Jumat, 08 September 2023

Tentang XI AKL SMK Kebangsaan

 

Kebangsaan memang bukan sekolah yang besar, bisa dinilai sebagai sekolah yang berada di level normal, karena tidak bisa dimasukkan ke dalam level gawat darurat. Siswa-siswi disana juga hampir bisa dikata sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya, yakni sangat beragam. Aku, sebagai seorang guru, tentu saja harus bisa membangun relasi rasa dengan mereka sesuai dengan karakteristik siswa-siswinya di kelas masing-masing.

Disana, aku mengajar sebanyak 12 kelas, dari kelas X sampai kelas XII. Bagiku, mereka -para siswa dan siswi- begitu istimewa, walau beberapa memang agak menjengkelkan, namun aku harus tetap berbaik sangka dan berbaik rasa kepada mereka, karena mereka semua adalah manusia, sudah menjadi konsekuensi logis baik ku yang tengah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan untuk berbuat demikian.

Setiap kelas, sebagaimana tadi aku katakan, memiliki karakter yang berbeda, tentu ini mempengaruhi metode pengajaranku di Angkatan, bahkan di setiap kelasnya. Diantara metode mengajarku adalah memberikan bumbu keromantisan dengan tulus kepada mereka, pasti, yang disebut mereka disini adalah siswa-siswi kelas XI AKL.

Pagi tadi adalah jam mengajarku di kelas tersebut, seperti biasa aku memulai pelajaran dengan sama-sama membaca lima surat pendek yang mereka pilih sendiri. Kelas hari ini agak lebih senjang, aku hanya memaparkan kisi-kisi penilaian Tengah semester yang akan segera dilaksanakan. Kisi-kisi yang aku buat tentu saja bukan seperti kisi-kisi pada umumnya, aku membuatnya menjadi semacam cerpen dengan bumbu-bumbu syair dan sajak di awal-awal tulisan, tak luput aku memasukkan garam-garam filsafat di dalamnya.

Selanjutnya, kelas beralih menjadi pembacaan tulisan-tulisan yang telah aku buat sebelumnya. Ada tiga tulisan yang aku baca, pertama adalah Cemburu Kepada Kaca, kedua Perihal Cantik: Dari Relativism eke Subjektivisme, dan ketiga Hujan dan Payungnya: ‘Aku Akan Selalu Menjadi Payung Bagimu Disaat Hujan’.

Dari ketiga cerpen tersebut, agaknya cerpen ketiga lah yang agak mengangetkan, selain berasal dari kisah nyata yang aku alami, cerpen itu ku tulis dengan penuh perasaan tulus, setulus keikhlasanku melepaskan wanita itu, terlebih, untuk menambah rempah dalam pembacaan cerpen tersebut, aku coba mengiringinya dengan musik dari Anggi Marito yang judulnya Tak Segampang Itu.

Aku tak menyangka mereka menikmati dan memahami alur dari cerita itu, walau aku tak mendengar dan melihat tangisan mereka, aku rasa, mereka merasakan apa yang aku rasakan, sebab tulisan yang dibuat dengan penuh perasaan tentu saja hanya akan diterima oleh rasa.

Sekedar bercerita, melalui tulisan, tapi itulah aku, sejak dulu memang sudah selalu menulis, walau kadang terdapat konflik pemilahan kata, runtutan logika dan penempatan rasa yang sangat sulit dihindarkan ketika menulis, dan satu lagi, aku menulis untuk diriku, bukan untuk orang lain, menulis seperti mengecup tanpa bibir, begitu kira-kira perkataan dari Daniel Glattauer yang sangat menginspirasiku.

Aku ingin kembali sebentar dengan XI AKL, terimakasih telah menjadi teman-temanku. Dan rasa terimakasih ini juga tentu saja ingin sekali aku sampaikan kepada seluruh siswa dan siswi yang ada di Kebangsaan, semoga sehat selalu.

 

08.09.23

 

18.59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...