Senin, 11 Oktober 2021

Amilisme: Delima Fundraising & Empowering

 

          Sederhananya, kalimat amilisme itu menunjukkan paham seorang amil, jadi karena minimnya pemahaman amil terkait zakat itu sendiri mengakibatkan gejala-gejala yang serius, seperti fundraising yang semakin besar namun tingkat kemiskinan umat islam di Indonesia pun yang tak kunjung turun (lihat BPS Nasional) tulisan ini sederhana, ingin menunjukkan sesuatu yang unik dari sisi amil dalam aspek pengumpulan (Fundraising) dan pendistribusian (Empowering)

        Saya akan mendefinisikan gejala pada pembahasan ini sebagai suatu penyakit yang bisa terjadi pada setiap orang, namun orang yang dimaksud disini ialah amil zakat. Amilisme dapat kita artikan sebagai pemahaman amil yang beragam sehingga kinerja amil pun menjadi sangat beragam. Ambillah contoh di BAZNAS ( BAZIS ) Provinsi DKI Jakarta, awal juni tahun 2021 saya melakukan praktik kerja lapangan ( PKL ) selama satu bulan.

     Satu bulan memang bukan waktu yang lama untuk memahami seisi kantor, BAZNAS (BAZIS) sendiri memiliki 4 bidang yakni Bidang Kesekretariatan, Keuangan, Pemberdayaan, dan Pengumpulan. Namun kebetulan saya ditempatkan oleh Pak Irsyan ( seorang pegawai bagian koordinator Manajemen Sumber Daya Manusia ) di bidang keuangan, dalam bidang keuangan tersebut terbagi menjadi 6 bagian, yakni Ketua, sekretaris, staff penerimaan, staff pengeluaran, staff accounting, dan bendahara cash dan non cash.

   Selama satu bulan saya coba untuk mendapatkan seluruh informasi yang ada di dalam bidang keuangan tersebut, dalam perbincangan saya dengan staff accounting ia menjelaskan bahwa uang dalam pembahasan ini terbagi menjadi tiga, pertama, uang pemasukan zakat infaq shadaqah, kedua, uang operasional/amil, dan ketiga uang pengeluaran. Dalam hal ini yang menarik ialah, uang zakat infaq dan shadaqah dari setiap penerimaannya langsung dipotong sebanyak 2,5 % untuk hak amil dari uang yang masuk. Menurut saya ini sangat keliru, bagaimana ada hak amil dari infaq dan shadaqah ?

      Ini tentunya sangat berbeda dengan sistem zakat klasik, seperti yang dinyatakan oleh Syekh Ibn Qosim dalam fath al-qorib, bahwasanya amil hanya mendapatkan hak nya setelah zakat di distribusikan kepada seluruh mustahik yang terdapat didaerah tersebut, bahkan selanjutnya dijelaskan bahwa, jika dalam suatu pengumpulan dan pendistribusian cukup oleh satu amil, maka amil yang diberikan hak nya ialah pada satu amil saja. Terkait hak nya berapa, jawaban itupun langsung dijawab dengan pernyataan “ jika amil tersebut ialah seorang pekerja dan selama satu bulan pekerjaannya menjadi terganggu dikarenakan mengumpulkan dan mendisribusikan zakat tersebut, diketahui si amil dalam satu bulan biasa mendapatkan penghasilan sebanyak Rp. 300.000 maka hak nya ialah Rp. 300.000 “.[1]

      Sampai sini, nampaknya perbedaan pemahaman amil antara zakat klasik dan zakat kontemporer pun menjadi sangat jelas, sudah diketahui bahwa BAZNAS (BAZIS) DKI memiliki 2 bidang yang mencakup pekerjaan amil yakni Pemberdayaan (pendistribusian) dan Pengumpulan, dan dalam hal pendistribusian lembaga zakat biasanya melakukan open recruitment sebagai relawan, jadi hal inipun akan menjadi pertanyaan besar bagi para pegiat zakat, yang manakah yang disebut amil pada lembaga tersebut ?

     Gejala lainnya juga terjadi pada seorang teman saya yang menjadi relawan di Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT), setiap bulan Ramadhan ia aktif sebagai relawan dan mendapatkan bagian daripada zakat fitrah yang dikumpulkan, ini juga sangat keliru, bahkan jika dalam kajian zakat kontemporer ini pun tidak sesuai, karena yang disebut sebagai amil dalam zakat kontemporer ialah seseorang yang tidak bekerja dilembaga lain, memiliki program jangka menengah dan Panjang pada sebuah Lembaga zakat

      Sampai sini, kita dapat memahami, pada dasarnya baik amil yang ada pada Lembaga zakat maupun amil yang independent memiliki peran besar dalam pengumpulan zakat, adapun infaq dan shadaqah hanya sebagai derivasi dari zakat, namun dapat dikatakan pemahaman amil yang beragam inipun menjadi sebuah pertanyaan yang harus diselesaikan secara ilmiah oleh para pegiat zakat di Indonesia. saya memiliki kesimpulan bahwa pemahaman amil di Indonesia 70% sebagai mustahik dan 30% sebagai petugas zakat.

      Meskipun pemahaman zakat sangat beragam, nampaknya pemahaman mengenai amil perlu diulas ulang dan mendapat perhatian khusus mengenai mekanisme kerja, dari mulai bertanya ulang mengenai ap aitu amil ? apakah amil menjadi relevan sebagai pengumpul zakat ? apa alas an rasional al-qur’an menyatakan bahwa amil itu berhak menjadi bagian dari mustahik zakat ? hingga pembahasan mengenai pengumpulan hingga pendistribusian.



[1] Muhammad bin Qosim Al-Ghaziyy “ Fath Al Qorib “ h. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...