Apa itu ziarah kubur ? Bid’ah !!! Rasul
saja tak pernah melakukannya. Ziarah kubur itu candu, Ziarah kubur merupakan
kegagalan manusia dalam menghadapi realitas sosial kehidupannya, jangan ziarah
!!! bekerja keraslah dan nikmati hasilnya, tidak berbeda jauh dengan kaum
proletar yang di imingi keberhasilan agama Kristen dalam menyambut kehidupan
bahagia di akhirat nanti, tak perlu terlalu bersemangat hidup di dunia, tidak
apa-apa kita miskin di dunia asalkan di akhirat kita bahagia, seperti itulah
tinjauan Karl Marx dalam melihat situasi sosial masyarakat yang kemudian
melahirkan Komunisme.
Ziarah kubur itu adalah halusinasi atas
ketidak sanggupan manusia menghadapi kehidupan, mereka memohon di depan kubur
-nabi/wali/ulama- sembari duduk dan seakan mendapat ketenangan, rasa sakit hati
mereka terhadap kenyataan sosial berhasil terobati dengan membaca al-qur’an
selama lima jam -bisa kurang, bahkan lebih- beserta dengan membawa satu botol
air minum, dan sesajen lainnya dengan harapan keberkahan saat mereka memasukkan
makanan dan minuman tersebut ke dalam perutnya, seperti itulah tinjauan Sigmud
Frued terhadap orang beragama dengan pasiennya sendiri yang berada di rumah
sakit jiwa.
Ziarah kubur itu dilaksanakan ketika
manusia merasa ada sesuatu yang belum ia dapatkan, seperti kekayaan, ketenangan
batin, dan kecerdasan intelektual dan spiritual dan hal lainnya, namun ketika
itu semua di dapatkan, maka ziarah kubur tidak begitu diminati lagi, seperti
itu lah tinjauan Sir Issac Newton terhadap kehadiran Tuhan.
Aktivitas
spiritual seperti tirakat, wirid, dan ziarah kubur serta aktivitas spiritual
lainnya yang hari ini masih dipertahankan oleh para santri, kiyai dan ulama di
kalangan tradisionalis dengan tetap berpegang teguh terhadap Al-Imam As-Syafi’i
dalam madzhab fiqih nya, kemudian Al-Imam Asy’ari dalam madzhab aqidah nya, dan
banyak sekali ilmuan muslim seperti Al-Imam Ghazali yang juga bermadzhab
Al-Imam Asy’ari dalam segi theologi nya, hal ini dibuktikan dengan karya nya
yakni kitab Tahafut Al-Falasifah, sedangkan dalam bidang ilmu tasawuf dapat
kita sebutkan tokohnya seperti Syekh Ibnu Hajar Al-Astqalani, Syekh Jalaluddin
Ar-Rumi, yang menulis kitab Mastnawi dengan beragam kalimat penyejuk hati dan
dibungkus dalam bait-bait puisi.
Syekh Rumi menulis dalam matsnawinya,
dalam ceritanya Layla Majnun yang bertemu dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid
Suatu ketika Khalifah mendatangi kediaman
Layla kemudian berkata “ Hey Laila,
kamu ini ternyata biasa-biasa saja, tapi kenapa
qais menjadi gila karena mu ? “ kemudian
Layla Menjawab “ Diamlah wahai khalifah….
Kau bukan Qais, matamu bukan mata qais,
Kau tidak mengetahui letak keindahannya,
andaikan matamu adalah mata qais
Maka kau akan mengetahui dimana keindahan
tersebut”
Cerita singkat ini, mengajarkan kepada
kita bahwa indera dan akal tidaklah selalu benar, manusia dibekali oleh Allah qalb
atau hati, dalam bahasa akademis disebut intuisi. Hati berfungsi sebagai
alat untuk mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat di jangkau oleh indera dan
akal.
Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika kita
sedang dalam keadaan tidur (mimpi) maka semua yang kita lihat seperti masuk
akal, namun semua itu berhenti ketika kita telah bangun dari tidur (mimpi),
ketika bangun, tampaklah semua tak masuk akal, karena akal tak mampu menjangkau
pengalaman mistik paling sederhana yakni mimpi tersebut. Syekh Rumi pernah
berkata “Akal boleh saja menguasai seribu cabang ilmu, namun mengenai
hidupnya, akal tidak tahu apa-apa.”
Marilah kita bahas ziarah kubur kembali,
pada kenyataannya, indera dan akal akan sangat kebingungan dalam menangkap
fenomena ziarah kubur, akal akan sangat bingung dan bertanya “mengapa
membaca al-qur’an di hadapan kubur ? padahal kita dapat membaca al qur’an di
rumah-rumah kita ? bahkan di masjid atau musholla ?” karena apa ? karena
akal itu selalu berputar pada simbol dan tidak mampu memahami status ontologis
dari sesuatu, akal tidak akan mengerti banyak tentang pengalaman-pengalaman
eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan
seperti yang kita konsepsikan.
Karena bagi akal, membaca al-qur’an di
rumah dan di kuburan sama saja, itulah akal. Contoh lain seperti, bagi akal,
duduk sendiri selama satu jam di taman akan sama dengan mereka yang duduk satu
jam bersama kekasihnya, tapi tidak bagi hati, tentunya bagi hati, orang yang
duduk satu jam bersama kekasihnya akan terasa lebih cepat dibanding dengan
orang yang duduk sendirian. Seperti itu pula ziarah kubur.
Jadi, dalam meliat fenomena ziarah kubur
ini, kita harus menggunakan hati, jika tidak semuanya akan berakhir hanya
dengan sentimen, atau dengan memberikan argumen terkuat untuk dihadapkan dengan
argumen terlemah. Jadi, hati itu dapat memahami fenomena secara langsung,
pengetahuan intuitif adalah pengetahuan eksperensial dan presensial.
Wallahu A’lamu Bi-Showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar