Minggu, 08 Oktober 2023

Jabatan Elit, Akhlak Sulit: Prospek Integrasi Islam Egalitarianis di SMK Kebangsaan


Lenn E. Godman, seorang ahli filsafat Islam di Universitas Vanderbilt, mengatakan, dengan mengutip Ibn Thufayl dalam karyanya Hayy ibn Yaqzhan, jika kita hendak menjalani hidup dengan benar, maka terdapat tiga persoalan yang harus dijawab dengan benar pula, yaitu mengetahui bagaimana cara dirinya meng-Ada dan apa posisinya di alam semesta, yang juga berarti apa yang harus dilakukannya dalam menjalani hidup di alam semesta. (Leaman, 2003)

Tatkala Hayy (tokoh dalam karya Ibn Thufayl) menemukan hal yang termulia dan sejati di dalam dirinya karena memiliki keserupaan dengan sang pencipta-Nya (Allah; Ed:Rifki), dan kesadarannya bahwa ia adalah makhluk yang melampaui hal-hal fisik, maka segera dia meniru sifat-sifat-Nya, cara-cara-Nya dan melakukan apa yang dikehendakinya-Nya. Tingkah meniru tersebut, menurutku adalah jawaban dari posisinya di alam semesta sebagai budak Tuhan. (Leaman, 2003)

Selanjutnya, berkaitan dengan posisi manusia di alam semesta ini, penjelasan lain yang menjadi tambahan dan memperjelas konsep ku mengenai hal tersebut diperoleh dari pemikiran Nurcholis Madjid -ke depan akan kita sebut Cak Nur saja sesuai dengan panggilan akrabnya,- dalam beberapa karyanya seperti Islam Doktrin dan Peradaban serta Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.

Cak Nur mengatakan bahwa posisi manusia di alam semesta ini adalah sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan alam semesta, sehubungan dengan ini, Cak Nur juga mengatakan bahwa memperlakukan dan menilai manusia secara sama adalah bagian dari konsekuensi logis keberislaman seseorang kepada Allah, Tuhan yang telah menunjuknya sebagai khalifah. (Madjid, 2008)

Agaknya akan sangat panjang apabila aku menguraikan pemikiran Cak Nur mengenai manusia sebagai khalifah Allah, sebab akan terlalu bertele-tele dan tidak menyangga tujuan penyajian tulisan ringkas ini, cukuplah dipahami bahwa, sebagai seorang muslim, yang seharusnya menganut way of life Islam secara utuh, tidak menyalahi keberislamannya dengan perilaku menyimpang dari konsep persamaan atau kesetaraan manusia yang dikenal sebagai -dengan meminjam istilah yang terkenal di Perancis- egalitarianisme.

Setelah mengetahui -secara ringkas- posisi manusia di alam semesta, serta keharusannya bertindak sebagai seorang yang egalitarianis, aku akan menggunakan pemahaman ini untuk membaca realitas yang aku alami baru-baru ini ditempatku mengajar yaitu SMK Kebangsaan, yang telah melaksanakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW; dimana pada saat pelaksanaan kegiatan tersebut, aku melihat suatu kejanggalan pada kepala sekolah yang sedang menjabat saat ini, kepala sekolah tersebut bernama Ibu Ely Natalia.

Pada saat pelaksanaan kegiatan tersebut, Ely mempersembahkan sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan konsekuensi keberislamannya, melainkan juga bertentangan dengan konsep akhlak dalam Islam dan juga visi dari sekolah tersebut, dimana visi sekolah mencantumkan akhlak al-karimah sebagai bagian penting dari point visi yang hendak di capai.

Tentu saja hal ini menjadi masalah, pertama, kepala sekolah dapat dikatakan sebagai wajah dari sekolah itu sendiri, kedua, kepala sekolah seharusnya sedapat mungkin menjadi role model bagi bawahannya yang pada garis tertentu akan dijadikan sebagai objek keteladanan bagi peserta didik yang ada di SMK Kebangsaan.

Adapun kejanggalan yang kemudian menjadi embrio masalah tersebut adalah tindakan kepala sekolah yang memarahi bawahannya di hadapan murid, disini tentu aku pun berpikiran bahwa tindak kemarahan tersebut pasti memiliki sebab, akan tetapi, tetap saja perilaku menghakimi atau memarahi seseorang dihadapan khalayak tidak sesuai dengan konsep akhlak dalam Islam dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya.

Berdasarkan uraian diatas, aku -dalam tulisan ini- hendak membuktikan secara ilmiah bahwa tindakan Ely Natalia tersebut benar-benar tidak sesuai dengan konsep akhlak dalam Islam. Adapun konsep akhlak tersebut akan merujuk pada karya Quraish Shihab yang berjudul Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Perlu pula diketahui bahwa konsep akhlak Quraish Shihab ini, menurut penilaianku, berjenis divine command theory (teori perintah Ilahi) yang secara garis besar maknanya adalah -sebagaimana dikatakan oleh M.T Mishbah Yazdi, seorang filosof Islam Neo-Sadrian- kebenaran dinilai apabila Tuhan mengatakannya sebagai benar dan begitu pula sebaliknya apabila berkaitan dengan hal yang salah. (Yazdi, 2019)

Tulisan ini akan menyoroti masalah yang telah dikemukakan diatas, jadi, untuk sekedar memperjelas tujuan dari tulisan ini, aku akan mengatakan bahwa maksud dari integrasi Islam disini adalah integrasi nilai-nilai akhlak Islam secara menyeluruh, yakni kepada seluruh elemen terkait yang berada di SMK Kebangsaan, mulai dari murid, guru, pejabat sekolah, satpam dan elemen-elemen lainnya. Namun, tulisan ini terutama ditujukan kepada Ely Natalia selaku kepada sekolah yang, betapapun elakan atau alasan yang diberikan, menurutku, tetap saja bersalah atas tindakannya pada hari tersebut.

Akhlak dan Sopan Santun

Penggunaan kata akhlak, dalam keseharian kita seringkali dipersamakan dengan etika. Padahal, apabila kita melakukan penelusuran lebih jauh dan mendalam, tentu kita akan menemukan perbedaan yang sangat jelas diantara ketiga kata tersebut. Akan tetapi, bukan disini penjelasan terperinci itu akan dijelaskan, cukuplah diketahui bahwa akhlak adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, sifat dasar atau kondisi kejiwaan seseorang yang telah terpendam dan mantap di dalam diri seseorang dan tampak ke permukaan melalui kehendak atau kelakukan dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Adapun etika, adalah ilmu yang mempelajari suatu statement akhlak. (Shihab, 2022)

Dari penjelasan tersebut, lanjut Quraish Shihab, kita akan menemukan dua sisi yang berbeda, pertama sisi dalam yang merujuk pada sifat dasar atau kondisi kejiwaan, dan sisi kedua adalah -yang sekaligus merupakan pantulan dari sisi pertama- merujuk pada kelakuan yang tampak ke permukaan. (Shihab, 2022)

Nah, dikarenakan sisi luar adalah pantulan atau kelanjutan dari sisi dalam, maka -seharusnya- tingkah laku manusia adalah baik dan benar, sebab kecenderungan kepada hal yang baik dan benar adalah fitrah manusia, karena itu, seseorang yang berperilaku baik disebut sebagai seseorang yang berakhlak baik.

Kemudian, apabila tingkah laku seseorang adalah salah dan buruk, maka ada dua hal yang menjadi masalah disini, pertama, seseorang tersebut telah melawan fitrahnya, kedua ada sesuatu yang menyebabkan seseorang tersebut melawan fitrahnya, dalam konteks ini, sesuatu tersebut adalah penyakit hati yakni ‘ujub atau pongah.

Menurut al-Ghazali, seorang yang dikenal sebagai pemikir Islam di kalangan Sunni, pongah adalah penyakit hati yang paling berbahaya sebab merasa diri paling hebat mulia dan besar. Orang pongah ialah orang yang, bila dia memberi nasihat akan memalukan orang lain, namun bila dia dinasihati akan bersikap kasar kepada pemberi nasihat. (al-Ghazali, 2004)

Pongah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit hati yang dibahas oleh para sufi, tentu saja masih banyak penyakit hati lainnya. Namun yang paling penting adalah, dikarenakan pongah merupakan masalah turunan kedua dari buruknya tingkah laku seseorang, maka kita bisa memasukkan bahwa pongah adalah perilaku buruk, dan orang yang berperilaku buruk disebut sebagai orang yang tidak berakhlak.

Dalam realitas, kita juga akan menemukan seseorang hanya akan berperilaku baik kepada sebagian orang, dan berperilaku buruk kepada sebagian lainnya, posisi orang ini, tetap termasuk ke dalam orang yang berperilaku buruk, atas dasar bahwa seharusnya, akhlak yang baik tetap ditujukan kepada siapapun, sebab akhlak -yang baik- seharusnya bersifat universal, karena itu cara pandangnya adalah objektif, bukannya subjektif.

Tingkah laku yang keluar ke permukaan itu biasanya disebut dengan sopan santun. Penyematan kata sopan santun tersebut berpijak dari akhlak yang sebagaimana harusnya, yakni akhlak yang baik, karena itu, sopan santun berarti akhlak yang baik. Sopan santun itu kemudian diperoleh petunjuknya melalui nilai-nilai mutlak -yakni al-Qur’an dan hadits serta norma umum yang berlaku di masyarakat setempat yang biasanya bersifat relatif karena berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, dan biasanya norma tersebut diperoleh pula melalui agama.

Quraish Shihab mengatakan bahwa sopan santun adalah hal yang sangat ditekankan oleh Islam, sebab sopan santun akan melahirkan hubungan yang harmonis dan perasaan damai, selain itu, sopan santun juga dapat menjauhkan permusuhan. (Shihab, 2022)

Hal ini nampaknya terbaca dalam realitas, sebab sopan santun adalah hal yang paling banyak dilihat dan menjadi indikator utama baik buruknya seseorang, karena itu, semakin seseorang tersebut memiliki sopan santun, maka semakin baik akhlaknya, semakin baik akhlaknya, maka semakin baik pula keberislamannya. (Shihab, 2022)

Nilai Penting Akhlak: Kemuliaan dan Harga Diri Manusia

Berkaitan dengan pembahasan kita selanjutnya, baik agaknya kita sedikit menilik pandangan seorang ulama Indonesia, HAMKA, dalam bukunya lembaga budi, mengatakan bahwa seratus perkataan dan butir hikmah yang mengandung ketinggian martabat dan budi pekerti, pantaslah menjadi renungan bagi kita semuanya. (HAMKA, 2016)

Aku teringat kepada Cak Nur. Dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cak Nur mengatakan bahwa manusia tidak hanya memiliki kecenderungan kepada hal yang baik dan benar, melainkan juga memiliki hawa nafsu yang menjadikannya sebagai makhluk lemah. Dikatakan pula oleh para orang-orang bijaksana bahwa manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan. Baik kiranya apabila aku menguti pandangan Cak Nur disini untuk sekedar memperjalas bahwa betapa pentingnya manusia melakukan perenungan terhadap hikmah-hikmah akhlak:

“Kedhaifan dan ‘ajalah manusia inilah permulaan dari semua bencana yang menimpa manusia, dan inilah pula yang harus disadari sepenuhnya oleh setiap pribadi. Yaitu kesadaran bahwa pribadi manusia mana pun, khususnya berkenaan dengan diri sendiri, selamanya mempunyai kemungkinan untuk mmebuat kesalahan dan kekeliruan, karena tidak seorang pun luput dari kedhaifan dan ‘ajalah itu. Karena itu, setiap pribadi dituntut untuk memiliki kerendah-hatian dan tawadhu dalam memandang diri sendiri, yaitu sikap untuk tidak mengaku sebagai paling baik dan paling benar.” (Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 2013)

Kemudian, Cak Nur mengatakan pula apabila manusia tidak menyadari keterbatasan dan kelemahan dirinya, maka akan lahir sebuah sikap sombong, yaitu sikap tiranik yang menganggap diri lebih besar dai siapapun. Sikap semacam ini di dalam al-Qur’an disebut sebagai thughyan dan pelakunya disebut thaghgut. Sikap tiranik ini apabila dibiarkan akan melahirkan rasa hak dan wewenang otoritas untuk memaksakan orang lain mengikuti alur pikiran dan tindakannya sendiri. (Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 2013)

Padahal sebagaimana telah dikemukakan, manusia adalah khalifah, dan tentu saja sangat keliru apabila pemahaman khalifah hanya ditujukan kepada para pemimpin, sebab apabila demikian, yang wajib untuk memakmurkan bumi hanyalah para pemimpin. Akan tetapi, dikarenakan yang wajib memakmurkan bumi bukan hanya para pemimpin, melainkan setiap manusia dengan bidangnya masing-masing, maka seharusnya wajib pula lah bagi setiap manusia untuk tidak merusak kemuliaan dan harga diri yang ada pada manusia itu sendiri, dimana kemuliaan tersebut -yakni manusia sebagai khalifah- adalah langsung pemberian dari Allah.

Mengenai kemuliaan, Quraish Shihab memasukkan point ini ke dalam pembahasan nilai penting akhlak, selain itu, Quraish Shihab juga memaparkan nilai penting akhlak lainnya seperti keikhlasan, membaca, ilmu, kesabaran, amanah, kesetiaan dan lainnya. Namun kita akan kembali kepada tujuan tulisan ini. Singkatnya, aku akan memaparkan salah satu nilai akhlak yang penting dalam Islam, yaitu kemuliaan dan harga diri. Nilai inilah yang kemudian dilanggar oleh Ely Natalia.

Kemuliaan dan harga diri itu hanya ada pada manusia, karena makhluk non manusia di alam semesta ini derajatnya lebih rendah dari manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-jatsiyah ayat 13:

“Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai Rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Dengan demikian, derajat manusia di alam semesta ini sebagai makhluk sosial adalah sama, -namun berbeda sebagai makhluk ruhani. Sebagai makhluk ruhani, tentu saja manusia tidak dipandang sebagai sama, karena itu masyhur sekali dikalangan umat muslim sebuah perkataan “yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya adalah takwa”. Akan tetapi, karena konteks tulisan ini adalah realitas sosial, maka dapat dipastikan bahwa seorang muslim juga seorang egalitarianis.

Dari sana, kita juga menemukan petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah juga menganugerahi manusia kehormatan (Q.S. Al-Isra: 70). Karena itu, sudah sepatutnya kita saling menghargai kepada setiap manusia, sebab kata manusia yang ada pada Q.S. Al Isra ayat 70 tersebut bersifat universal, dan sekali lagi, akhlak pun sifatnya universal, maka kita harus saling menjaga kemuliaan, kehormatan dan harga diri orang lain. (Shihab, 2022)

Penutup

Tindakan manusia dalam kesehariannya lahir dari ilmu yang dimilikinya, dan telah dikatakan bahwa sopan santun adalah hal yang pertama kali -bahkan seringkali- dilihat oleh orang lain, dikarenakan sopan santun adalah bagian dari akhlak, dan akhlak adalah satu bidang ilmu tersendiri, maka seseorang memerlukan ilmu dalam berperilaku sopan santun, dampak dari seseorang yang tidak mengetahui ilmu mengenai akhlak adalah kekeliruan-kekeliruan yang melanggar konsekuensi keberislamannya, namun kita juga mendapati seseorang yang mengetahui akhlak baik namun pada realitasnya tidak berperilaku baik, maka hal ini bukan lagi masalah ketidaktahuan, melainkan masalah kesadaran, karena itu, disamping kita memerlukan ilmu akhlak, pada saat yang bersamaan pula memerlukan kesadaran akhlak.

Namun, baik ketidaktahuan maupun ketidaksadaran adalah sama-sama perilaku buruk, aku tentu saja tidak mengetahui pada posisi mana Ely Natalia berada, yang pasti, perilaku memarahi bawahan dihadapan khalayak masuk ke dalam kategori akhlak buruk, sebab melanggar konsep kemuliaan, kehormatan dan harga diri yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia.

Untuk sekedar kembali memperjelas, maka aku akan menuliskannya ke dalam point-point berikut:

1.    Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah, karena itu sikap egalitarianis adalah salah satu konsekunesi logis keberislaman seorang muslim.

2.    Salah satu nilai penting dalam akhlak adalah kemuliaan dan harga diri.

3.    Ely Natalia melanggar keberislamannya sebab tidak egalitarianis.

4.    Ely Natalia melanggar konsep akhlak sebab merusak kehormatan, kemuliaan dan harga diri seseorang dengan memarahinya di hadapan umum.

5.    Keburukan ini lahir diantara dua posisi, pertama ketidaktahuan Ely Natalia pada konsep akhlak, dan kedua ketidaksadaran Ely Natalia pada keharusan menjalankan konsep akhlak.

6.    Sebagaimana yang telah di katakan, baik ketidaktahuan maupun ketidaksadaran, sama-sama masuk ke dalam kategori akhlak buruk.

Atas pandanganku ini, dan berdasarkan hasil pengamatanku setelah lebih dari tiga bulan bekerja sebagai guru Pendidikan Agama Islam dan budi pekerti (PAI & BP) di SMK Kebangsaan, agaknya konsep akhlak adalah point penting yang menjadi proyeksi Islam di SMK Kebangsaan, akan tetapi proyeksi Islam yang berupa akhlak ini tentu saja akan sulit diimplementasikan kepada seluruh elemen SMK Kebangsaan, baik guru maupun murid, apabila Ely Natalia selaku kepada sekolah sekaligus role model masih secara nyata menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan konsep akhlak dalam Islam.

Proyeksi Islam yang berupa rekonstruksi akhlak mulia ini juga merupakan bagian dari visi SMK Kebangsan, karena itu, sifatnya universal, sama dengan konsep akhlak. Proyeksi ini, tentu saja adalah bagian besar dari TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) seorang guru PAI & BP. Karena itu, sangat keliru dan kekanak-kanakan apabila kritik ini dianggap sebagai perlawanan atau bahkan pembangkangan.

Jadi, sebagai seorang muslim yang juga sekaligus guru di SMK Kebangsan, tulisan ini adalah bentuk kepedulianku terhadap Islam dan SMK Kebangsaan, aku tidak rela apabila Islam di SMK Kebangsaan hanya bersifat formalitas belaka, atau lebih tepatnya hanya sekedar identitas eksistensial dengan kegiatan-kegiatannya seperti maulid nabi atau seperti adanya seragam muslim. Islam harus menjadi nafas bagi setiap langkah yang dipilih dalam tujuan apapun oleh setiap elemen yang ada di SMK Kebangsaan.

Sungguh, misi utama pengutusan Nabi Muhammad bukanlah untuk menjadikan satu bumi menjadi muslim, melainkan untuk menyempurnakan akhlak. Sikap yang sesuai dengan akhlak melahirkan keamanan dan kedamaian sesama manusia. Berislam berarti berkahlak, berkahlak berarti berperilaku egalitarianis, tidak akan terwujud sumber daya manusia yang berakhlak mulia tanpa egalitarianisme Karena itu, mewujudkan Islam egalitarianis adalah hal yang niscaya di SMK Kebangsaan.

 

Sumber Buku

al-Ghazali, A. H. (2004). Bidayah al-Hidayah. Beirut: Dar al-Minhaj.

HAMKA. (2016). Lembaga Budi. Jakarta: Republika.

Leaman, E. S. (2003). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama. Bandung: Mizan.

Madjid, N. (2008). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PARAMADINA.

Madjid, N. (2013). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Shihab, Q. (2022). Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati.

Yazdi, M. M. (2019). Filsafat Moral: Sebuah Pengantar. Jakarta: Sadra Press.

 

Sumber Internet

https://smkkebangsaan.sch.id/visi-dan-misi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...