Minggu, 15 Oktober 2023

SDGs dan Cita-cita Renaissance ketiga di Indonesia

 

Indonesia merupakan bagian dari 193 negara di PBB yang berkomitmen untuk mengimplementasikan Sustainable Development Goals (SDGs) sampai pada tahun 2030. Pembangunan berkelanjutan membuat dunia lebih baik untuk semua elemen alam semesta tanpa merusak potensi generasi masa depan untuk melanjutkan pembangunan.

Setidaknya terdapat tiga hal yang sangat diperhatikan dalam sustainable development, pertama terkait pertumbuhan ekonomi, kedua, kemajuan sosial dan yang ketiga adalah melestarikan alam. Sustainable development goals yang ingin dicapai oleh 193 negara tersebut pada 2030 adalah sebagai berikut:

1.      Tanpa kemiskinan

2.      Tanpa kelaparan

3.      Kehidupan sehat dan sejahtera

4.      Pendidikan Berkualitas

5.      Kesetaraan Gender

6.       Air bersih dan sanitasi layak

7.      Energi bersih dan terjangkau

8.      Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi

9.      Industri, inovasi dan infrastruktur

10.  Berkurangnya kesenjangan

11.  Kota dan Komunitas berkelanjutan

12.  Konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab

13.  Penanganan perubahan iklim

14.  Ekosistem laut

15.  Ekosistem darat

16.  Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang Tangguh

17.  Kemitraan untuk mencapai tujuan

Itulah 17 indikator SDGs yang menjadi kerja bersama umat manusia sampai pada tahun 2030. Keperluan terhadap kemitraan multipihak antar pemerintah, swasta, akademisi, media dan masyarakat sipil. Tanpa adanya sifat saling mendukung atau traint egoism dalam melaksanakan aktivitas pembangunan, kesemuanya hanya akan berakhir pada ide-ide belaka.

Tulisan ini tentu saja tidak akan membahas seluruh dimensi yang terdapat di dalam sustainable development, karena cakupannya sangat luas. Tulisan ini akan berfokus pada salah satu indikator sustainable development yakni kemajuan sosial dalam usaha membangun pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif itulah yang membuat kedua Renaissance atau Aufklarung telah terjadi dalam bingkai sejarah intelektual umat manusia.

Pendidikan Inklusif dan Renaissance

Mulyadhi Kartanegara, seorang pemikir islam Indonesia kontemporer pada abad 21 ini, meyakini Indonesia dapat melaksanakan renaissance ketiga. Revitalisasi, artinya kembali menghidupkan tradisi intelektual yang pernah di contohkan oleh para pemikir islam klasik. Tentunya perlu diketahui bahwa renaissance yang terlaksana di Barat pasca abad pertengahan berlangsung, menuai banyak hidangan intelektual pemikir islam itu sendiri.

Prof. Dr. Fazlur Rahman, salah seorang guru dari Mulyadhi Kartanegara beranggapan bahwa akan salah ada saatnya dunia ini kembali menemukan puncak intelektualnya, terutama dalam dunia islam pada masa mendatang yang tidak lahir dari tanah kelahiran islam itu sendiri, yakni Arab, melainkan di Asia Tenggara, yakni Indonesia dan Malayasia.

Bagi saya, hal pertama yang harus dilakukan adalah sebagaimana salah satu pilar yang digunakan dalam sustainable development, yakni partnership. Kerjasama antara kaum intelektual dan pemerintah serta swasta. Kemogokan intelektual yang terjadi di Indonesia salah satunya -bagi saya- adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap kaum intelektual.

Kemitraan multipihak dalam membangun renaissance ketiga sangatlah penting. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah -seperti pendanaan-, maka Pendidikan inklusif yang menjadi salah satu indikator kemajuan sosial agaknya sulit untuk di wujudkan. Pendidikan inklusif berarti Pendidikan yang membuka diri terhadap pembaharuan zaman serta masalah yang dihadapi oleh alam semesta beserta isinya dengan menggunakan ragam pandangan dunia dan ketiadaan pikiran yang tertutup antar satu pandangan dunia dengan pandangan dunia lainnya.

Tahap selanjutnya setelah kemitraan antar akademisi dan pemerintah serta swasta telah terjalin, adalah melakukan melakukan penerjemahan terhadap naskah-naskah klasik baik di dunia islam maupun di dunia barat. Banyak sekali naskah klasik yang pengaruhnya hingga kini masih sangat di rasakan, namun belum banyak bisa di akses di Indonesia. Katakanlah setiap buku filsafat, Irfan atau sains itu yang diterjemahkan dari teks aslinya masih sangat sulit untuk di dapatkan. Sehingga pelajar, atau mahasiswa terpaksa masih harus menggunakan buku yang bersifat pengantar saja.

Katakanlah dalam bidang sains, seperti karya seorang filosof islam klasik Ibn Sina dengan karyanya Al Qanun fi al Thib, kemudian Ibn Al Haytam dengan karyanya The Optics. Dalam bidang filsafat, karya-karya seperti Asy-Syifa karangan Ibn Sina, Bidayatul Hikmah yang dikarang oleh Allamah Thabathabai, dan masih banyak karya-karya klasik yang masih sulit di akses oleh pelajar di Indonesia.

Penerjemahan karya merupakan gerbang awal dari adanya sebuah Pendidikan inklusif, karena dengan karya terjemahan tersebut kita dapat mengenal lebih banyak dan lebih akrab ragam pandangan dunia, metodologi dari setiap filosof, saintis atau sufi dalam menyelesaikan masalah di setiap zamannya. Selain itu, melakukan penerjemahan berarti mengajak Sebagian pelajar di Indonesia yang masih berkekurangan dalam penguasaan bahasa asing, hal ini harus dilakukan karena sesuai dengan prinsip dari sustainable development yakni Leave No One Behind

Langkah selanjutnya setelah melakukan penerjemahan karya adalah, menghimpun sebanyak mungkin karya-karya filosofis, ilmiah dan lain-lain untuk diterjemahkan, dikaji, dan dikembangkan untuk kepentingan umat manusia, dan alam semesta pada hari ini dan masa yang akan datang. Indonesia sendiri, tentunya sudah banyak melahirkan para penerjemah dari beragam bahasa di dunia, hanya saja pemerintah kurang memberi perhatian.

Betul jika dikatakan melakukan penerjemahan karya ilmiah klasik dibutuhkan banyak ahli, seperti ahli linguistik, penerjemah, dan ahli dalam bidang tersebut. Seperti ketika kita akan melakukan penerjemahan di bidang sains, maka kita perlu seorang saintis untuk memahami bahasa sains yang memang tidak terlalu dikenal oleh banyak orang.

Kita hidup di abad ke 21 dengan ribuan karya ilmiah yang berasal dari dunia islam maupun barat, tampaknya terlalu panjang jika saya tuliskan semua disini. Kesimpulannya adalah, Pendidikan inklusif adalah salah satu cara bagaimana Indonesia menggapai keberhasilan menjalankan salah satu indikator dalam sustainable development yakni kemajuan sosial, dengan adanya pendidikan yang inklusif, tidak menutup kemungkinan, indikator yang lain akan tercapai pula. Karena setiap pengetahuan akan melahirkan sebuah tindakan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...