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, adalah
Bung Tomo, yang kemudian melanjutkan spirit tersebut dengan menyampaikan sebuah
orasi perjuangan.
Berdasarkan uraian tersebut, agaknya sekarang
kita telah mengetahui bahwa ada sebuah spirit Islam yang dibawakan oleh
Nahdlatul Ulama melalui fatwa jihadnya. Sekarang, kita akan meresapi spirit
tersebut untuk konteks Umat Islam Indonesia pada hari ini. Namun sebelum itu,
agaknya tetap diperlukan sebuah gambaran ringkas mengenai hubungan antara fatwa
jihad dengan orasi Bung Tomo yang kemudian membangkitkan semangat para arek-arek
suroboyo. Marilah kita mulai dengan menulis ulang resolusi tersebut dengan
mengacu kepada teks asli yang dilampirkan oleh Aguk Irawan dalam novel biografi
KH. Hasyim Asy’ari.
Resolusi N.U Tentang
Djihadfi Sabilillah
BISMILLAHIRRACHMANIR ROCHIM
Resolusi:
Rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2)
perhimpunan NAHDLATOEL OELAMA seluruh djawa-madura pada tanggal 21-22 oktober
1945 di SURABAJA
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Djawa-Madura
ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan alim oelama di tempatnya
masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan agama, KEDAULATAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
a. bahwa untuk
mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam,
termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap 2 orang islam.
b. bahwa di
Indonesia ini warga negaranya adalah sebagaian besar terdiri dari umat islam
Mengingat:
a. bahwa oleh
pihak belanda (NICA) dan djepang yang datang dan berada di sini telah banyak
sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketenteraman umum.
b. bahwa semua
jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan negara
republik indonesia dan agama, dan ingin kembali mendjdjah di sini maka di
beberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak
diwa manusia.
c. bahwa
pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat islam jang merasa
wadjid menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara da
agamanya.
d. bahwa di dalam
menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan tuntunan jang
njata dari pemerintah republik indonesia jang sesuai dengan kedjadian-kedjadian
tersebut.
Memutuskan
1. memohon dengan
sangat kepada pemerintah republik indonesia supaja menentukan suatu sikap dan
tindakan jang njata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan
kemerdekaan dan agama dan negara indonesia, terutama terhadap pihak belanda dan
kaki-tangannya.
2. suapaja
memerintah melandjutkan perdjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya negara
republik indonesia merdeka dan agama islam
Surabaja, 22-10-1945
H.B. NAHDLATOEL OELAMA
Diceritakan oleh Aguk bahwa setelah resolusi
itu dikeluarkan kemudian menyebar, lalu pada tanggal 27 oktober terjadilah
perang pertama antara pribumi dengan Inggris. Mula-mula peperangan itu hanya
perang kecil saja, tapi lama-kelamaan perang itu menjadi besar, akan tetapi
segera di redakan dengan ditandanganinya surat gencatan senjata oleh Presiden
Soekarno dan Jenderal D.C. Hawthorn pada 29 Oktober 1945.
Walau demikian, perang terus saja terjadi, dan
mencapai puncaknya pada kematian seorang jenderal Inggris bernama Mallaby (cari
tahu siapa). Hal tersebut membuat Inggris marah, kemudian memerintahkan mayor
jenderal eric carden robert mansergh untuk mengeluarkan ultimatum yang
berisikan perintah bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata
harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Batas ultimatum
tersebut adalah pada tanggal 10 november 1945. Akan tetapi, ultimatum tersebut
ditolak oleh para pejuang Indonesia.
Penolakan tersebut langsung dibayar dengan
harga mahal oleh masyarakat Indonesia setelah pada pagi hari yang masih sejuk,
tentara Inggris menyerang Indonesia menggunakan bom yang dilontarkan dari udara
dan penggerakan 30.000 infanteri. Aguk mengklaim bahwa dengan demikian, Inggris
beranggapan bahwa pribumi akan kalah telak karena ketidaksiapan dalam posisi
bertempur.
Hal itu terbantahkan dengan adanya orasi yang
sangat menggetarkan jiwa yang disampaikan oleh Bung Tomo setelah sampai
kepadanya isi dari resolusi jihad dari nahdlatul ulama sebagaimana aku tuliskan
diatas. Kemudian Bung Tomo memulai orasinya:
Bismillahirrahmanirrahim
MERDEKA ! ! !
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh
Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota surabaya, kita semuanya telah
mengetahui bahwa, hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan, untuk dalam waktu yang mereka
tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya
tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan
mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu
dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara, di dalam
pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa
rakyat Indonesia di Surabaya -pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau
Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh
Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada
di Surabaya ini- di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing, beserta
pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukkan satu
pertahanan yang tidak bisa dijebol dan telah menunjukkan satu kekuatan, sehingga
pihah lawan terjepit dimana-mana.
Hanya karena taktik yang licik dari mereka
itu, Saudara-saudara, dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin
lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk memberhentikan pertempuran,
tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri, Dan setelah kuat, sekarang
inilah kepadanya.
Saudara-saudara ! Kita semuanya, kita bangsa
Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris dan
kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban
rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada
di Surabaya ini, maka dengarkanlah ini tentara Inggris ! Ini jawaban kita, ini
jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.
Hai tentara Inggris ! kau menghendaki bahwa
kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita
mengangkat tangan datang kepadamu
Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang
telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu
walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur
kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita.
Selama banteng-banteng Indonesia masih
mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain merah dan putih, maka
selama itu tidak akan kita menyerah kepada siapa pun juga.
Saudara-saudara rakyat Surabaya, bersiaplah !
keadaan genting ! Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak,
baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Kita tunjukkan
bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik
kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau
mati !.
Dan kita yakin, saudara-sudara, pada akhirnya
pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di
pihak yang benar.
Percayalah, saudara-saudara, Tuhan akan
melindungi kita sekalian ...
Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!
MERDEKA!!!
Mengenai bagaimana perang dan berapa korban
yang ada di kedua belah pihak tentu diluar tujuan penulisan ini. Yang perlu
diketahui adalah, bahwa spirit Islam yang dibawa oleh Bung Tomo melalui kalimat
takbir tersebut merupakan kelanjutan dari spirit para ulama Nahdlatul
Ulama yang mengeluarkan fatwa Jihad.
Adapun bila anda bertanya apa landasan perang
melawan penjajah itu bernilai jihad fi sabilillah, tentu aku tak mampu
menjawabnya, sebab Aguk sendiri tidak menginformasikannya. Aguk hanya
mengatakan bahwa fatwa tersebut dikeluarkan setelah para kiyai dari kalangan
Nahdlatul Ulama berkumpul, kesimpulan dari perkumpulan tersebut, Kiyai Hasyim
mengatakan “statusnya sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib berjihad
untuk mempertahankannya.
Sekarang, marilah kita lanjutkan tulisan ini
dengan meresapi kejadian-kejadian yang sudah diuraikan diatas. Paling tidak,
menurutku ada dua spirit yang mestinya dapat kita resapi, pertama spirit
konteks dan spirit kontekstual. Adapun yang pertama, apabila kita melihat
konteksnya pada saat itu, tentu saja berperang secara langsung dengan jiwa yang
membara dan gagah berani merupakan pilihan yang tepat, namun, apakah ini masih
bisa dimaknai sebagaimana demikian ? jawabannya tentu saja tidak.
Akan tetapi, jiwa membara dalam melawan
kedzoliman tetap harus dimiliki, dihayati, juga diteruskan untuk spirit
kontektualnya. Karena itu, untuk memahami sprit kedua, yakni spirit kontekstual,
kita terlebih dahulu harus mengetahui kondisi Islam di Indonesia hari ini,
dilihat dari spirit Islam sebagai ideologi yang menggerakkan.
Sebelumnya, aku hendak berkata “berilah aku
wajan yang sangat jernih nan besar, sebesar istana raja Najasyi, niscaya akan
ku penuhi wajan itu dengan air mataku”. Aku, tentu saja tidak dapat menilai
secara keseluruhan atas apa yang terjadi pada Islam di Indonesia hari ini.
Namun aku melihat, bagaimana adanya sebuah lorong pemisah antara kiyai, santri
dan masyarakat di Indonesia.
Aku adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam
di SMK Kebangsaan, salah satu sekolah kejuruan yang ada di Pondok Aren,
Tangerang Selatan. Sebagai seorang guru, tentu saja aku harus memahami karakter
murid-muridku, dan aku melihat ketidakutuhan Islam yang ada pada mereka,
ketidakutuhan itu tergambar tentu saja tidak kepada seluruh murid walaupun jika
dipersentasekan, jumlahnya dapat mencapai 85-95 % murid yang jauh keindahan dan
keelokan Islam.
Spirit yang harus ditangkap dalam konteks ini
adalah bagaimana seorang muslim memahami bahwa Islam tidak hanya sebuah agama
teosentris, melainkan juga sebuah agama antroposentris -yang juga sekaligus-
kosmosentris. Artinya, menjadi muslim tidak hanya melakukan ibadah semata yang
dipahami sebagai ibadah individual, personal, yang kemudian melahirkan
kesalehan individual, personal. Gambaran ketidakutuhan tersebut mungkin saja
terjadi akibat ketidaktahuan terhadap sejarah, atau mungkin saja terjadi akibat
kehampaan sejarah yang di ajarkan. Sebab selama ini, sejarah seringkali di
ajarkan hanya untuk diketahui sebagai aktivitas intelektual, bukan sebagai
aktivitas mental. Karena bagiku, sejarah harus juga dipahami sebagai aktivitas
mental yang melatih emosi, oleh sebab itu, fatwa jihad dan keterhubungannya
dengan peperangan Surabaya melalui orasi Bung Tomo, haruslah juga dapat
dirasakan secara emotif.
Pembelajaran emosi melalui pelajaran sejarah
fatwa jihad tersebut agaknya menarik apabila diterapkan di SMK Kebangsaan. Aku
mengatakannya menarik sebab aku memiliki visi menerapkan Islam Egalitarianis di
SMK Kebangsaan. Untuk alasan penerapan Islam Egalitarianis mungkin anda dapat
membaca artikel yang telah ku tulis sebelum ini yang berjudul “Jabatan Elit,
Akhlak Sulit: Prospek Integrasi Islam Egalitarianis di SMK Kebangsaan”.
Masalah yang terjadi di SMK Kebangsaan adalah
kemerosotan moral, disana, mungkin saja anda akan menyangka bahwa yang menjadi
objek kemerosotan moral adalah para murid. Hal ini tentu saja aku dapat
menilainya dengan salah mutlak, sebab kenyataannya, bahkan kepala sekolah
sekalipun mengalami kemerosotan tersebut.
Kini kita telah mengetahui konteks Islam di
Indonesia yang aku maksudkan. Sekarang kita akan meresapi sejarah tersebut
melalui spirit kedua, yakni spirit kontektual. Aku akan memulainya dengan
sebuah pertanyaan “apakah cukup kita menangkap spirit tersebut dengan
menghayati dan merasakan secara emotif jiwa-jiwa membara yang melekat pada para
pejuang tersebut ?” jawabannya juga tentu saja tidak, sebab hal tersebut hanya
akan membuat seorang muslim bernostalgia dengan sejarah, dan hal ini, jika kita
merujuk pada Nurcholis Madjid dalam karyanya Islam Kemodernan dan
keindonesiaan, hanya akan mendatangkan kejumudan bagi seorang muslim.
Dikarenakan bernostalgia hanya hanya
mendatangkan kejumudan, maka kita harus menangkap makna lain dari sejarah
tersebut, makna lain yang aku tawarkan, dalam konteks SMK Kebangsaan, adalah
kebangkitan akhlak mulia, melalui salah satu nilai akhlak penting yang
diutarakan oleh Quraish Shihab, yakni kemuliaan dan harga diri manusia.
Seluruh manusia memiliki kemuliaan dan
kehormatan, terlebih yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa kemuliaan dan
harga diri tersebut diberikan langsung oleh Allah SWT( Q.S. al-Isra ayat 70).
Pada saat itu, hal yang melatar belakangi
persatuan umat Islam di Indonesia adalah karena merasakan adanya ketidakamanan
dalam hidup dengan adanya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan kemudian
dilanjutkan oleh Jepang. Atas dasar itulah, dibentuk suatu organisasi yang mempersatukan
organisasi-organisasi yang sudah ada, organisasi ini bernama Majlis Islam A’la
Indonesia (MIAI).
Kemerosotan moral yang terjadi di SMK
Kebangsaan ini, berkaitan dengan ketiadaan akhlak atau sopan santun kepada
sesama manusia, memarahi orang lain di depan khalayak sebagaimana dilakukan
oleh kepala sekolah, atau murid yang asbun pada saat guru sedang menerangkan,
adalah bentuk kemerosotan moral yang terjadi di Kebangsaan.
Orang-orang pelaku kemerosotan moral ini, baik
pada objek satuan pendidikan SMK Kebangsaan, maupun muslim di Indonesia,
kiranya dapat teratasi dengan memberikan pembelajaran sejarah fatwa jihad ini,
dengan harapan hati atau jiwanya akan tersentuh, sehingga muncul darinya akhlak
untuk menghargai atau menghormati sesama manusia.
Kemerosotan moral tentu saja bukan hanya
menjadi bagian masalah di SMK Kebangsaan, melainkan juga masalah muslim di
Indonesia, hal ini juga dapat dilacak dengan memperhatikan generasi muda yang
sering mengeluarkan kata-kata najis dan kotor dari mulutnya, yang hari-hari ini
dinilai biasa, bahkan lumrah.
Karena itu, singkatnya, meresapi sejarah fatwa
jihad dengan kontekstual berarti menanamkan akhlak pada diri seorang muslim,
yang dalam hal ini adalah sikap menghormati dan menghargai sesama manusia.
Bagaimana mungkin kita dapat saling menjatuhkan harga diri manusia, ketika kita
mengetahui bahwa para pendahulu kita mempersatukan jiwa raganya untuk
menjatuhkan orang-orang yang menyakiti kita ? apakah ada sesuatu di dalam hati
anda yang mengakibatkan anda menjadi orang yang merosot moralnya ? apakah anda
tidak dapat menghayati atau minimal merasakan bagaimana jika anda yang hidup
pada masa penjajahan tersebut kemudian ditelantarkan bahkan dijatuhkan
kemanusiaannya ? inilah kiranya point penting yang hendak aku sampaikan, kita
hanya dapat bersatu apabila kita saling menghargai dan saling menghormati, kita
jangan sampai lupa bahwa kebebasan kita dalam hidup saat ini adalah hasil dari
ratusan kilo darah yang ditumpahkan oleh para pendahulu.
Kita tidak perlu lagi berperang, yang perlu
kita lakukan adalah saling menghargai dan saling menghormati, inilah yang aku
sebut dengan spirit kontekstual. Ini, tentu saja bukan satu-satunya spirit yang
harus diresapi, masih banyak spirit yang harus diresapi, namun, agaknya kita
harus mulai membenahi masalah kemerosotan moral ini dengan mengajarkan sejarah
tidak hanya sebagai aktivitas intelektual, namun lebih jauh dan dalam dari itu,
kita harus mengajarkan sejarah sebagai aktivitas mental, yang darisana akan
lahir emosi positif, kemudian tumbuh nan besar menjadi akhlak mulia.
Referensi
Abdullah, M. A. (2021). Multidisiplin,
Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era
Kontemporer. Yogyakarta: IB Pustaka.
Madjid, N. (2008). Islam Doktrin
dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Madjid, N. (2013). Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.
MN, A. I. (2020). Penakluk
Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy'ari. Jakarta: Republika Penerbit.
Shihab, M. Q. (2022). Yang
Hilang Dari Kita: Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar