Rabu, 13 September 2023

Kencan Dengan Pikiranku di Kota Hujan


Panas desar angin Pondok Betung membuatku agak jengkel, disini hampir sulit menemuka pohon yang dipuja puji. Setiap pukul 05.45, orang-orang berangkat menuju tempat mencari nafkah untuk keberlangsungan hidupnya, aku sih masih menyempatkan untuk menikmati secangkir kopi hangat yang di masak dengan kompor listrik.

Bagaimana jika menari berdua ? sepertinya perlu menunggu hujan, agar air hujan menutupi air mata, menulis apa aku ini ? sedangkan Pondok Betung tidak pernah hujan, padahal aku sudah lebih dua bulan tinggal disini, tapi hanya dua kali hujan. Dua kali, seperti aku diantar dua wanita yang sangat aku sayangi, pertama ibuku, kedua adalah yang kini jasadnya sudah ditempa belatung, dan jiwanya berbincang dengan munkar nakir.

Tidak sulit menjadiku, santai saja, orang berislam itu mestinya jadi santai, bukan malah terhempas tangkai. Kata teman guruku yang Bernama Dayat, begini kira-kira katanya:

“Santai Aja Mas, Namanya Kehidupan”

Betul, kata itu sering diucapkannya dengan nada pluralis, sepertinya cocok untukku sebagai seorang sosialis egalitarianis.

Malam pun kadang panas, aku heran dengan daerah ini. Saat pagi buta ketika nyamuk mulai kelelahan mencari sehisap darah, air pun kadang terasa seperti es yang sudah disimpan diluar kulkas selama 31 menit, biasa saja rasanya, hampa. Pernah kah kau merasa ?

Menulis apa aku ? ya tentu menulis untukku, buat apa aku menulis bagus ? ya buatku, menulis adalah caraku mengekspresikan pikiran, selain dengan berbicara, tentu saja. Kurang ajar wanita-wanita yang pernah dekat dengaku, mereka malah abadi dalam karya-karyaku. SIALAN

Kini aku menjadi guru, tentu saja untukku, ya, karena memang itu takdir Tuhan untukku, bukan untukmu ? kenapa aku mengajar ? ya untukku, kata siapa untukmu ? bukankah dengan mengajar ilmu ku akan bertambah ? kata siapa hanya kamu yang bertambah ? Geer banget kamu, ishhh dasar kepedean.

Bagaimana kalo sekedar jalan bersama di daerah dingin dekat rumahku ? tapi sepertinya sayang jika hanya berjalan, bagaimana kalo kita tutup kesendirian ini dengan pernikahan ? tapi aku tidak mau, aku belum menjadi seorang pemikir, menjadi pemikir adalah cita-citaku saat ini, apa kamu tidak percaya ? kamu boleh berdiskusi dengan teman-teman ku kelas 10-12 SMK Kebangsaan.

Bagaimana jika aku tidak pernah mengajar di SMK Kebangsaan ? bukan kah kamu akan merugi ? tentu saja, karena aku selalu memberi keceriaan, bagaimana tidak ? aku telah berislam, dan sudah ku katakana, berislam itu membuat hidup menjadi tenang !, coba deh, sini sama aku, itu pun jika aku mau. Lho, ngapain aku harus nunggu kamu mau ? memang aku tokoh novel fiksi !

Menulis apa aku ?

Mau berkencan denganku ? jangan. Bukankah kamu tidak berperikehatian ? memangnya kamu punya hati ? Lha, kamu kan bocah empiris, percayanya cuma sama yang keliatan. Yaa, aku juga keliatan sih, cuma, kayaknya mending gausah, kembali saja kamu, kesana, ke lapangan, ke sekolah yang mempertemukan pakaianmu dengan pakaiannya, ke sekolah yang menjemukan otakmu dan otaknya, ke sekolah yang mempersatukan namamu dengan namanya.

Tunggu dulu, siapa kamu ? aku siapa ? terus dirinya siapa ? ketiganya kan tiada, yang ada hanyalah… Sudahlah, kamu juga tidak akan mengerti bila ku tulis, maka ikuti apa kataku. Mari berkencan dengan pikiranku, ya tentu saja di rumahku yang beriklim dingin itu, wajahmu akan terkena sentuhan hujan, saat itu, kamu baru akan sadar, begitu saja.


Jumat, 08 September 2023

Tentang XI AKL SMK Kebangsaan

 

Kebangsaan memang bukan sekolah yang besar, bisa dinilai sebagai sekolah yang berada di level normal, karena tidak bisa dimasukkan ke dalam level gawat darurat. Siswa-siswi disana juga hampir bisa dikata sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya, yakni sangat beragam. Aku, sebagai seorang guru, tentu saja harus bisa membangun relasi rasa dengan mereka sesuai dengan karakteristik siswa-siswinya di kelas masing-masing.

Disana, aku mengajar sebanyak 12 kelas, dari kelas X sampai kelas XII. Bagiku, mereka -para siswa dan siswi- begitu istimewa, walau beberapa memang agak menjengkelkan, namun aku harus tetap berbaik sangka dan berbaik rasa kepada mereka, karena mereka semua adalah manusia, sudah menjadi konsekuensi logis baik ku yang tengah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan untuk berbuat demikian.

Setiap kelas, sebagaimana tadi aku katakan, memiliki karakter yang berbeda, tentu ini mempengaruhi metode pengajaranku di Angkatan, bahkan di setiap kelasnya. Diantara metode mengajarku adalah memberikan bumbu keromantisan dengan tulus kepada mereka, pasti, yang disebut mereka disini adalah siswa-siswi kelas XI AKL.

Pagi tadi adalah jam mengajarku di kelas tersebut, seperti biasa aku memulai pelajaran dengan sama-sama membaca lima surat pendek yang mereka pilih sendiri. Kelas hari ini agak lebih senjang, aku hanya memaparkan kisi-kisi penilaian Tengah semester yang akan segera dilaksanakan. Kisi-kisi yang aku buat tentu saja bukan seperti kisi-kisi pada umumnya, aku membuatnya menjadi semacam cerpen dengan bumbu-bumbu syair dan sajak di awal-awal tulisan, tak luput aku memasukkan garam-garam filsafat di dalamnya.

Selanjutnya, kelas beralih menjadi pembacaan tulisan-tulisan yang telah aku buat sebelumnya. Ada tiga tulisan yang aku baca, pertama adalah Cemburu Kepada Kaca, kedua Perihal Cantik: Dari Relativism eke Subjektivisme, dan ketiga Hujan dan Payungnya: ‘Aku Akan Selalu Menjadi Payung Bagimu Disaat Hujan’.

Dari ketiga cerpen tersebut, agaknya cerpen ketiga lah yang agak mengangetkan, selain berasal dari kisah nyata yang aku alami, cerpen itu ku tulis dengan penuh perasaan tulus, setulus keikhlasanku melepaskan wanita itu, terlebih, untuk menambah rempah dalam pembacaan cerpen tersebut, aku coba mengiringinya dengan musik dari Anggi Marito yang judulnya Tak Segampang Itu.

Aku tak menyangka mereka menikmati dan memahami alur dari cerita itu, walau aku tak mendengar dan melihat tangisan mereka, aku rasa, mereka merasakan apa yang aku rasakan, sebab tulisan yang dibuat dengan penuh perasaan tentu saja hanya akan diterima oleh rasa.

Sekedar bercerita, melalui tulisan, tapi itulah aku, sejak dulu memang sudah selalu menulis, walau kadang terdapat konflik pemilahan kata, runtutan logika dan penempatan rasa yang sangat sulit dihindarkan ketika menulis, dan satu lagi, aku menulis untuk diriku, bukan untuk orang lain, menulis seperti mengecup tanpa bibir, begitu kira-kira perkataan dari Daniel Glattauer yang sangat menginspirasiku.

Aku ingin kembali sebentar dengan XI AKL, terimakasih telah menjadi teman-temanku. Dan rasa terimakasih ini juga tentu saja ingin sekali aku sampaikan kepada seluruh siswa dan siswi yang ada di Kebangsaan, semoga sehat selalu.

 

08.09.23

 

18.59

Kamis, 07 September 2023

Cemburu Kepada Kaca

 

Gemericik panggilan dari sang angin terus menyebut-nyebut namaku siang ini, entah apa yang dikatakannya, tidak begitu jelas.

“ halareges raulek ada hisak ngay nimreceb anasid”

Begitu kata angin, tidak jelas bukan ? memang angin sering begitu ! dasar angin kurang ajar !.

Tapi aku tetap keluar, karena memang jam mengajar sudah selesai. Ketika hendak melangkah, memang ada perdebatan antara kaki kiri dan kanan ku,

“siapa yang duluan ?” ucap pikiranku kepada para kaki

“ gua saja” kata para kaki

“gua saja, soalnya gua lebih kuat” kata kaki kanan

“iyadahhh, gua ngalah, padahal nanti kalo ada yang nikahin, tapi nanti gantian gua ya kalo ngelamar cewek ? yaudah dah, lu aja sekarang !” jawab kaki kanan.

Perdebatan itu dimenangkan oleh kaki kanan. Kemudian aku segera melahkan keluar, perlahan, mengatur ritme pernafasanku, agar oksigen dapat bercumbu terlebih dahulu dengan paru-paru dan rambut-rambut hidungku.

Tampak kaca sedang tersenyum malu,

“Anjirr, kaca sialan, berani-beraninya berhadapan dengan sang gadis buah hati belahan jantung !” kataku.

Tadinya hendak aku memukul kaca itu, tapi kemudian gadis itu tersenyum,

“its okeyyy, aku mengalah untuk hari ini, aku berdoa kepada Tuhan agar kaca itu diberikan punishment akibat telah berkencan dengan gadisku.”

 

07.09.23

15.15

Rabu, 06 September 2023

Perihal Cantik: Dari Relativisme ke Subjektivisme


Iklim Pondok Aren hari ini agaknya memihakku, kurasa segar menghirup udaranya, tak hanya itu, sepertinya hari ini menjadi lebih istimewa dengan senyuman dari gadis cantik yang membuatku fana, gadis cantik yang meningkatkan kecerdasan emotif bagiku, dia adalah gadis yang cantik. Pasti benang pun akan kusut melihat kecantikannya, kecantikan ini murni tanpa make up, memang gadis yang cantik dan menarik.

Memang aku sepakat cantik itu relative, atau para filosof menyebutnya dengan subjektif, agaknya cantik itu memang perihal yang sangat dinilai dari subjektivitas seseorang, ini mungkin seperti dikatakan oleh Gordon Graham dalam bukunya Eight theories of ethics. Graham berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai subjektivisme hanyalah perluasan relativisme dari level sosial menjadi level individual.

Bagiku dia cantik, tapi ada juga yang menilainya tidak, namun beberapa orang pasti akan sepakat denganku. Namun, sebagaimana dikatakan Graham, ketika kita hendak membuktikan bahwa pandangan kita tentang sesuatu itu benar, maka kita harus membuktikannya. Oleh karena itu, aku akan membuktikan bahwa dia adalah gadis yang cantik.

Hembus angin barat menerpa sekolah kebangsaan, kenapa tak di kecup saja keningnya walau tak menggunakan bibir ? ada malaikat mengangkat bibir dengan penuh tenaga agar seseorang menjadi tersenyum.

AHHHH, susah rasanya, sebab apabila masih bisa aku menarasikan kecantikannya, maka gadis itu sama dengan gadis lain, sedangkan dia tidak sama dengan yang lain, karena itu tidak bisa dan malah tidak perlu di deskripsikan.

Benara pa yang diklaim oleh Graham, terkadang sesuatu yang benar tidak mudah untuk dijelaskan, sebab taka da fakta cantik, yang ada hanyalah kulit cerah bak bulan purnama yang memesona hati dan memanjakan mata, sepertinya aku tidak perlu repot-repot healing, sebab hanya dengan menatapnya saja sudah cukup.

Kenapa tak sampaikan saja rasanya ?

Siapa yang berperasaan ?

Kenapa berperasaan ?

Bagaimana bisa berperasaan ?

Apakah ada perasaan ?

Ini kusampaikan untuk diri-ku.

Sabtu, 02 September 2023

Tentang Gadis Jawa

 

Sialan sekali angin itu, berani menyentuhnya kemudian pergi begitu saja. Apabila memang mempunyai keberanian, kenapa tak hadapi saja aku ? tapi memang nyatanya demikian, angin tidak memiliki cukup kemampuan bela diri dalam menghadapiku, bagaimana aku tidak marah, gadis Jawa yang aku sukai terhembus bulu matanya oleh angin yang kurang ajar itu.

Ini tentang gadis Jawa, seorang gadis yang tengah memberi energi positif pada kemajuan emosiku dalam menjadi seorang pemikir. Banyak gadis cantik nan jelita yang ku temui, tapi kebanyakan tidak memiliki efek apapun, tapi gadis ini berbeda, walaupun jarang berkomunikasi, memang aku diam-diam membawa namanya dalam sujud witirku.

‘Cantik itu relatif’, begitu kebanyakan orang menilai, baik pria maupun wanita agaknya dapat bersepakat mengenai anggapan tersebut. Begitu pula aku, aku tak menemukan sebuah pandangan seseorang yang mengatakan bahwa ‘cantik itu mutlak’, apabila demikian, mungkin banyak sudah manusia yang gagal move on dari mantan terkasihnya.

Sejak mengenalnya, aku berpikir bahwa aku harus lebih serius kembali dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang aku tekuni. Itulah kira-kira energi positif yang aku rasakan, walau orientasi ku dalam menuntut ilmu pada hakikatnya adalah Allah, dan bukan gadis Jawa ini. Agaknya, Allah hendak membangun kembali emosi belajarku dengan mendatangkan gadis Jawa ini.

Sengaja memang aku coba berhenti untuk banyak menghubunginya, sebab aku tak ingin proses pembelajaranku terganggu, dan memang aku bukan tipe laki-laki semacam itu, sesekali menghubungi kemudian berjalan-jalan agaknya boleh-boleh saja untuk memfasilitasi sifat kemanusiaan ku yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sifat basyariah.

‘Santri yang menjadi mahasiswa’, begitulah kira-kira predikat yang dapat aku berikan kepadaku -dan mungkin juga kepadanya-, bukan dibalik menjadi mahasiswa yang menjadi santri, sebab akan merubah maknanya. Sejauh apapun dunia tongkrongan yang aku arungi, aku tetaplah santri.

Agaknya, berdoa merupakan salah satu fasilitas paling berkualitas yang di ajarkan oleh kiyaiku dalam menjalankan hidup. Oleh sebab itu, agaknya aku tak akan berhenti berdoa kepada Allah, agar suatu saat nanti, ibuku dan ibunya menjadi ibu kita.

Hallo, gadis Jawa, apabila kamu membaca artikel ini, bacalah dialog berikut:

R: Kamu suka Jakarta ?

S: Engga begitu

R: Aku Suka

S: Suka Jakarta ?

R: Kamu

Dan, yang terakhir, sepertinya sudah klise apabila saya mengatakan bahwa saya menyukaimu, saya hanya hendak mengatakan ‘Izinkan aku untuk mencium sebutir debu yang berada dibawah bibir merahmu’.

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...