Lenn E. Godman, seorang ahli
filsafat Islam di Universitas Vanderbilt, mengatakan, dengan mengutip Ibn
Thufayl dalam karyanya Hayy ibn Yaqzhan, jika kita hendak menjalani
hidup dengan benar, maka terdapat tiga persoalan yang harus dijawab dengan
benar pula, yaitu mengetahui bagaimana cara dirinya meng-Ada dan apa posisinya
di alam semesta, yang juga berarti apa yang harus dilakukannya dalam menjalani
hidup di alam semesta.
Tatkala Hayy (tokoh dalam
karya Ibn Thufayl) menemukan hal yang termulia dan sejati di dalam dirinya
karena memiliki keserupaan dengan sang pencipta-Nya (Allah; Ed:Rifki), dan
kesadarannya bahwa ia adalah makhluk yang melampaui hal-hal fisik, maka segera
dia meniru sifat-sifat-Nya, cara-cara-Nya dan melakukan apa yang
dikehendakinya-Nya. Tingkah meniru tersebut, menurutku adalah jawaban dari
posisinya di alam semesta sebagai budak Tuhan.
Selanjutnya, berkaitan dengan posisi
manusia di alam semesta ini, penjelasan lain yang menjadi tambahan dan
memperjelas konsep ku mengenai hal tersebut diperoleh dari pemikiran Nurcholis
Madjid -ke depan akan kita sebut Cak Nur saja sesuai dengan panggilan
akrabnya,- dalam beberapa karyanya seperti Islam Doktrin dan Peradaban serta
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.
Cak Nur mengatakan bahwa posisi
manusia di alam semesta ini adalah sebagai khalifah Allah yang bertugas
memakmurkan alam semesta, sehubungan dengan ini, Cak Nur juga mengatakan bahwa memperlakukan
dan menilai manusia secara sama adalah bagian dari konsekuensi logis
keberislaman seseorang kepada Allah, Tuhan yang telah menunjuknya sebagai
khalifah.
Agaknya akan sangat panjang apabila
aku menguraikan pemikiran Cak Nur mengenai manusia sebagai khalifah Allah,
sebab akan terlalu bertele-tele dan tidak menyangga tujuan penyajian tulisan
ringkas ini, cukuplah dipahami bahwa, sebagai seorang muslim, yang seharusnya
menganut way of life Islam secara utuh, tidak menyalahi keberislamannya
dengan perilaku menyimpang dari konsep persamaan atau kesetaraan manusia yang
dikenal sebagai -dengan meminjam istilah yang terkenal di Perancis- egalitarianisme.
Setelah mengetahui -secara ringkas-
posisi manusia di alam semesta, serta keharusannya bertindak sebagai seorang
yang egalitarianis, aku akan menggunakan pemahaman ini untuk membaca realitas
yang aku alami baru-baru ini ditempatku mengajar yaitu SMK Kebangsaan, yang
telah melaksanakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW; dimana pada saat
pelaksanaan kegiatan tersebut, aku melihat suatu kejanggalan pada kepala
sekolah yang sedang menjabat saat ini, kepala sekolah tersebut bernama Ibu Ely
Natalia.
Pada saat pelaksanaan kegiatan
tersebut, Ely mempersembahkan sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan
konsekuensi keberislamannya, melainkan juga bertentangan dengan konsep akhlak dalam
Islam dan juga visi dari sekolah tersebut, dimana visi sekolah mencantumkan akhlak
al-karimah sebagai bagian penting dari point visi yang hendak di capai.
Tentu saja hal ini menjadi masalah,
pertama, kepala sekolah dapat dikatakan sebagai wajah dari sekolah itu sendiri,
kedua, kepala sekolah seharusnya sedapat mungkin menjadi role model bagi
bawahannya yang pada garis tertentu akan dijadikan sebagai objek keteladanan
bagi peserta didik yang ada di SMK Kebangsaan.
Adapun kejanggalan yang kemudian
menjadi embrio masalah tersebut adalah tindakan kepala sekolah yang memarahi
bawahannya di hadapan murid, disini tentu aku pun berpikiran bahwa tindak kemarahan
tersebut pasti memiliki sebab, akan tetapi, tetap saja perilaku menghakimi atau
memarahi seseorang dihadapan khalayak tidak sesuai dengan konsep akhlak dalam
Islam dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya.
Berdasarkan uraian diatas, aku
-dalam tulisan ini- hendak membuktikan secara ilmiah bahwa tindakan Ely Natalia
tersebut benar-benar tidak sesuai dengan konsep akhlak dalam Islam. Adapun
konsep akhlak tersebut akan merujuk pada karya Quraish Shihab yang berjudul Yang
Hilang Dari Kita: Akhlak. Perlu pula diketahui bahwa konsep akhlak Quraish
Shihab ini, menurut penilaianku, berjenis divine command theory (teori
perintah Ilahi) yang secara garis besar maknanya adalah -sebagaimana dikatakan
oleh M.T Mishbah Yazdi, seorang filosof Islam Neo-Sadrian- kebenaran dinilai apabila
Tuhan mengatakannya sebagai benar dan begitu pula sebaliknya apabila berkaitan
dengan hal yang salah.
Tulisan ini akan menyoroti masalah
yang telah dikemukakan diatas, jadi, untuk sekedar memperjelas tujuan dari
tulisan ini, aku akan mengatakan bahwa maksud dari integrasi Islam disini
adalah integrasi nilai-nilai akhlak Islam secara menyeluruh, yakni kepada
seluruh elemen terkait yang berada di SMK Kebangsaan, mulai dari murid, guru,
pejabat sekolah, satpam dan elemen-elemen lainnya. Namun, tulisan ini terutama
ditujukan kepada Ely Natalia selaku kepada sekolah yang, betapapun elakan atau
alasan yang diberikan, menurutku, tetap saja bersalah atas tindakannya pada
hari tersebut.
Akhlak dan Sopan Santun
Penggunaan kata akhlak, dalam
keseharian kita seringkali dipersamakan dengan etika. Padahal, apabila kita
melakukan penelusuran lebih jauh dan mendalam, tentu kita akan menemukan
perbedaan yang sangat jelas diantara ketiga kata tersebut. Akan tetapi, bukan
disini penjelasan terperinci itu akan dijelaskan, cukuplah diketahui bahwa
akhlak adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, sifat dasar atau
kondisi kejiwaan seseorang yang telah terpendam dan mantap di dalam diri
seseorang dan tampak ke permukaan melalui kehendak atau kelakukan dan
terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Adapun etika, adalah
ilmu yang mempelajari suatu statement akhlak.
Dari penjelasan tersebut, lanjut
Quraish Shihab, kita akan menemukan dua sisi yang berbeda, pertama sisi dalam
yang merujuk pada sifat dasar atau kondisi kejiwaan, dan sisi kedua adalah
-yang sekaligus merupakan pantulan dari sisi pertama- merujuk pada kelakuan
yang tampak ke permukaan.
Nah, dikarenakan sisi luar adalah
pantulan atau kelanjutan dari sisi dalam, maka -seharusnya- tingkah laku
manusia adalah baik dan benar, sebab kecenderungan kepada hal yang baik dan
benar adalah fitrah manusia, karena itu, seseorang yang berperilaku baik
disebut sebagai seseorang yang berakhlak baik.
Kemudian, apabila tingkah laku
seseorang adalah salah dan buruk, maka ada dua hal yang menjadi masalah disini,
pertama, seseorang tersebut telah melawan fitrahnya, kedua ada sesuatu yang
menyebabkan seseorang tersebut melawan fitrahnya, dalam konteks ini, sesuatu
tersebut adalah penyakit hati yakni ‘ujub atau pongah.
Menurut al-Ghazali, seorang yang
dikenal sebagai pemikir Islam di kalangan Sunni, pongah adalah penyakit hati
yang paling berbahaya sebab merasa diri paling hebat mulia dan besar. Orang
pongah ialah orang yang, bila dia memberi nasihat akan memalukan orang lain,
namun bila dia dinasihati akan bersikap kasar kepada pemberi nasihat.
Pongah adalah salah satu dari
sekian banyak penyakit hati yang dibahas oleh para sufi, tentu saja masih
banyak penyakit hati lainnya. Namun yang paling penting adalah, dikarenakan
pongah merupakan masalah turunan kedua dari buruknya tingkah laku seseorang,
maka kita bisa memasukkan bahwa pongah adalah perilaku buruk, dan orang yang
berperilaku buruk disebut sebagai orang yang tidak berakhlak.
Dalam realitas, kita juga akan
menemukan seseorang hanya akan berperilaku baik kepada sebagian orang, dan
berperilaku buruk kepada sebagian lainnya, posisi orang ini, tetap termasuk ke
dalam orang yang berperilaku buruk, atas dasar bahwa seharusnya, akhlak yang
baik tetap ditujukan kepada siapapun, sebab akhlak -yang baik- seharusnya
bersifat universal, karena itu cara pandangnya adalah objektif, bukannya
subjektif.
Tingkah laku yang keluar ke
permukaan itu biasanya disebut dengan sopan santun. Penyematan kata sopan
santun tersebut berpijak dari akhlak yang sebagaimana harusnya, yakni akhlak
yang baik, karena itu, sopan santun berarti akhlak yang baik. Sopan santun itu
kemudian diperoleh petunjuknya melalui nilai-nilai mutlak -yakni al-Qur’an dan
hadits serta norma umum yang berlaku di masyarakat setempat yang biasanya
bersifat relatif karena berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, dan
biasanya norma tersebut diperoleh pula melalui agama.
Quraish Shihab mengatakan bahwa
sopan santun adalah hal yang sangat ditekankan oleh Islam, sebab sopan santun
akan melahirkan hubungan yang harmonis dan perasaan damai, selain itu, sopan
santun juga dapat menjauhkan permusuhan.
Hal ini nampaknya terbaca dalam
realitas, sebab sopan santun adalah hal yang paling banyak dilihat dan menjadi
indikator utama baik buruknya seseorang, karena itu, semakin seseorang tersebut
memiliki sopan santun, maka semakin baik akhlaknya, semakin baik akhlaknya,
maka semakin baik pula keberislamannya.
Nilai Penting Akhlak: Kemuliaan dan
Harga Diri Manusia
Berkaitan dengan pembahasan kita
selanjutnya, baik agaknya kita sedikit menilik pandangan seorang ulama
Indonesia, HAMKA, dalam bukunya lembaga budi, mengatakan bahwa seratus perkataan
dan butir hikmah yang mengandung ketinggian martabat dan budi pekerti,
pantaslah menjadi renungan bagi kita semuanya.
Aku teringat kepada Cak Nur. Dalam
bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cak Nur mengatakan bahwa manusia tidak
hanya memiliki kecenderungan kepada hal yang baik dan benar, melainkan juga
memiliki hawa nafsu yang menjadikannya sebagai makhluk lemah. Dikatakan pula
oleh para orang-orang bijaksana bahwa manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan.
Baik kiranya apabila aku menguti pandangan Cak Nur disini untuk sekedar
memperjalas bahwa betapa pentingnya manusia melakukan perenungan terhadap
hikmah-hikmah akhlak:
“Kedhaifan dan ‘ajalah manusia
inilah permulaan dari semua bencana yang menimpa manusia, dan inilah pula yang
harus disadari sepenuhnya oleh setiap pribadi. Yaitu kesadaran bahwa pribadi
manusia mana pun, khususnya berkenaan dengan diri sendiri, selamanya mempunyai
kemungkinan untuk mmebuat kesalahan dan kekeliruan, karena tidak seorang pun
luput dari kedhaifan dan ‘ajalah itu. Karena itu, setiap pribadi dituntut untuk
memiliki kerendah-hatian dan tawadhu dalam memandang diri sendiri, yaitu sikap
untuk tidak mengaku sebagai paling baik dan paling benar.”
Kemudian, Cak Nur mengatakan pula
apabila manusia tidak menyadari keterbatasan dan kelemahan dirinya, maka akan
lahir sebuah sikap sombong, yaitu sikap tiranik yang menganggap diri lebih
besar dai siapapun. Sikap semacam ini di dalam al-Qur’an disebut sebagai thughyan
dan pelakunya disebut thaghgut. Sikap tiranik ini apabila dibiarkan
akan melahirkan rasa hak dan wewenang otoritas untuk memaksakan orang lain
mengikuti alur pikiran dan tindakannya sendiri.
Padahal sebagaimana telah
dikemukakan, manusia adalah khalifah, dan tentu saja sangat keliru apabila
pemahaman khalifah hanya ditujukan kepada para pemimpin, sebab apabila
demikian, yang wajib untuk memakmurkan bumi hanyalah para pemimpin. Akan
tetapi, dikarenakan yang wajib memakmurkan bumi bukan hanya para pemimpin,
melainkan setiap manusia dengan bidangnya masing-masing, maka seharusnya wajib
pula lah bagi setiap manusia untuk tidak merusak kemuliaan dan harga diri yang
ada pada manusia itu sendiri, dimana kemuliaan tersebut -yakni manusia sebagai
khalifah- adalah langsung pemberian dari Allah.
Mengenai kemuliaan, Quraish Shihab memasukkan
point ini ke dalam pembahasan nilai penting akhlak, selain itu, Quraish Shihab
juga memaparkan nilai penting akhlak lainnya seperti keikhlasan, membaca, ilmu,
kesabaran, amanah, kesetiaan dan lainnya. Namun kita akan kembali kepada tujuan
tulisan ini. Singkatnya, aku akan memaparkan salah satu nilai akhlak yang
penting dalam Islam, yaitu kemuliaan dan harga diri. Nilai inilah yang kemudian
dilanggar oleh Ely Natalia.
Kemuliaan dan harga diri itu hanya
ada pada manusia, karena makhluk non manusia di alam semesta ini derajatnya
lebih rendah dari manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-jatsiyah ayat 13:
“Dia telah menundukkan (pula)
untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai
Rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Dengan demikian, derajat manusia di
alam semesta ini sebagai makhluk sosial adalah sama, -namun berbeda sebagai
makhluk ruhani. Sebagai makhluk ruhani, tentu saja manusia tidak dipandang
sebagai sama, karena itu masyhur sekali dikalangan umat muslim sebuah perkataan
“yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya adalah takwa”.
Akan tetapi, karena konteks tulisan ini adalah realitas sosial, maka dapat
dipastikan bahwa seorang muslim juga seorang egalitarianis.
Dari sana, kita juga menemukan
petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah juga menganugerahi manusia
kehormatan (Q.S. Al-Isra: 70). Karena itu, sudah sepatutnya kita saling
menghargai kepada setiap manusia, sebab kata manusia yang ada pada Q.S. Al Isra
ayat 70 tersebut bersifat universal, dan sekali lagi, akhlak pun sifatnya
universal, maka kita harus saling menjaga kemuliaan, kehormatan dan harga diri
orang lain.
Penutup
Tindakan manusia dalam
kesehariannya lahir dari ilmu yang dimilikinya, dan telah dikatakan bahwa sopan
santun adalah hal yang pertama kali -bahkan seringkali- dilihat oleh orang
lain, dikarenakan sopan santun adalah bagian dari akhlak, dan akhlak adalah
satu bidang ilmu tersendiri, maka seseorang memerlukan ilmu dalam berperilaku
sopan santun, dampak dari seseorang yang tidak mengetahui ilmu mengenai akhlak
adalah kekeliruan-kekeliruan yang melanggar konsekuensi keberislamannya, namun
kita juga mendapati seseorang yang mengetahui akhlak baik namun pada
realitasnya tidak berperilaku baik, maka hal ini bukan lagi masalah
ketidaktahuan, melainkan masalah kesadaran, karena itu, disamping kita
memerlukan ilmu akhlak, pada saat yang bersamaan pula memerlukan kesadaran
akhlak.
Namun, baik ketidaktahuan maupun
ketidaksadaran adalah sama-sama perilaku buruk, aku tentu saja tidak mengetahui
pada posisi mana Ely Natalia berada, yang pasti, perilaku memarahi bawahan
dihadapan khalayak masuk ke dalam kategori akhlak buruk, sebab melanggar konsep
kemuliaan, kehormatan dan harga diri yang telah diberikan oleh Allah kepada
setiap manusia.
Untuk sekedar kembali memperjelas,
maka aku akan menuliskannya ke dalam point-point berikut:
1.
Manusia
diciptakan oleh Allah sebagai khalifah, karena itu sikap egalitarianis adalah
salah satu konsekunesi logis keberislaman seorang muslim.
2.
Salah
satu nilai penting dalam akhlak adalah kemuliaan dan harga diri.
3.
Ely
Natalia melanggar keberislamannya sebab tidak egalitarianis.
4.
Ely
Natalia melanggar konsep akhlak sebab merusak kehormatan, kemuliaan dan harga
diri seseorang dengan memarahinya di hadapan umum.
5.
Keburukan
ini lahir diantara dua posisi, pertama ketidaktahuan Ely Natalia pada konsep
akhlak, dan kedua ketidaksadaran Ely Natalia pada keharusan menjalankan konsep
akhlak.
6.
Sebagaimana
yang telah di katakan, baik ketidaktahuan maupun ketidaksadaran, sama-sama
masuk ke dalam kategori akhlak buruk.
Atas pandanganku ini, dan
berdasarkan hasil pengamatanku setelah lebih dari tiga bulan bekerja sebagai
guru Pendidikan Agama Islam dan budi pekerti (PAI & BP) di SMK Kebangsaan,
agaknya konsep akhlak adalah point penting yang menjadi proyeksi Islam di SMK
Kebangsaan, akan tetapi proyeksi Islam yang berupa akhlak ini tentu saja akan
sulit diimplementasikan kepada seluruh elemen SMK Kebangsaan, baik guru maupun murid,
apabila Ely Natalia selaku kepada sekolah sekaligus role model masih
secara nyata menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan konsep akhlak dalam
Islam.
Proyeksi Islam yang berupa
rekonstruksi akhlak mulia ini juga merupakan bagian dari visi SMK Kebangsan,
karena itu, sifatnya universal, sama dengan konsep akhlak. Proyeksi ini, tentu
saja adalah bagian besar dari TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) seorang guru PAI
& BP. Karena itu, sangat keliru dan kekanak-kanakan apabila kritik ini
dianggap sebagai perlawanan atau bahkan pembangkangan.
Jadi, sebagai seorang muslim yang
juga sekaligus guru di SMK Kebangsan, tulisan ini adalah bentuk kepedulianku
terhadap Islam dan SMK Kebangsaan, aku tidak rela apabila Islam di SMK
Kebangsaan hanya bersifat formalitas belaka, atau lebih tepatnya hanya sekedar
identitas eksistensial dengan kegiatan-kegiatannya seperti maulid nabi atau
seperti adanya seragam muslim. Islam harus menjadi nafas bagi setiap langkah
yang dipilih dalam tujuan apapun oleh setiap elemen yang ada di SMK Kebangsaan.
Sungguh, misi utama pengutusan Nabi
Muhammad bukanlah untuk menjadikan satu bumi menjadi muslim, melainkan untuk
menyempurnakan akhlak. Sikap yang sesuai dengan akhlak melahirkan keamanan dan
kedamaian sesama manusia. Berislam berarti berkahlak, berkahlak berarti berperilaku
egalitarianis, tidak akan terwujud sumber daya manusia yang berakhlak mulia tanpa
egalitarianisme Karena itu, mewujudkan Islam egalitarianis adalah hal yang
niscaya di SMK Kebangsaan.
Sumber Buku
al-Ghazali, A. H. (2004). Bidayah al-Hidayah.
Beirut: Dar al-Minhaj.
HAMKA. (2016). Lembaga
Budi. Jakarta: Republika.
Leaman, E. S.
(2003). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama. Bandung:
Mizan.
Madjid, N. (2008). Islam
Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PARAMADINA.
Madjid, N. (2013). Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Shihab, Q. (2022). Yang
Hilang Dari Kita: Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati.
Yazdi, M. M.
(2019). Filsafat Moral: Sebuah Pengantar. Jakarta: Sadra Press.
Sumber Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar