Indonesia merupakan bagian dari 193 negara di PBB yang berkomitmen untuk
mengimplementasikan Sustainable Development Goals (SDGs) sampai pada
tahun 2030. Pembangunan berkelanjutan membuat dunia lebih baik untuk semua
elemen alam semesta tanpa merusak potensi generasi masa depan untuk melanjutkan
pembangunan.
Setidaknya terdapat tiga hal yang sangat diperhatikan dalam sustainable
development, pertama terkait pertumbuhan ekonomi, kedua, kemajuan sosial
dan yang ketiga adalah melestarikan alam. Sustainable development goals
yang ingin dicapai oleh 193 negara tersebut pada 2030 adalah sebagai berikut:
1. Tanpa kemiskinan
2. Tanpa kelaparan
3. Kehidupan sehat dan sejahtera
4. Pendidikan Berkualitas
5. Kesetaraan Gender
6. Air
bersih dan sanitasi layak
7. Energi bersih dan terjangkau
8. Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
9. Industri, inovasi dan infrastruktur
10. Berkurangnya kesenjangan
11. Kota dan Komunitas berkelanjutan
12. Konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab
13. Penanganan perubahan iklim
14. Ekosistem laut
15. Ekosistem darat
16. Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang
Tangguh
17. Kemitraan untuk mencapai tujuan
Itulah 17 indikator SDGs yang menjadi kerja bersama umat manusia sampai
pada tahun 2030. Keperluan terhadap kemitraan multipihak antar pemerintah,
swasta, akademisi, media dan masyarakat sipil. Tanpa adanya sifat saling
mendukung atau traint egoism dalam melaksanakan aktivitas pembangunan,
kesemuanya hanya akan berakhir pada ide-ide belaka.
Tulisan ini tentu saja tidak akan membahas seluruh dimensi yang terdapat
di dalam sustainable development, karena cakupannya sangat luas. Tulisan ini
akan berfokus pada salah satu indikator sustainable development yakni kemajuan
sosial dalam usaha membangun pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif
itulah yang membuat kedua Renaissance atau Aufklarung telah terjadi dalam
bingkai sejarah intelektual umat manusia.
Pendidikan
Inklusif dan Renaissance
Mulyadhi Kartanegara, seorang pemikir islam Indonesia kontemporer pada
abad 21 ini, meyakini Indonesia dapat melaksanakan renaissance ketiga.
Revitalisasi, artinya kembali menghidupkan tradisi intelektual yang pernah di
contohkan oleh para pemikir islam klasik. Tentunya perlu diketahui bahwa
renaissance yang terlaksana di Barat pasca abad pertengahan berlangsung, menuai
banyak hidangan intelektual pemikir islam itu sendiri.
Prof. Dr. Fazlur Rahman, salah seorang guru dari Mulyadhi Kartanegara
beranggapan bahwa akan salah ada saatnya dunia ini kembali menemukan puncak
intelektualnya, terutama dalam dunia islam pada masa mendatang yang tidak lahir
dari tanah kelahiran islam itu sendiri, yakni Arab, melainkan di Asia Tenggara,
yakni Indonesia dan Malayasia.
Bagi saya, hal pertama yang harus dilakukan adalah sebagaimana salah
satu pilar yang digunakan dalam sustainable development, yakni partnership.
Kerjasama antara kaum intelektual dan pemerintah serta swasta. Kemogokan
intelektual yang terjadi di Indonesia salah satunya -bagi saya- adalah
kurangnya perhatian pemerintah terhadap kaum intelektual.
Kemitraan multipihak dalam membangun renaissance ketiga sangatlah
penting. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah -seperti pendanaan-, maka
Pendidikan inklusif yang menjadi salah satu indikator kemajuan sosial agaknya
sulit untuk di wujudkan. Pendidikan inklusif berarti Pendidikan yang membuka
diri terhadap pembaharuan zaman serta masalah yang dihadapi oleh alam semesta
beserta isinya dengan menggunakan ragam pandangan dunia dan ketiadaan pikiran
yang tertutup antar satu pandangan dunia dengan pandangan dunia lainnya.
Tahap selanjutnya setelah kemitraan antar akademisi dan pemerintah serta
swasta telah terjalin, adalah melakukan melakukan penerjemahan terhadap
naskah-naskah klasik baik di dunia islam maupun di dunia barat. Banyak sekali
naskah klasik yang pengaruhnya hingga kini masih sangat di rasakan, namun belum
banyak bisa di akses di Indonesia. Katakanlah setiap buku filsafat, Irfan atau
sains itu yang diterjemahkan dari teks aslinya masih sangat sulit untuk di
dapatkan. Sehingga pelajar, atau mahasiswa terpaksa masih harus menggunakan
buku yang bersifat pengantar saja.
Katakanlah dalam bidang sains, seperti karya seorang filosof islam
klasik Ibn Sina dengan karyanya Al Qanun fi al Thib, kemudian Ibn Al Haytam
dengan karyanya The Optics. Dalam bidang filsafat, karya-karya seperti
Asy-Syifa karangan Ibn Sina, Bidayatul Hikmah yang dikarang oleh Allamah
Thabathabai, dan masih banyak karya-karya klasik yang masih sulit di akses oleh
pelajar di Indonesia.
Penerjemahan karya merupakan gerbang awal dari adanya sebuah Pendidikan
inklusif, karena dengan karya terjemahan tersebut kita dapat mengenal lebih
banyak dan lebih akrab ragam pandangan dunia, metodologi dari setiap filosof,
saintis atau sufi dalam menyelesaikan masalah di setiap zamannya. Selain itu,
melakukan penerjemahan berarti mengajak Sebagian pelajar di Indonesia yang
masih berkekurangan dalam penguasaan bahasa asing, hal ini harus dilakukan
karena sesuai dengan prinsip dari sustainable development yakni Leave No One
Behind
Langkah selanjutnya setelah melakukan penerjemahan karya adalah,
menghimpun sebanyak mungkin karya-karya filosofis, ilmiah dan lain-lain untuk
diterjemahkan, dikaji, dan dikembangkan untuk kepentingan umat manusia, dan
alam semesta pada hari ini dan masa yang akan datang. Indonesia sendiri,
tentunya sudah banyak melahirkan para penerjemah dari beragam bahasa di dunia,
hanya saja pemerintah kurang memberi perhatian.
Betul jika dikatakan melakukan penerjemahan karya ilmiah klasik
dibutuhkan banyak ahli, seperti ahli linguistik, penerjemah, dan ahli dalam
bidang tersebut. Seperti ketika kita akan melakukan penerjemahan di bidang
sains, maka kita perlu seorang saintis untuk memahami bahasa sains yang memang
tidak terlalu dikenal oleh banyak orang.
Kita hidup di abad ke 21 dengan ribuan karya ilmiah yang berasal dari
dunia islam maupun barat, tampaknya terlalu panjang jika saya tuliskan semua
disini. Kesimpulannya adalah, Pendidikan inklusif adalah salah satu cara
bagaimana Indonesia menggapai keberhasilan menjalankan salah satu indikator
dalam sustainable development yakni kemajuan sosial, dengan adanya pendidikan
yang inklusif, tidak menutup kemungkinan, indikator yang lain akan tercapai
pula. Karena setiap pengetahuan akan melahirkan sebuah tindakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar