Makan, berarti tindakan memasukkan sesuatu ke
dalam tubuh, kemudian dicerna oleh bagian-bagian dalam tubuh yang bertugas, dan
pada akhirnya mengeluarkannya melalui anus. Jika terjadi kerusakan pada sistem
pencernaan manusia, maka manusia tersebut akan menderita, sakit, dan lebih jauh
lagi, manusia itu akan mati.
Ilmu Pengetahuan, sebagaimana makan. Ketika
masuk melalui indera dan dicerna oleh akal, kemudian harus dikeluarkan baik
melalui lisan maupun tulisan, jika tidak demikian, seseorang tersebut akan
menderita, bukan sakit fisik, melainkan mendapatkan semacam gangguan
intelektual. Bentuk lain dalam mengeluarkan ilmu pengetahuan adalah dengan
mengamalkannya.
Berkaitan dengan ini, adalah langkah baik yang
diambil oleh Plato untuk mengolah dan mengeluarkan ilmu pengetahuannya dengan
mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama academia. Bagiku, ini
adalah usaha Platon agar tidak menderita gangguan intelektual, serta menambah
cakrawala pengetahuannya, sebab jika seseorang mengajarkan atau mengamalkan
ilmu pengetahuan yang dimiliki kepada orang lain, maka akan bertambah pula ilmu
pengetahuan yang dimilikinya.
Namun hal itu tak bertahan lama terutama
setelah Platon wafat, pada tahun 529 M academia ditutup oleh kekuasaan
Romawi untuk menolak penyebarluasan pengetahuan filosof Yunani, sekaligus
menanamkan dogma kristen katolik yang telah jadi agama yang diterima oleh
Romawi sejak tahun 313 M dan diresmikan menjadi agama negara pada tahun 380 M.
Strateginya sederhana saja, ketika sekolah Yunani ditutup, ordo-ordo monastik
besar didirikan oleh rezim Romawi.
Hal ini kemudian mulai berubah sejak
penyebaran Islam ke Eropa, khususnya tanah Spanyol. Penyebaran agama Islam oleh
orang-orang Arab juga meliputi kota-kota Hellenistik kuno di Iskandariah
(Alexandria). Dengan begitu, ilmu pengetahuan yang ada disana mulai di
terjemahkan, dikomentari, dikritisi, dan ditemukan pemikiran baru. Ilmu-ilmu
ini seputar filsafat, matematika, astronomi, kimia dan kedokteran. Dari sini,
tanpa perlu memaparkan sejarahnya secara panjang, sudah banyak karya filsafat
yang dilahirkan oleh filosof Muslim seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd, dimana
beberapa karya mereka sangat bercorak aristotelian atau platonian. Saya
mendapat informasi dari .... bahwa sebagian filosof mengaristotelianisasikan
sistem platonik, maupun sebaliknya. Sehingga sungguh tidak aneh apabila nanti
kita akan mendapatkan beberapa pandangan dari filosof barat yang mirip dengan
filosof Islam maupun filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Platon.
Walau terdapat banyak informasi dari para
sarjana, semisal ....., mengenai Islam di Eropa, tapi tidak begitu mengherankan
apabila penduduk Eropa pada saat itu masih banyak yang beragama katolik, hal
ini tentu bagian dari sejarah panjang para agamawan Romawi dalam mentransfer
keyakinannya melalui institusi yang didirikan oleh rezim. Walau demikian, ini
bukan berarti, tidak ada sama sekali orang kristen yang terpikat pikirannya
untuk mempelajari filsafat. Thomas Aquinas adalah bukti nyatanya dalam sejarah.
Hemat saya, dengan adanya pertalian antara
Islam dan Yunani di masa sebelum Aquinas hidup, maka dapat dipastikan, Aquinas
yang memiliki ketertarikan kepada filsafat, bukan hanya mempelajari filsafat
Yunani, melainkan juga membaca karya-karya filsafat Islam. Jadi, produk
pemikiran Agustin yang akan dijelaskan nanti sebetulnya adalah produk atas
trilogi ilmu pengetahuan, yakni filsafat yunani, filsafat Islam, dan wahyu
(agama) katolik.
Anda mungkin akan bertanya-tanya, apakah
seorang yang beragama katolik mungkin untuk membaca risalah-risalah filsafat
dari luar katolik ? maka saya akan dengan tegas mengatakannya ‘IYA’, sebab
itulah kunci peradaban, yakni keterbukaan. Jika saya meminjam pemikiran Amin
Abdullah, maka fase studi agama yang ada pada era Agustin adalah fase critis,
yakni fase dimana kebenaran-kebenaran wahyu harus teruji secara intersubjektif,
dan keterujian intersubjektif hanya mungkin dengan adanya proses multidisiplin
dan keterbukaan.
Anda mungkin juga akan bertanya, siapakah Aquinas
? Maka saya akan mengatakan: Aquinas adalah seorang Profesor Teologi di
Universitas yang ada di Paris dan Italia. Ia hidup pada rentang tahun 1225-1274[1].
Salah satu pemikirannya yang akan diulas disini adalah mengenai pembuktian
keberadaan Tuhan (teologi). Sarjanawan Bertens mengatakan bahwa pemikiran
Aquinas mengenai hal ini ada pada karyanya yang berjudul Summa Theologiae (Ikhtisar
Teologi), Bertens juga menyebutkan bahwa ini adalah karya utamanya.
Namun, anda juga mungkin akan bertanya, kenapa
Aquinas menghabiskan waktunya untuk membahas hal ini ? bukankah dia bisa saja
duduk santai sambil menikmati alkohol dan menghisap kretek ganja ? apa hal yang
membuat dirinya tergerak untuk membahas masalah teologi ? Dasar, ada-ada saja
memang filosof ini.
Jika demikian, maka saya akan menerangkannya.
Jika anda pernah terbesit untuk mengatakan sesuatu yang penting, maka ada hal
penting yang mendorong anda untuk mengatakan sesuatu tersebut, dan hal penting
itu sudah pasti berasal dari diri selain diri anda. Jika anda memahaminya, maka
anda mulai mengerti apa yang menjadi alasan Aquinas untuk memikirkan hal ini.
Apabila anda sudah sesuai dengan ekspektasi
saya, tinggal satu pertanyaan yang ada, siapakah dan apakah yang dilakukan
orang lain itu hingga membuat Aquinas tergerak ? maka saya akan segera
memberitahunya sekarang. Santo Agustinus adalah orangnya dan Kota Tuhan adalah
hal yang dilakukannya. Kota Tuhan adalah bahasa Indonesia, ini adalah karya
asli dari Agustinus, namanya City of God.
Jika dilihat dari sisi sejarah, memang Agustin
lebih dulu hidup dibanding Aquinas, jadi, Agustin memang tidak berkesempatan
untuk menyicipi pemikiran para filosof Islam seperti Aquinas. Selain itu,
Agustin juga hidup ditengah keramaian doktrin katolik yang dijadikan semacam
ideologi negara, walau demikian, Agustin adalah orang yang memberi manfaat
kepada aktivitas intelektual Aquinas, sebab tanpa ada Agustin, mungkin saja
Aquinas menjadi preman di Pasar yang kerjaannya menggoda perempuan cantik.
Agustin hidup pada 354 sampai 430 M. Ada
banyak informasi yang saya dapat dari Gaarder, salah satunya bahwa, sekalipun
beragama katolik, Agustin bukanlah pengikut katolik dari garis keturunan, sebab
dia memeluk katolik setelah terlebih dahulu belajar agama dan filsafat di Roma,
Milan dan Hippo. Dari sini, kita dapat berpikiran biasa-biasa saja setelah
mengetahui bahwa Agustin akhirnya memilih katolik dengan aliran manichaean, sebuah
aliran yang mendasarkan doktrinnya pada agama dan filsafat. Walau demikian,
diantara kedua itu, Agustin lebih cenderung pada doktrin agama, sebab ia tidak
menerima pemikiran filsafat Yunani yang bertentangan dengan wahyu katolik. Dan
karena kecenderungannya kepada agama, tentu saja dia memilih Neo-Platonisme
untuk mengukuhkan pemikirannya. Sebab doktrin neo-platonik cenderung
metafisikal, dan ini sangat cocok apabila dihubungkan dengan doktrin katolik.
Kecenderungan ini dapat dilacak dari karyanya
yang berjudul City of God. Sebelum mengulas bukunya lebih jauh, perlu
diketahui bahwa salah satu obrolan Agustinus paling asyik adalah mengenai
eksistensi. Agustinus berpandangan bahwa eksistensi itu sifatnya ilahiah.
Kesimpulan itu diperoleh Agustinus setelah menekuni bidang etika, dimana
Agustinus merasa kebingungan dengan adanya konsep kebaikan dan kejahatan.
Setelah melalui renungan filosofis, Agustinus memperoleh jawaban atas hal
tersebut, yakni pada dasarnya semua adalah baik, karena semua berasal dari
Tuhan, dan itu akan menjadi buruk jika Tuhan tidak ada. Tuhan lah eksistensi
tersebut, dan karena Tuhan bersifat ilahiah, maka yang eksis adalah yang ilahi,
dan tidak ada lagi selain Tuhan yang memiliki sifat ilahi.
Sekarang kita akan mengulas sedikit saja
intisari dari pemikirannya yang ada pada buku City of God. Agustinus
pada akhirnya kembali mempertentangkan antara agama dan filsafat, sebab bukunya
itu berbicara mengenai ‘Kerajaan Tuhan’ dan ‘Kerajaan Negara’. Baginya,
sepanjang sejarah, untuk menguji hal yang benar dan tidak benar adalah adanya
‘kelanggengan’. Dari dua kerajaan itu, yang langgeng adalah kerajaan Tuhan.
Kesimpulan ini didasarkan pada sejarah pertempuran antara negara Romawi dan
bangsa Barbar pada tahun 410 M. Pertempuran itu dimenangkan oleh Barbar. Akan
tetapi, point pentingnya adalah, Agustinus melihat bahwa Romawi sebagai negara
telah kalah, dan Kristen sebagai agama tetap ada, maka yang ada hanyalah
kerajaan Tuhan, dan tidak ada keselamatan diluar Gereja. Dengan ini, Agustinus
mengukuhkan pandangannya bahwa Tuhan berkuasa atas segalanya, termasuk negara.
Begitulah uraian ringkas mengenai Agustinus
dan pemikirannya. Disini, kita mendapatkan polarisasi yang jelas mengenai hal
yang membuat tubuh dan jiwa Aquinas tergerak untuk berpikir ulang mengenai
teologi katolik. Hal ini tak lain, -untuk sekedar mempertegas saja-, adalah
usaha Aquinas untuk mengkorelasikan atau mendialogkan antara agama dan
filsafat, dimana keduanya tak perlu dipertentangkan, maksudnya, kebenaran akal
dan kebenaran wahyu adalah satu, bukan dua, kebenaran adalah kebenaran, bukan
kebenaran akal dan kebenaran wahyu.
Saya akan secara eksplisit saja menjelaskan
pemikiran Aquinas mengenai usahanya mendialogkan antara agama dan filsafat,
yang berbeda dari sisi metodenya. Sebab, pada satu sisi agama berasal dari
Wahyu, sedangkan filsafat adalah murni akal. Dan sebagaimana telah dijelaskan
diatas, pemikiran Aquinas yang akan diuraikan disini adalah pemikirannya
mengenai teologi yang terdapat pada karyanya Summa Theologiae.
Aquinas memaparkan sejumlah konsep untuk
membuktikan adanya Tuhan. Konsep pertama adalah setiap yang bergerak pasti ada
yang menggerakkan, dan itu harus berakhir pada yang tak digerakkan, yang tak
digerakkan ini adalah Tuhan, konsep ini juga berkaitan dengan konsep lainnya
yaitu konsep kausalitas. Dimana semua hal adalah akibat dari sebab-sebab yang
panjang, namun hal ini tak mungkin tidak berujung, sebab jika tidak berujung,
tak pernah mungkin ada akibat, sebab pertama ini adalah Tuhan.
Selain dua konsep diatas, Aquinas juga
memberikan konsep keselarasan alam. Menurut Aquinas, alam semesta berjalan
secara teratur, dan keteraturan itu pasti bukan sesuatu yang kebetulan.
Keteraturan itu geraknya mengikuti suatu pola, berjalan seperti sebuah anak
panah menuju tujuan tertentu yang dikehendaki pemanahnya. Pemanahnya itu adalah
Tuhan.
Konsep lainnya adalah konsep moral. Menurut
Aquinas, manusia pasti memiliki penilaian baik dan buruk yang beragam, karena
itu sifatnya menjadi relatif, akan tetapi, moral relatif itu tidaklah mungkin,
sebab jika demikian, akan terjadi kekacauan moralitas, karena itu, untuk konsep
moral kita memerlukan esensi yang absolut sebagai pijakan, konsep absolut itu
berasal dari Tuhan. Aquinas mengatakan hal ini dengan cara pikir bahwa yang
baik menurut Tuhan pasti juga baik menurut akal, dan hal itu biasanya dalam beberapa
hal banya di sepakati, sebab hal ini sangat terkait erat dengan kemanusiaan.
Itulah beberapa konsep yang diajukan oleh
Aquinas mengenai kebenaran adanya Tuhan melalui penalaran filosofis, penting
untuk diketahui pula bahwa, sebagaimana dikatakan oleh Gaarder, bahwa Aquinas
berusaha semaksimal mungkin agar filsafat dapat dipahami oleh para penganut
agama (baca: katolik), sebab dengan demikian, akan terjadi kemantapan iman,
sebab adanya penyelarasan antara wahyu dan akal.
Produk pemikiran lain dari Aquinas yang sangat
menggelitik saya adalah kesepakatannya terhadap diktum Aristoteles mengenai
wanita. Menurut Aquinas, Aristoteles adalah benar jika mengatakan bahwa wanita
itu adalah setengah laki-laki, maksudnya, setiap anak pasti mewarisi ciri-ciri
ayahnya, sebab perempuan itu pasif dan reseptif, sedangkan laki-laki itu aktif
dan kreatif. Aquinas juga berpandangan bahwa ini sesuai dengan doktrin bibel
yang menceritakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.
[1] 200 tahun pasca Ibn Sinadan 100 tahun
pasca Ibn Rusyd. Keduanya adalah filosof muslim yang erat dengan tradisi
aristoteles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar