Panas desar
angin Pondok Betung membuatku agak jengkel, disini hampir sulit menemuka pohon
yang dipuja puji. Setiap pukul 05.45, orang-orang berangkat menuju tempat
mencari nafkah untuk keberlangsungan hidupnya, aku sih masih menyempatkan untuk
menikmati secangkir kopi hangat yang di masak dengan kompor listrik.
Bagaimana
jika menari berdua ? sepertinya perlu menunggu hujan, agar air hujan menutupi
air mata, menulis apa aku ini ? sedangkan Pondok Betung tidak pernah hujan,
padahal aku sudah lebih dua bulan tinggal disini, tapi hanya dua kali hujan.
Dua kali, seperti aku diantar dua wanita yang sangat aku sayangi, pertama
ibuku, kedua adalah yang kini jasadnya sudah ditempa belatung, dan jiwanya
berbincang dengan munkar nakir.
Tidak
sulit menjadiku, santai saja, orang berislam itu mestinya jadi santai, bukan
malah terhempas tangkai. Kata teman guruku yang Bernama Dayat, begini kira-kira
katanya:
“Santai
Aja Mas, Namanya Kehidupan”
Betul, kata
itu sering diucapkannya dengan nada pluralis, sepertinya cocok untukku sebagai
seorang sosialis egalitarianis.
Malam pun
kadang panas, aku heran dengan daerah ini. Saat pagi buta ketika nyamuk mulai
kelelahan mencari sehisap darah, air pun kadang terasa seperti es yang sudah
disimpan diluar kulkas selama 31 menit, biasa saja rasanya, hampa. Pernah kah
kau merasa ?
Menulis
apa aku ? ya tentu menulis untukku, buat apa aku menulis bagus ? ya buatku,
menulis adalah caraku mengekspresikan pikiran, selain dengan berbicara, tentu saja.
Kurang ajar wanita-wanita yang pernah dekat dengaku, mereka malah abadi dalam
karya-karyaku. SIALAN
Kini aku
menjadi guru, tentu saja untukku, ya, karena memang itu takdir Tuhan untukku,
bukan untukmu ? kenapa aku mengajar ? ya untukku, kata siapa untukmu ? bukankah
dengan mengajar ilmu ku akan bertambah ? kata siapa hanya kamu yang bertambah ?
Geer banget kamu, ishhh dasar kepedean.
Bagaimana
kalo sekedar jalan bersama di daerah dingin dekat rumahku ? tapi sepertinya
sayang jika hanya berjalan, bagaimana kalo kita tutup kesendirian ini dengan
pernikahan ? tapi aku tidak mau, aku belum menjadi seorang pemikir, menjadi
pemikir adalah cita-citaku saat ini, apa kamu tidak percaya ? kamu boleh
berdiskusi dengan teman-teman ku kelas 10-12 SMK Kebangsaan.
Bagaimana
jika aku tidak pernah mengajar di SMK Kebangsaan ? bukan kah kamu akan merugi ?
tentu saja, karena aku selalu memberi keceriaan, bagaimana tidak ? aku telah
berislam, dan sudah ku katakana, berislam itu membuat hidup menjadi tenang !,
coba deh, sini sama aku, itu pun jika aku mau. Lho, ngapain aku harus nunggu
kamu mau ? memang aku tokoh novel fiksi !
Menulis
apa aku ?
Mau
berkencan denganku ? jangan. Bukankah kamu tidak berperikehatian ? memangnya
kamu punya hati ? Lha, kamu kan bocah empiris, percayanya cuma sama yang
keliatan. Yaa, aku juga keliatan sih, cuma, kayaknya mending gausah, kembali
saja kamu, kesana, ke lapangan, ke sekolah yang mempertemukan pakaianmu dengan
pakaiannya, ke sekolah yang menjemukan otakmu dan otaknya, ke sekolah yang mempersatukan
namamu dengan namanya.
Tunggu
dulu, siapa kamu ? aku siapa ? terus dirinya siapa ? ketiganya kan tiada, yang
ada hanyalah… Sudahlah, kamu juga tidak akan mengerti bila ku tulis, maka ikuti
apa kataku. Mari berkencan dengan pikiranku, ya tentu saja di rumahku yang
beriklim dingin itu, wajahmu akan terkena sentuhan hujan, saat itu, kamu baru
akan sadar, begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar