Mungkin aku adalah sebagian
dari laki-laki di Bogor yang akan mengatakan bahwa, hujan adalah irama Tuhan
yang menyempurnakan seluruh kenangan hidupku. Sudah hampir 23 tahun usiaku, aku
tak pernah menganggap hujan adalah halangan bagiku dalam menjalankan aktivitas,
aku menyukai hujan.
Kenangan pertama saat
hujan, ketika aku berusia delapan tahun, terjadi kala aku hendak menuntut ilmu
membaca al-Qur’an. Saat itu, hujan dan petir yang sangat dahsyat sedang
berlangsung, namun hujan dan petir itu pula beriringan mengetuk pintu hatiku
untuk tetap berangkat mengaji. Aku ditemani ibuku, walau sebelumnya ibu
melarangku untuk berangkat, akan tetapi, aku berat untuk menahan cemburu
terhadap tanah dan batu yang leluasa tersentuh oleh hujan.
Hujan memang bersifat
relatif, karena itu, hujan sering dipandang dalam kacamata subjektif. Ketika
hujan turun, ada orang yang berbahagia, ada pula orang yang bersedih. Namun,
entah kenapa aku selalu merasa bahagia ketika hujan turun, bahkan dalam
beberapa waktu, aku sering bermain hujan-hujanan, walau sudah di usia lebih
dari 17 tahun.
Waktu masa kuliah di
Ciputat, tepatnya di kampus peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
ketika aku mulai merasa tidak enak pikiran dan perasaan, aku sangat menunggu
hujan, bahka seringkali berdoa agar hujan turun, karena ketika hujan turun, aku
akan menengadahkan tanganku untuk disentuhnya, biasanya dengan melakukan itu,
pikiran dan perasaanku akan kembali tenang.
Terkadang, aku berpikir,
ketika hujan turun, kenapa orang-orang seringkali meneduh ? apakah mereka tidak
suka hujan ?, dan ternyata, setiap orang memiliki hal yang harus dijaga,
seperti kesehatan fisiknya dan seperti buku yang telah dibeli dari hasil
menabung berkat semangat puasa nabi Daud dan puasa senin kamis.
Seringkali hujan menyebut-nyebut
nama seorang wanita yang kini masih kuingat, dulu aku sangat mencintainya,
namanya tak akan hilang terkubur tanah dan tak akan hangus dibakar api, aku
mungkin enggan menyebutnya disini, sebab ia cukup tersimpan dalam memoriku ini,
memori yang sangat luar biasa, pemberian Allah, Tuhan seluruh alam.
Tapi, ada baiknya mungkin
aku tulis kisah itu sedikit, kisah tentang remaja pria yang dicintai oleh
seorang wanita berkulit putih, berwajah cerah. Wanita yang anggun jalan dan
kedipan matanya. Wanita yang sabar akan diriku, yang aku pun sabar pada
dirinya. Wanita yang pernah menangis dan tertawa bersamaku, wanita yang
memberikan efek semangat belajar kepadaku, wanita yang selalu menghubungiku
terlebih dahulu melalui BBM dan SMS. Wanita yang untuk pertama kalinya
memberikan hati sepenuhnya kepadaku, tanpa memandang status dan fisikku, wanita
pemilik senyuman yang tak dimiliki oleh Princess Diana. Dia, adalah wanita
tidak sempurna, yang pernah jatuh air matanya diatas air mataku, dan
sebaliknya. Sudah, mungkin itu cukup untuk memberi gambaran awal betapa
istimewanya wanita itu untukku.
Sebelum bergulat dengan
dunia pemikiran Islam secara serius, aku adalah seorang anak pramuka yang
sangat menyukai bidang kesenian, dulu aku bisa bermain calung dan angklung, bahkan
sedikit aku bisa bermain suling dan juga gendang. Wanita itu, adalah seorang
anggota PMR (Palang Merah Remaja) yang sangat tertarik dengan dunia kesehatan.
Pada jalinan kasih yang
telah berjalan selama satu tahun delapan bulan lebih tiga hari, begitu catatan
harian yang aku tulis di tahun 2013. Pada hari kamis, hari dimana Latihan
pramuka dan PMR dilaksanakan, saat itu ternyata pelatih PMR yang bernama Bapak
Subarnas meliburkan latihan, akhirnya sebagai raja dihati wanita itu, aku
mengantarkannya dari sekolah menuju jalan raya, wajar, waktu itu jarak dari
sekolahku menuju jalan raya adalah 85 meter. Awan sendu di sore itu menemani
perjalanan kami, tentu ingin rasanya aku mengusir awan itu, akan tetapi awan
itu tidak mau mendengar.
Setelah sampai di jalan
raya, wanita itu berkata:
“Aku pulang duluan ya
Rifki, kamu hati-hati dijalan, kalo hujan neduh dulu, inget, kalo kamu sakit,
siapa yang menjaga hatiku ?”
Begitu kira-kira kalimat
yang keluar dari mulut manis seorang wanita yang sangat ku sayangi itu, tak
lupa pula sebelum menyebrang jalan ia menusukku dengan senyuman yang sangat
membuat batu-batu itu cemburu. Aku melambaikan tangan sebagai tanda ‘hati-hati
dijalan’ kepadanya. Akhirnya, setelah melihat dia menaiki angkot, aku kembali
ke sekolah untuk berlatih.
Saat berjalan kembali, aku
melihat daun kering yang menunduk dihadapanku, daun itu rupanya tengah jatuh
saat melihat senyum dari wanita yang kusayangi itu, “DASAR KAU DAUN YANG CABUL
!!!!!!” ucapku dalam benak. Kemudian, aku segera melanjutkan perjalananku dan
menghiraukan tangis rengek para pohon yang cemburu melihatku berjalan dengan
wanita seindah langit dan seanggun semesta.
Latihan pun dilaksanakan,
seperti biasa aku sedang mengajarkan adik-adik kelasku untuk dapat bermain
calung, terkadang bermain alat musik itu seperti menuntut ilmu agama,
maksudnya, tidak cukup hanya menggunakan Indera dan akal, namun lebih dari itu,
memerlukan rasa yang mendalam untuk benar-benar memahaminya.
Latihan terus berlanjut
hingga pukul 4 sore. Aku segera menuju musholla sekolah untuk menunaikan sholat
ashar beserta qobliah-nya empat rakaat. Sungguh indah sholat itu,
apabila Abu Jahal tau kenikmatan sholat, niscaya tidak akan terjadi perang
badar pada tahun kedua hijriah. Bodoh betul Abu Jahal itu !.
Awan mulai berkumpul dan
sedikit tertunduk, angin pun tak mau kalah, aku tahu bahwa ini akan segera
hujan, maka aku segera berpamitan kepada pelatih pramuka ku, yakni Kak Tina.
Anehnya, kak Tina malah tersenyum kepadaku, tapi aku menghiraukannya kemudian
mencium tangannya sebagai tanda penghormatanku, saat aku berjalan, sahabatku
yang bernama Ibnu berkata:
“Hehhh Rifki,,, itu si
Anggi nungguin di warung dari tadi bukannya pulang malah main calung”
“WADUHHHH yang bener nu ?”
“Iyaa benerann,,, cepetan
samperin itu, parah banget jadi laki-laki”
Akhirnya, aku segera
memakai sepatu, ketika sepatu sebelah kanan selesai, hujan kemudian turun
dengan derasnya diiringi angin, aku tidak memperdulikannya, aku berlari
menujunya, sampai disana, wanita itu tersenyum kepadaku dan berkata:
“Apa kataku tadi sayang ?
bukankah aku mengingatkamu agar tidak hujan-hujanan ? bagaimana jika engkau
sakit ? bukankah nanti daun dan ranting itu juga akan khawatir ? Sayang, denger
aku, ini kan hujannya deres, kebetulan aku bawa payung, kita jangan lama-lama
disini, sudah sore, nanti mamah mu mengkahwatirkanmu, sini tangannya, pegang
payungnya”
“Yang aku pegang ini bukan
payung, melainkan tanganmu”
“Aku akan selalu menjadi
payung bagimu disaat hujan”
Begitulah sekilas kisah
terindah ku dengan hujan, kenapa sampai saat ini aku tidak takut hujan ? sebab
aku percaya, wanita yang baik hati itu tetap bersamaku. Walau kini jasadnya
telah pergi menghilang di telan semesta. Duhai, wanitaku,, semoga Tuhan ridha
kepadamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar