Tradisi bandongan, atau -seperti yang dikatakan oleh Nurcholis
Madjid, dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren- maknani dan biasa disebut juga sebagai ngesahi, merupakan
sebuah tradisi berbentuk metode pengkajian kitab yang sejak abad 19 awal sampai
abad 21 ini masih tetap digunakan di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia,
terlebih pesantren tradisional.
Metode itu agaknya lebih tepat disebut tradisi, sebab telah
berjalan cukup lama dan menjadi bagian dari diri pesantren itu sendiri,
dimanapun anda mondok, terlebih di pesantren tradisional, maka metode
pengkajian kitabnya adalah bandongan, maknani atau ngesahi.
Menurut Nurcholis Madjid, metode tersebut digunakan sebab
kebanyakan para santri belum menguasai Bahasa Arab. Penerjemahan biasanya
menggunakan Bahasa Jawa dengan gramatika tertentu, seperti utawi, ikut, saking,
kadue dan lain sebagainya. Walau demikian, kebanyakan para kiyai di Indonesia
terlahir dengan metode pengkajian tersebut, jadi, tentu saja metode yang sudah
menjadi tradisi tersebut lekat menjadi sebuah nilai pesantren.
Pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga Pendidikan yang khas di
Indonesia, sebab Pendidikan umum yang kini lebih dirasa eksis, merupakan sebuah
kelanjutan dari konsep snouckisme yang mulanya bertujuan menjauhkan umat Islam
dari pengkajian Islam, sebab pada saat itu, orang-orang muslim yang memiliki
jiwa kuat terhadap keislamannya, merupakan penghalang bagi kelanjutan Belanda
dalam menjajah negeri pertiwi yang indah nan jelita ini.
Akan tetapi, tentu kita akan keliru apabila mengatakan tradisi itu
milik pesantren, sebagai sebuah metode pengkajian, bandongan sudah sepatutnya
dinilai secara objektif sebagai metode pembelajaran, karena itu, hukumnya
adalah sah apabila metode tersebut juga digunakan di lembaga Pendidikan umum.
Hal yang perlu diingat adalah, mayoritas siswa yang menempuh Pendidikan di lembaga
Pendidikan umum pun kebanyakan adalah seorang muslim.
Sebagai seorang santri yang mencintai dunia pesantren, aku juga
memiliki pengalaman menjadi seorang mahasiswa, setelah banyak merenung dan
membandingkan metode pengkajian dari hasil pengalamanku belajar, hatiku lebih
cenderung dengan metode bandongan itu daripada metode pengkajian akademis yang
sering digunakan di kalangan intelektual. Walau demikian, hal ini juga tidak
berarti aku membenci metode pengkajian selain metode bandongan itu.
Kini aku menjadi seorang guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di salah
satu Yayasan yang ada di Tangerang Selatan, lebih jelasnya aku ditempatkan di
unit SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Pertama, terlebih dahulu aku hendak
mengetahui latar belakang Pendidikan para murid disana, hasilnya adalah, 95%
mereka adalah lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan 5% nya adalah lulusan
Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk lulusan pesantren atau sekedar mondok
adalah 0%. Jumlah 95% itu sudah termasuk juga murid-murid yang beragama Kristen,
apabila diperjelas lagi, maka 89% nya adalah muslim dan 6% nya adalah kristen.
Tentu saja, menjadi guru PAI di kalangan demikian bukan hal yang
mudah, sebab hanya sekedar rukun Islam dan rukun iman saja mereka tidak
mengetahui. Disinilah letak permasalahannya, dimana sekolah menyediakan LKS,
akan tetapi isi dari LKS tersebut sudah mengharuskan mereka memahami
dasar-dasar kegamaan Islam itu, jadi apabila aku paksa belajar sesuai dengan
tuntutan LKS, maka sudah tentu hasilnya akan sangat nihil, walau pahala dalam
menuntut ilmu tetap diperoleh, ingsya Allah.
Sebetulnya aku bisa saja menggunakan LKS itu, akan tetapi relung
hati intelektual ku membantah, bantahan itu kemudian memperoleh dukungan dari
akal-ku yang mengutarakan pentingnya sistematisasi dalam menuntut ilmu, karena
itulah, aku menyuguhkan kepada mereka hal-hal yang mendasar mengenai Islam,
yang tentunya juga dibumbui dengan pemikiran-pemikiran dari para ulama besar,
seperti Imam al-Ghazali.
Hal-hal mendasar itu yang berkaitan dengan tauhid, fikih dan
tasawuf, sistematisasi ini aku peroleh melalui kitab Minhaj al-‘abidin karangan
Imam Ghazali. Akan tetapi tentu saja aku tidak menggunakan karya Imam
al-Ghazali itu di kelasku.
Disini, aku hanya menitik tekankan pada tauhid dan fikih saja, maka
aku menggunakan kitab kasyifah as-sajah yang dikarang oleh Syekh Nawawi
al-Bantani -yang juga merupakan sebuah matan yang ditulis oleh Syekh Salim ibn
Sumair- sebagai bahan ajarnya, kitab ini merupakan kitab pertama yang aku
pelajari melalui kiyaiku di Bogor, KH. Ukon Abdul Ghoni, kitab ini walau
dikenal sebagai kitab fikih, namun pada bab-bab awalnya membahas mengenai
tauhid walau hanya berbentuk kisi-kisi sekedar. Hal ini tentu saja sesuai
dengan penalaran Imam al-Ghazali diatas.
Tidak hanya itu, aku juga menggunakan metode bandongan dalam
mengajar di kelas. Bagiku, tidak ada salahnya untuk juga memperkenalkan kepada
mereka, bagaimana saudara-saudara seiman dan setanah air mereka yang belajar di
pesantren.
Tujuanku tentu saja tidak terlalu banyak, pertama aku hanya ingin
memberi penalaran alegori Islam yang sistematis sebagaimana diajarkan oleh
Nurcholis Madjid yakni beriman, berilmu dan beramal. Kedua, aku merasa nyaman
apabila menggunakan metode tersebut, aku lebih menjadi diriku dengan metode
tersebut, sehingga sebuah jokes atau candaan seringkali aku keluarkan, disbanding
pada saat diriku menggunakan metode akademis sebagaimana digunakan oleh
kebanyakan intelektual modern.
Aku hendak melanjutkan tradisi pesantren dan membumikannya di sekolah kejuruan. Bagaimanapun, aku adalah seorang santri yang bekerja sampingan menjadi guru, dan bukan sebaliknya. Apabila anda bertanya, apakah murid-murid itu menerimanya ?, hal ini tentu saja relatif, sebab metode apapun yang digunakan akan diterima oleh sebagian, dan ditolak pula oleh sebagian. Akan tetapi menurutku, kelancaran dalam pengajaran harus dimulai dulu dari pengajar, apabila pengajar tidak nyaman menggunakan sebuah metode pengkajian, maka dapat dipastikan penyampaian isi dari pembelajaran akan terpengaruh menjadi jelek, dan aku tentu saja lebih memikirkan esensi daripada eksistensi dalam pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar