Minggu, 13 Agustus 2023

Membawa Tradisi Bandongan Kitab di Sekolah Kejuruan

Tradisi bandongan, atau -seperti yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid, dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren- maknani dan biasa disebut juga sebagai ngesahi, merupakan sebuah tradisi berbentuk metode pengkajian kitab yang sejak abad 19 awal sampai abad 21 ini masih tetap digunakan di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia, terlebih pesantren tradisional.

Metode itu agaknya lebih tepat disebut tradisi, sebab telah berjalan cukup lama dan menjadi bagian dari diri pesantren itu sendiri, dimanapun anda mondok, terlebih di pesantren tradisional, maka metode pengkajian kitabnya adalah bandongan, maknani atau ngesahi.

Menurut Nurcholis Madjid, metode tersebut digunakan sebab kebanyakan para santri belum menguasai Bahasa Arab. Penerjemahan biasanya menggunakan Bahasa Jawa dengan gramatika tertentu, seperti utawi, ikut, saking, kadue dan lain sebagainya. Walau demikian, kebanyakan para kiyai di Indonesia terlahir dengan metode pengkajian tersebut, jadi, tentu saja metode yang sudah menjadi tradisi tersebut lekat menjadi sebuah nilai pesantren.

Pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga Pendidikan yang khas di Indonesia, sebab Pendidikan umum yang kini lebih dirasa eksis, merupakan sebuah kelanjutan dari konsep snouckisme yang mulanya bertujuan menjauhkan umat Islam dari pengkajian Islam, sebab pada saat itu, orang-orang muslim yang memiliki jiwa kuat terhadap keislamannya, merupakan penghalang bagi kelanjutan Belanda dalam menjajah negeri pertiwi yang indah nan jelita ini.

Akan tetapi, tentu kita akan keliru apabila mengatakan tradisi itu milik pesantren, sebagai sebuah metode pengkajian, bandongan sudah sepatutnya dinilai secara objektif sebagai metode pembelajaran, karena itu, hukumnya adalah sah apabila metode tersebut juga digunakan di lembaga Pendidikan umum. Hal yang perlu diingat adalah, mayoritas siswa yang menempuh Pendidikan di lembaga Pendidikan umum pun kebanyakan adalah seorang muslim.

Sebagai seorang santri yang mencintai dunia pesantren, aku juga memiliki pengalaman menjadi seorang mahasiswa, setelah banyak merenung dan membandingkan metode pengkajian dari hasil pengalamanku belajar, hatiku lebih cenderung dengan metode bandongan itu daripada metode pengkajian akademis yang sering digunakan di kalangan intelektual. Walau demikian, hal ini juga tidak berarti aku membenci metode pengkajian selain metode bandongan itu.

Kini aku menjadi seorang guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di salah satu Yayasan yang ada di Tangerang Selatan, lebih jelasnya aku ditempatkan di unit SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Pertama, terlebih dahulu aku hendak mengetahui latar belakang Pendidikan para murid disana, hasilnya adalah, 95% mereka adalah lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan 5% nya adalah lulusan Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk lulusan pesantren atau sekedar mondok adalah 0%. Jumlah 95% itu sudah termasuk juga murid-murid yang beragama Kristen, apabila diperjelas lagi, maka 89% nya adalah muslim dan 6% nya adalah kristen.

Tentu saja, menjadi guru PAI di kalangan demikian bukan hal yang mudah, sebab hanya sekedar rukun Islam dan rukun iman saja mereka tidak mengetahui. Disinilah letak permasalahannya, dimana sekolah menyediakan LKS, akan tetapi isi dari LKS tersebut sudah mengharuskan mereka memahami dasar-dasar kegamaan Islam itu, jadi apabila aku paksa belajar sesuai dengan tuntutan LKS, maka sudah tentu hasilnya akan sangat nihil, walau pahala dalam menuntut ilmu tetap diperoleh, ingsya Allah.

Sebetulnya aku bisa saja menggunakan LKS itu, akan tetapi relung hati intelektual ku membantah, bantahan itu kemudian memperoleh dukungan dari akal-ku yang mengutarakan pentingnya sistematisasi dalam menuntut ilmu, karena itulah, aku menyuguhkan kepada mereka hal-hal yang mendasar mengenai Islam, yang tentunya juga dibumbui dengan pemikiran-pemikiran dari para ulama besar, seperti Imam al-Ghazali.

Hal-hal mendasar itu yang berkaitan dengan tauhid, fikih dan tasawuf, sistematisasi ini aku peroleh melalui kitab Minhaj al-‘abidin karangan Imam Ghazali. Akan tetapi tentu saja aku tidak menggunakan karya Imam al-Ghazali itu di kelasku.

Disini, aku hanya menitik tekankan pada tauhid dan fikih saja, maka aku menggunakan kitab kasyifah as-sajah yang dikarang oleh Syekh Nawawi al-Bantani -yang juga merupakan sebuah matan yang ditulis oleh Syekh Salim ibn Sumair- sebagai bahan ajarnya, kitab ini merupakan kitab pertama yang aku pelajari melalui kiyaiku di Bogor, KH. Ukon Abdul Ghoni, kitab ini walau dikenal sebagai kitab fikih, namun pada bab-bab awalnya membahas mengenai tauhid walau hanya berbentuk kisi-kisi sekedar. Hal ini tentu saja sesuai dengan penalaran Imam al-Ghazali diatas.

Tidak hanya itu, aku juga menggunakan metode bandongan dalam mengajar di kelas. Bagiku, tidak ada salahnya untuk juga memperkenalkan kepada mereka, bagaimana saudara-saudara seiman dan setanah air mereka yang belajar di pesantren.

Tujuanku tentu saja tidak terlalu banyak, pertama aku hanya ingin memberi penalaran alegori Islam yang sistematis sebagaimana diajarkan oleh Nurcholis Madjid yakni beriman, berilmu dan beramal. Kedua, aku merasa nyaman apabila menggunakan metode tersebut, aku lebih menjadi diriku dengan metode tersebut, sehingga sebuah jokes atau candaan seringkali aku keluarkan, disbanding pada saat diriku menggunakan metode akademis sebagaimana digunakan oleh kebanyakan intelektual modern.

Aku hendak melanjutkan tradisi pesantren dan membumikannya di sekolah kejuruan. Bagaimanapun, aku adalah seorang santri yang bekerja sampingan menjadi guru, dan bukan sebaliknya. Apabila anda bertanya, apakah murid-murid itu menerimanya ?, hal ini tentu saja relatif, sebab metode apapun yang digunakan akan diterima oleh sebagian, dan ditolak pula oleh sebagian. Akan tetapi menurutku, kelancaran dalam pengajaran harus dimulai dulu dari pengajar, apabila pengajar tidak nyaman menggunakan sebuah metode pengkajian, maka dapat dipastikan penyampaian isi dari pembelajaran akan terpengaruh menjadi jelek, dan aku tentu saja lebih memikirkan esensi daripada eksistensi dalam pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...