Sederhananya, kalimat amilisme itu menunjukkan paham seorang amil, jadi karena minimnya pemahaman amil terkait zakat itu sendiri mengakibatkan gejala-gejala yang serius, seperti fundraising yang semakin besar namun tingkat kemiskinan umat islam di Indonesia pun yang tak kunjung turun (lihat BPS Nasional) tulisan ini sederhana, ingin menunjukkan sesuatu yang unik dari sisi amil dalam aspek pengumpulan (Fundraising) dan pendistribusian (Empowering)
Saya akan mendefinisikan gejala pada pembahasan ini sebagai suatu penyakit yang bisa terjadi pada setiap orang, namun orang yang dimaksud disini ialah amil zakat. Amilisme dapat kita artikan sebagai pemahaman amil yang beragam sehingga kinerja amil pun menjadi sangat beragam. Ambillah contoh di BAZNAS ( BAZIS ) Provinsi DKI Jakarta, awal juni tahun 2021 saya melakukan praktik kerja lapangan ( PKL ) selama satu bulan.
Satu bulan memang bukan waktu yang lama untuk memahami seisi kantor, BAZNAS (BAZIS) sendiri memiliki 4 bidang yakni Bidang Kesekretariatan, Keuangan, Pemberdayaan, dan Pengumpulan. Namun kebetulan saya ditempatkan oleh Pak Irsyan ( seorang pegawai bagian koordinator Manajemen Sumber Daya Manusia ) di bidang keuangan, dalam bidang keuangan tersebut terbagi menjadi 6 bagian, yakni Ketua, sekretaris, staff penerimaan, staff pengeluaran, staff accounting, dan bendahara cash dan non cash.
Selama satu bulan saya coba
untuk mendapatkan seluruh informasi yang ada di dalam bidang keuangan tersebut,
dalam perbincangan saya dengan staff accounting ia menjelaskan bahwa uang dalam
pembahasan ini terbagi menjadi tiga, pertama, uang pemasukan zakat infaq
shadaqah, kedua, uang operasional/amil, dan ketiga uang pengeluaran. Dalam hal
ini yang menarik ialah, uang zakat infaq dan shadaqah dari setiap penerimaannya
langsung dipotong sebanyak 2,5 % untuk hak amil dari uang yang masuk. Menurut
saya ini sangat keliru, bagaimana ada hak amil dari infaq dan shadaqah ?
Ini tentunya sangat berbeda
dengan sistem zakat klasik, seperti yang dinyatakan oleh Syekh Ibn Qosim dalam
fath al-qorib, bahwasanya amil hanya mendapatkan hak nya setelah zakat di
distribusikan kepada seluruh mustahik yang terdapat didaerah tersebut, bahkan
selanjutnya dijelaskan bahwa, jika dalam suatu pengumpulan dan pendistribusian
cukup oleh satu amil, maka amil yang diberikan hak nya ialah pada satu amil
saja. Terkait hak nya berapa, jawaban itupun langsung dijawab dengan pernyataan
“ jika amil tersebut ialah seorang pekerja dan selama satu bulan pekerjaannya
menjadi terganggu dikarenakan mengumpulkan dan mendisribusikan zakat tersebut,
diketahui si amil dalam satu bulan biasa mendapatkan penghasilan sebanyak Rp.
300.000 maka hak nya ialah Rp. 300.000 “.[1]
Sampai sini, nampaknya perbedaan
pemahaman amil antara zakat klasik dan zakat kontemporer pun menjadi sangat
jelas, sudah diketahui bahwa BAZNAS (BAZIS) DKI memiliki 2 bidang yang mencakup
pekerjaan amil yakni Pemberdayaan (pendistribusian) dan Pengumpulan, dan dalam
hal pendistribusian lembaga zakat biasanya melakukan open recruitment sebagai
relawan, jadi hal inipun akan menjadi pertanyaan besar bagi para pegiat zakat,
yang manakah yang disebut amil pada lembaga tersebut ?
Gejala lainnya juga terjadi pada
seorang teman saya yang menjadi relawan di Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT),
setiap bulan Ramadhan ia aktif sebagai relawan dan mendapatkan bagian daripada
zakat fitrah yang dikumpulkan, ini juga sangat keliru, bahkan jika dalam kajian
zakat kontemporer ini pun tidak sesuai, karena yang disebut sebagai amil dalam
zakat kontemporer ialah seseorang yang tidak bekerja dilembaga lain, memiliki
program jangka menengah dan Panjang pada sebuah Lembaga zakat
Sampai sini, kita dapat
memahami, pada dasarnya baik amil yang ada pada Lembaga zakat maupun amil yang
independent memiliki peran besar dalam pengumpulan zakat, adapun infaq dan
shadaqah hanya sebagai derivasi dari zakat, namun dapat dikatakan pemahaman
amil yang beragam inipun menjadi sebuah pertanyaan yang harus diselesaikan
secara ilmiah oleh para pegiat zakat di Indonesia. saya memiliki kesimpulan
bahwa pemahaman amil di Indonesia 70% sebagai mustahik dan 30% sebagai petugas
zakat.
Meskipun pemahaman zakat sangat beragam,
nampaknya pemahaman mengenai amil perlu diulas ulang dan mendapat perhatian
khusus mengenai mekanisme kerja, dari mulai bertanya ulang mengenai ap aitu
amil ? apakah amil menjadi relevan sebagai pengumpul zakat ? apa alas an
rasional al-qur’an menyatakan bahwa amil itu berhak menjadi bagian dari
mustahik zakat ? hingga pembahasan mengenai pengumpulan hingga pendistribusian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar