’Where’d you go ? I miss you so, Seems like
it’s been forever, That You’ve been gone’ klik, musik dari Fort Minor dimatikan oleh
seorang satpam yang tengah menyapu di Sekolah Tinggi Pemikiran Islam, satpam
itu bernama Ikhlassul.
Satpam itu kemudian mengatur nafasnya yang
terengah-engah setelah menyapu halaman kampus, setelah nafasnya teratur,
Ikhlassul segera menyeruput kopi hitam yang diantar oleh neng Indah, pemilik
warkop di depan STPI yang berasal dari Bandung.
“Aa…a…aa, itu ada dokter yang mau masuk ke
kampus, katanya teh ada perlu” kata neng Indah sambil memberikan kopi hitam
“Iya teh Ipehh, makasih udah ngingetin ya,
tapi teh sebelumnya, itu kaki teteh kenapa ? “
“Hah ? kaki saya ga kenapa-napa a, emangnya
kenapa ?”
“Bisa jalan teh ?”
“Bisa atuh a, kan saya kaki saya engga
kenapa-napa”
“Malam ini mau jalan ?”
“Ishhh si aa mah kirain kenapa, udah ah neng mau jaga warkop lagi takut ada yang
belanja” tutup neng Indah.
Kemudian, ikhlassul segera menemui dokter,
senyum hangat terlihat pada wajah Galen dan Ikhlassul yang saling menyapa, tak
mau membuang waktu, Galen segera menyatakan maksudnya kepada Ikhlassul,
“Siap dok, saya anter ke ruang dosen”
“Terimakasih ya pak”
Keduanya menuju ruang dosen, Galen takjub
dengan isi dari Sekolah Tinggi Pemikiran Islam itu, sebab di dalam sudah
dihidangkan sebuah lemari buku yang dilapisi kaca, hal lain yang lebih
menakjubkan adalah, buku disana sangat beragam, mulai dari bahasa Indonesia,
Inggris, Arab, Persia, Turkey, sampai bahasa Russia, Mata Galen pun tidak
berkedip ketika melihat lukisan seorang sufi Persia yang bernama Jalaludin
Rumi, terlebih dibawah lukisan itu terdapat sebuah kalimat “Ketika saya
pintar, saya hendak merubah masyarakat, namun ketika saya bijaksana, saya
hendak merubah diri saya sendiri”.
Tibalah keduanya di ruang dosen, Ikhlassul
kemudian menyampaikan maksud kedatangan Galen kepada seorang dosen yang
ternyata adalah kepala bidang kurikulum, kemudian Galen langsung dipersilahkan
untuk mengutarakan maksudnya, Galen berkata:
“Permisi pak, saya Galen, dokter di rumah
sakit jiwa sebelah kampus ini, jika bapak mengizinkan, saya hendak bertemu
dengan dosen yang sore ini memberi kuliah di ruang auditorium”
“Ada keperluan apa dok ?”
“Mungkin, agar tidak dua kali menjelaskan,
saya bisa bertemu terlebih dahulu dengan dosen tersebut”
“Baiklah, silahkan ditunggu ya dok”
Kepala bidang kurikulum tersebut segera
meminta tolong kepada asistennya untuk memanggil dosen yang hari ini memberi
kuliah di ruang auditorium. Sambil menunggu, Galen terus mengulang-ulang bacaan
yang terdapat ruang dosen itu, nampaknya bacaan itu sangat asing bagi Galen,
bacaan tersebut juga terletak dibawah dua buah lukisan, pada lukisan pertama, terdapat
bacaan “Akulah yang Haq” dan dilukisan kedua, bacaannya adalah “Maha
Suci Aku”.
Setelah 10 menit menunggu, akhirnya Galen
bertemu dengan Asep, dosen muda yang memberi kuliah di auditorium. Keduanya
saling menyapa dan berkenalan, Asep adalah dosen pengampu mata kuliah Tasawuf.
Agaknya Galen sedikit terburu-buru, ia berkata:
“Pak, biar cepat, mungkin kita bisa bicara
sambil berjalan ke rumah sakit, pasien saya butuh bapak”
Atas perkataan tersebut, walaupun Asep
sangat terheran-heran, karena ia menyadari bahwa dirinya bukanlah seorang
dokter. Namun pun demikian, Asep mengiyakan permintaan Galen.
Angin sore yang sejuk menemati setiap
hembusan nafas serta langkah kaki Galen dan Asep, Keduanya memiliki beberapa
persamaan, dari mulai usia yang muda, hingga famous dilungkungan kerja
masing-masing. Pada satu sisi, Galen terkenal di rumah sakit karena sangat
menguasai ilmu-ilmu kedokteran beserta sejarah kedokteran, karena sangat jarang
sekali, orang yang belajar ‘sains’ juga paham dengan sejarah sains,
mungkin ini hal yang wajar, karena Galen menghabiskan hampir 10 tahun untuk
mempelajari ilmu kedokteran, selain itu wajahnya juga sangat tampan, karena
Galen adalah keturunan Indo-Eropa.
Pada sisi lain, Asep juga adalah dosen
termuda di Sekolah Tinggi Pemikiran Islam, walau demikian, keilmuannya sangat
luas, bahkan Asep dikenal sebagai salah satu dosen yang mampu menyederhanakan
bahasa-bahasa para sufi, dan -selain itu,- Asep juga memiliki wajah yang tampan,
namun sangat asli Indonesia, karena Asep adalah keturunan murni dari suku
Sunda.
“Sebelumnya maaf mengganggu waktunya pak,
dan maaf pula apabila ini terburu-buru” ucap Galen memulai obrolan.
“Iya pak, tidak apa-apa, kebetulan saya
juga sudah tidak ada jam mengajar, oh iya dok, bagaimana jika kita melanjutkan
obrolan di rumah sakit saja ? kebetulan sebelum dokter datang untuk menemui
saya, dan karena ketidaktahuan saya akan kedatangan dokter, saya sudah
menghubungi neng Indah untuk menghantarkan kopi hitam khas Bogor ke ruangan
saya”
“Memangnya ada pak kopi hitam khas Bogor ?”
“Tentu saja dok, nama kopinya the liong
bulan, itu mah jarang ada yang jual”
Obrolan pembuka itu terus mengalir, hingga
keduanya tiba di tempat khusus merokok yang berada di taman rumah sakit yang
jaraknya agak jauh dari pintu rumah sakit itu sendiri, agaknya tempat itu
memang sengaja dipilih karena Asep hendak menikmati kopi dan rokok terlebih
dahulu.
Neng Indah datang sembari membawa kopi dan
langsung berpamitan kepada Galen dan Asep, ketika Asep memegang gelas kopinya,
ternyata sudah tidak terlalu panas, karena itu, Asep langsung menyeruput kopi:
“Bismillahir-rahmanir-rahim, ssssttttppp,
nikmat pisan ya Allah, fa bi’ayyi ala irobbikuma tukadziban”, kata Asep,
kemudian segera membakar sebatang rokok Dji Sam Soe dan berkata kepada Galen:
“Dok, punteun, sebenernya ini teh ada apa
?”
Setelah mendengar pertanyaan itu, Galen
langsung menceritakan kejadian yang ada di rumah sakit kepada Asep,
“Hmm begitu ya, lalu apa yang dapat saya
bantu ?”
“Bantu saya untuk memberikan penjelasan
yang utuh mengenai positivisme kepada pasien saya, karena saya beranggapan
bahwa, pasien saya memiliki konsep positivisme yang tidak utuh”
“Apakah dia seorang Muslimah ?”
“Iya, dia seorang Muslimah”
“Baiklah, itu akan menjadi lebih mudah”
Keduanya langsung bergegas ke kamar Analisa
yang sedang di landa mabuk positivisme, terlihat Hypatia sedang menahan air
mata sebab teriakan dari Analisa yang semakin menjadi-jadi.
“Dok, mungkin perawatnya bisa suruh tunggu
diluar saja, nanti persilahkan dia masuk apabila diperluka” kata Asep.
Galen memberi isyarat yang langsung di
mengerti oleh Hypatia, akhirnya Hypatia segera keluar dari ruangan, kini
tinggal Galen dan Asep yang berada di kamar Analisa.
“Apakah disini terdapat camera CCTV ? saya
takut terkena fitnah !” ucap Asep
“Aman pak, ruangan ini memiliki lebih dari
lima CCTV disetiap sudut yang hanya diketahui oleh bagian keamanan”
Sat set sat set Asep langsung menutup mata
dan telinga Analisa, dan AJAIB, Analisa langsung terdiam.
“Hah ? bagaimana mungkin ?” Galen sangat
terkejut hingga suaranya agak sedikit keras
“Sebetulnya saya belum pernah menangani
kasus ini, karena saya bukan seorang dokter maupun dukun. Akan tetapi, karena
dalam positivisme, Comte hanya membenarkan sesuatu yang terindera, maka
terlebih dahulu saya harus menutup mata dan telinganya -yang merupakan bagian
dari indera- sebagai instrumen pengetahuan mutlak yang diyakini oleh Comte”.
“Kira-kira berapa lama mata dan telinga itu
harus tertutup ?”
Asep terdiam sambil berpikir, dia kemudian
memutuskan untuk berkata:
“Kita coba tiga hari, sebab angka tiga
mengandung hal yang istimewa. Pertama, manusia memiliki tiga instrumen
pengetahuan yakni indera, akal dan hati. Kedua, manusia memiliki tiga daya
(jiwa) yakni tanaman, hewan dan manusia. Ketiga, dalam praktik berwudhu, semua
anggota yang menjadi bagian wudhu di cuci atau di usap sebanyak tiga kali.
Keempat, ketika Jibril datang kepada Muhammad sang Nabi dan Rasul terakhir, ia
melafalkan ‘iqro’ sebanyak tiga kali. Kelima, barangkali ini yang baru
saja terpikir dalam benak saya, bahwa tiga juga menggambarkan jawara filosof
terbesar Yunani, yakni Socrates, Platon dan Aristoteles”.
“Saya sebetulnya tidak memahami itu pak,
tapi karena buktinya telah terlihat sendiri oleh mata saya bahwa pasien saya
kini tengah menjadi tenang.”
“Hahaha tenang saja dok, ingsya Allah
sembuh, lagi pula saya bukan seorang dukun. Oh iya dok, selama tiga hari ini,
mohon untuk menyedikitkan makan gadis ini, maksud saya, beri dia makan tiga
kali sehari, pagi, siang dan malam. Kemudian, setiap makan itu harus tiga suap
dan tiga teguk air. Semoga dengan berkah angka tiga, dan keyakinan kepada
Tuhan, gadis ini dapat sembuh.”
Hypatia kembali masuk untuk membaringkan
tubuh Analisa, sedangkan Galen dan Asep beranjak keluar ruangan, keduanya
melanjutkan obrolan di taman,
Tanpa sepengetahuan siapapun, Hypatia
hendak membuka penutup mata dan telinga yang terdapat pada Analisa, namun
ternyata, rasa takut lebih besar dibanding keberaniannya, akhirnya Hypatia
memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan, sebab ia takut terjadi suatu hal
yang tidak diinginkan.
Sinar matahari mulai redup, di taman,
terlihat lampu-lampu rumah sakit mulai menyala, walau demikian, keduanya tetap
asyik berbincang, apalagi Asep, ia sangat menikmati tarikan rokok surya yang
membuat paru-parunya tersenyum, karena Asep mengamalkan sebuah pepatah kuno
dari Bogor “Bakarlah Rokokmu Dengan Penuh Kasih Sayang !”.
“Oh iya dok, tadi saat di ruangan Analisa,
saya melihat banyak lukisan seperti lau, pesawahan, pegunungan, apakah
fungsinya untuk menenangkan pikiran para pasien ?”
“Betul pak, memang demikian”
“Wah, pelukisnya juga pasti sangat
mencintai alam, sebab semua tulisan itu terlihat sangat nyata, mungkin pasien
akan segera sembuh apabila di dalam sana terdapat lukisan dokter Galen, sebab
akan terlihat sangat nyata”
“Hahaha,,, ada-ada saja pak Asep ini”
Obrolan terus berlanjut hingga adzan
maghrib memisahkan keduanya, Galen kembali masuk ke rumah sakit, dan Aseo
diantar oleh satpam rumah sakit untuk mengambil barangnya di kampus, kemudian
pulang ke rumahnya.
“Hari yang unik, dan mungkin saja
Shakespeare dan Gaarder tidak pernah memiliki ide untuk menulis cerita seperti
ini,” kata Asep dalam benaknya sambil mematikan rokok dan menyeruput kopi hitam
khas Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar