Selasa, 28 September 2021

Ziarah Kubur : Sebuah Tinjauan Filosofis

 

 

Apa itu ziarah kubur ? Bid’ah !!! Rasul saja tak pernah melakukannya. Ziarah kubur itu candu, Ziarah kubur merupakan kegagalan manusia dalam menghadapi realitas sosial kehidupannya, jangan ziarah !!! bekerja keraslah dan nikmati hasilnya, tidak berbeda jauh dengan kaum proletar yang di imingi keberhasilan agama Kristen dalam menyambut kehidupan bahagia di akhirat nanti, tak perlu terlalu bersemangat hidup di dunia, tidak apa-apa kita miskin di dunia asalkan di akhirat kita bahagia, seperti itulah tinjauan Karl Marx dalam melihat situasi sosial masyarakat yang kemudian melahirkan Komunisme.

Ziarah kubur itu adalah halusinasi atas ketidak sanggupan manusia menghadapi kehidupan, mereka memohon di depan kubur -nabi/wali/ulama- sembari duduk dan seakan mendapat ketenangan, rasa sakit hati mereka terhadap kenyataan sosial berhasil terobati dengan membaca al-qur’an selama lima jam -bisa kurang, bahkan lebih- beserta dengan membawa satu botol air minum, dan sesajen lainnya dengan harapan keberkahan saat mereka memasukkan makanan dan minuman tersebut ke dalam perutnya, seperti itulah tinjauan Sigmud Frued terhadap orang beragama dengan pasiennya sendiri yang berada di rumah sakit jiwa.

Ziarah kubur itu dilaksanakan ketika manusia merasa ada sesuatu yang belum ia dapatkan, seperti kekayaan, ketenangan batin, dan kecerdasan intelektual dan spiritual dan hal lainnya, namun ketika itu semua di dapatkan, maka ziarah kubur tidak begitu diminati lagi, seperti itu lah tinjauan Sir Issac Newton terhadap kehadiran Tuhan.

 Aktivitas spiritual seperti tirakat, wirid, dan ziarah kubur serta aktivitas spiritual lainnya yang hari ini masih dipertahankan oleh para santri, kiyai dan ulama di kalangan tradisionalis dengan tetap berpegang teguh terhadap Al-Imam As-Syafi’i dalam madzhab fiqih nya, kemudian Al-Imam Asy’ari dalam madzhab aqidah nya, dan banyak sekali ilmuan muslim seperti Al-Imam Ghazali yang juga bermadzhab Al-Imam Asy’ari dalam segi theologi nya, hal ini dibuktikan dengan karya nya yakni kitab Tahafut Al-Falasifah, sedangkan dalam bidang ilmu tasawuf dapat kita sebutkan tokohnya seperti Syekh Ibnu Hajar Al-Astqalani, Syekh Jalaluddin Ar-Rumi, yang menulis kitab Mastnawi dengan beragam kalimat penyejuk hati dan dibungkus dalam bait-bait puisi.

Syekh Rumi menulis dalam matsnawinya, dalam ceritanya Layla Majnun yang bertemu dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid

Suatu ketika Khalifah mendatangi kediaman Layla kemudian berkata “ Hey Laila,

kamu ini ternyata biasa-biasa saja, tapi kenapa qais menjadi gila karena mu ? “ kemudian

Layla Menjawab “ Diamlah wahai khalifah…. Kau bukan Qais, matamu bukan mata qais,

Kau tidak mengetahui letak keindahannya, andaikan matamu adalah mata qais

Maka kau akan mengetahui dimana keindahan tersebut”

Cerita singkat ini, mengajarkan kepada kita bahwa indera dan akal tidaklah selalu benar, manusia dibekali oleh Allah qalb atau hati, dalam bahasa akademis disebut intuisi. Hati berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat di jangkau oleh indera dan akal.

Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika kita sedang dalam keadaan tidur (mimpi) maka semua yang kita lihat seperti masuk akal, namun semua itu berhenti ketika kita telah bangun dari tidur (mimpi), ketika bangun, tampaklah semua tak masuk akal, karena akal tak mampu menjangkau pengalaman mistik paling sederhana yakni mimpi tersebut. Syekh Rumi pernah berkata “Akal boleh saja menguasai seribu cabang ilmu, namun mengenai hidupnya, akal tidak tahu apa-apa.”

Marilah kita bahas ziarah kubur kembali, pada kenyataannya, indera dan akal akan sangat kebingungan dalam menangkap fenomena ziarah kubur, akal akan sangat bingung dan bertanya “mengapa membaca al-qur’an di hadapan kubur ? padahal kita dapat membaca al qur’an di rumah-rumah kita ? bahkan di masjid atau musholla ?” karena apa ? karena akal itu selalu berputar pada simbol dan tidak mampu memahami status ontologis dari sesuatu, akal tidak akan mengerti banyak tentang pengalaman-pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan.

 Karena bagi akal, membaca al-qur’an di rumah dan di kuburan sama saja, itulah akal. Contoh lain seperti, bagi akal, duduk sendiri selama satu jam di taman akan sama dengan mereka yang duduk satu jam bersama kekasihnya, tapi tidak bagi hati, tentunya bagi hati, orang yang duduk satu jam bersama kekasihnya akan terasa lebih cepat dibanding dengan orang yang duduk sendirian. Seperti itu pula ziarah kubur.

Jadi, dalam meliat fenomena ziarah kubur ini, kita harus menggunakan hati, jika tidak semuanya akan berakhir hanya dengan sentimen, atau dengan memberikan argumen terkuat untuk dihadapkan dengan argumen terlemah. Jadi, hati itu dapat memahami fenomena secara langsung, pengetahuan intuitif adalah pengetahuan eksperensial dan presensial.

Wallahu A’lamu Bi-Showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...