Selasa, 06 Juni 2023

Kupinang Kau Dengan Filsafat: Tak ada dalam Shakespeare dan Gaarder (BAG II)

 

’Where’d you go ? I miss you so, Seems like it’s been forever, That You’ve been gone’ klik, musik dari Fort Minor dimatikan oleh seorang satpam yang tengah menyapu di Sekolah Tinggi Pemikiran Islam, satpam itu bernama Ikhlassul.

Satpam itu kemudian mengatur nafasnya yang terengah-engah setelah menyapu halaman kampus, setelah nafasnya teratur, Ikhlassul segera menyeruput kopi hitam yang diantar oleh neng Indah, pemilik warkop di depan STPI yang berasal dari Bandung.

“Aa…a…aa, itu ada dokter yang mau masuk ke kampus, katanya teh ada perlu” kata neng Indah sambil memberikan kopi hitam

“Iya teh Ipehh, makasih udah ngingetin ya, tapi teh sebelumnya, itu kaki teteh kenapa ? “

“Hah ? kaki saya ga kenapa-napa a, emangnya kenapa ?”

“Bisa jalan teh ?”

“Bisa atuh a, kan saya kaki saya engga kenapa-napa”

“Malam ini mau jalan ?”

“Ishhh si aa mah kirain kenapa, udah  ah neng mau jaga warkop lagi takut ada yang belanja” tutup neng Indah.

Kemudian, ikhlassul segera menemui dokter, senyum hangat terlihat pada wajah Galen dan Ikhlassul yang saling menyapa, tak mau membuang waktu, Galen segera menyatakan maksudnya kepada Ikhlassul,

“Siap dok, saya anter ke ruang dosen”

“Terimakasih ya pak”

Keduanya menuju ruang dosen, Galen takjub dengan isi dari Sekolah Tinggi Pemikiran Islam itu, sebab di dalam sudah dihidangkan sebuah lemari buku yang dilapisi kaca, hal lain yang lebih menakjubkan adalah, buku disana sangat beragam, mulai dari bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Persia, Turkey, sampai bahasa Russia, Mata Galen pun tidak berkedip ketika melihat lukisan seorang sufi Persia yang bernama Jalaludin Rumi, terlebih dibawah lukisan itu terdapat sebuah kalimat “Ketika saya pintar, saya hendak merubah masyarakat, namun ketika saya bijaksana, saya hendak merubah diri saya sendiri”.

Tibalah keduanya di ruang dosen, Ikhlassul kemudian menyampaikan maksud kedatangan Galen kepada seorang dosen yang ternyata adalah kepala bidang kurikulum, kemudian Galen langsung dipersilahkan untuk mengutarakan maksudnya, Galen berkata:

“Permisi pak, saya Galen, dokter di rumah sakit jiwa sebelah kampus ini, jika bapak mengizinkan, saya hendak bertemu dengan dosen yang sore ini memberi kuliah di ruang auditorium”

“Ada keperluan apa dok ?”

“Mungkin, agar tidak dua kali menjelaskan, saya bisa bertemu terlebih dahulu dengan dosen tersebut”

“Baiklah, silahkan ditunggu ya dok”

Kepala bidang kurikulum tersebut segera meminta tolong kepada asistennya untuk memanggil dosen yang hari ini memberi kuliah di ruang auditorium. Sambil menunggu, Galen terus mengulang-ulang bacaan yang terdapat ruang dosen itu, nampaknya bacaan itu sangat asing bagi Galen, bacaan tersebut juga terletak dibawah dua buah lukisan, pada lukisan pertama, terdapat bacaan “Akulah yang Haq” dan dilukisan kedua, bacaannya adalah “Maha Suci Aku”.

Setelah 10 menit menunggu, akhirnya Galen bertemu dengan Asep, dosen muda yang memberi kuliah di auditorium. Keduanya saling menyapa dan berkenalan, Asep adalah dosen pengampu mata kuliah Tasawuf. Agaknya Galen sedikit terburu-buru, ia berkata:

“Pak, biar cepat, mungkin kita bisa bicara sambil berjalan ke rumah sakit, pasien saya butuh bapak”

Atas perkataan tersebut, walaupun Asep sangat terheran-heran, karena ia menyadari bahwa dirinya bukanlah seorang dokter. Namun pun demikian, Asep mengiyakan permintaan Galen.

Angin sore yang sejuk menemati setiap hembusan nafas serta langkah kaki Galen dan Asep, Keduanya memiliki beberapa persamaan, dari mulai usia yang muda, hingga famous dilungkungan kerja masing-masing. Pada satu sisi, Galen terkenal di rumah sakit karena sangat menguasai ilmu-ilmu kedokteran beserta sejarah kedokteran, karena sangat jarang sekali, orang yang belajar ‘sains’ juga paham dengan sejarah sains, mungkin ini hal yang wajar, karena Galen menghabiskan hampir 10 tahun untuk mempelajari ilmu kedokteran, selain itu wajahnya juga sangat tampan, karena Galen adalah keturunan Indo-Eropa.

Pada sisi lain, Asep juga adalah dosen termuda di Sekolah Tinggi Pemikiran Islam, walau demikian, keilmuannya sangat luas, bahkan Asep dikenal sebagai salah satu dosen yang mampu menyederhanakan bahasa-bahasa para sufi, dan -selain itu,- Asep juga memiliki wajah yang tampan, namun sangat asli Indonesia, karena Asep adalah keturunan murni dari suku Sunda.

“Sebelumnya maaf mengganggu waktunya pak, dan maaf pula apabila ini terburu-buru” ucap Galen memulai obrolan.

“Iya pak, tidak apa-apa, kebetulan saya juga sudah tidak ada jam mengajar, oh iya dok, bagaimana jika kita melanjutkan obrolan di rumah sakit saja ? kebetulan sebelum dokter datang untuk menemui saya, dan karena ketidaktahuan saya akan kedatangan dokter, saya sudah menghubungi neng Indah untuk menghantarkan kopi hitam khas Bogor ke ruangan saya”

“Memangnya ada pak kopi hitam khas Bogor ?”

“Tentu saja dok, nama kopinya the liong bulan, itu mah jarang ada yang jual”

Obrolan pembuka itu terus mengalir, hingga keduanya tiba di tempat khusus merokok yang berada di taman rumah sakit yang jaraknya agak jauh dari pintu rumah sakit itu sendiri, agaknya tempat itu memang sengaja dipilih karena Asep hendak menikmati kopi dan rokok terlebih dahulu.

Neng Indah datang sembari membawa kopi dan langsung berpamitan kepada Galen dan Asep, ketika Asep memegang gelas kopinya, ternyata sudah tidak terlalu panas, karena itu, Asep langsung menyeruput kopi:

“Bismillahir-rahmanir-rahim, ssssttttppp, nikmat pisan ya Allah, fa bi’ayyi ala irobbikuma tukadziban”, kata Asep, kemudian segera membakar sebatang rokok Dji Sam Soe dan berkata kepada Galen:

“Dok, punteun, sebenernya ini teh ada apa ?”

Setelah mendengar pertanyaan itu, Galen langsung menceritakan kejadian yang ada di rumah sakit kepada Asep,

“Hmm begitu ya, lalu apa yang dapat saya bantu ?”

“Bantu saya untuk memberikan penjelasan yang utuh mengenai positivisme kepada pasien saya, karena saya beranggapan bahwa, pasien saya memiliki konsep positivisme yang tidak utuh”

“Apakah dia seorang Muslimah ?”

“Iya, dia seorang Muslimah”

“Baiklah, itu akan menjadi lebih mudah”

Keduanya langsung bergegas ke kamar Analisa yang sedang di landa mabuk positivisme, terlihat Hypatia sedang menahan air mata sebab teriakan dari Analisa yang semakin menjadi-jadi.

“Dok, mungkin perawatnya bisa suruh tunggu diluar saja, nanti persilahkan dia masuk apabila diperluka” kata Asep.

Galen memberi isyarat yang langsung di mengerti oleh Hypatia, akhirnya Hypatia segera keluar dari ruangan, kini tinggal Galen dan Asep yang berada di kamar Analisa.

“Apakah disini terdapat camera CCTV ? saya takut terkena fitnah !” ucap Asep

“Aman pak, ruangan ini memiliki lebih dari lima CCTV disetiap sudut yang hanya diketahui oleh bagian keamanan”

Sat set sat set Asep langsung menutup mata dan telinga Analisa, dan AJAIB, Analisa langsung terdiam.

“Hah ? bagaimana mungkin ?” Galen sangat terkejut hingga suaranya agak sedikit keras

“Sebetulnya saya belum pernah menangani kasus ini, karena saya bukan seorang dokter maupun dukun. Akan tetapi, karena dalam positivisme, Comte hanya membenarkan sesuatu yang terindera, maka terlebih dahulu saya harus menutup mata dan telinganya -yang merupakan bagian dari indera- sebagai instrumen pengetahuan mutlak yang diyakini oleh Comte”.

“Kira-kira berapa lama mata dan telinga itu harus tertutup ?”

Asep terdiam sambil berpikir, dia kemudian memutuskan untuk berkata:

“Kita coba tiga hari, sebab angka tiga mengandung hal yang istimewa. Pertama, manusia memiliki tiga instrumen pengetahuan yakni indera, akal dan hati. Kedua, manusia memiliki tiga daya (jiwa) yakni tanaman, hewan dan manusia. Ketiga, dalam praktik berwudhu, semua anggota yang menjadi bagian wudhu di cuci atau di usap sebanyak tiga kali. Keempat, ketika Jibril datang kepada Muhammad sang Nabi dan Rasul terakhir, ia melafalkan ‘iqro’ sebanyak tiga kali. Kelima, barangkali ini yang baru saja terpikir dalam benak saya, bahwa tiga juga menggambarkan jawara filosof terbesar Yunani, yakni Socrates, Platon dan Aristoteles”.

“Saya sebetulnya tidak memahami itu pak, tapi karena buktinya telah terlihat sendiri oleh mata saya bahwa pasien saya kini tengah menjadi tenang.”

“Hahaha tenang saja dok, ingsya Allah sembuh, lagi pula saya bukan seorang dukun. Oh iya dok, selama tiga hari ini, mohon untuk menyedikitkan makan gadis ini, maksud saya, beri dia makan tiga kali sehari, pagi, siang dan malam. Kemudian, setiap makan itu harus tiga suap dan tiga teguk air. Semoga dengan berkah angka tiga, dan keyakinan kepada Tuhan, gadis ini dapat sembuh.”

Hypatia kembali masuk untuk membaringkan tubuh Analisa, sedangkan Galen dan Asep beranjak keluar ruangan, keduanya melanjutkan obrolan di taman,

Tanpa sepengetahuan siapapun, Hypatia hendak membuka penutup mata dan telinga yang terdapat pada Analisa, namun ternyata, rasa takut lebih besar dibanding keberaniannya, akhirnya Hypatia memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan, sebab ia takut terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.

Sinar matahari mulai redup, di taman, terlihat lampu-lampu rumah sakit mulai menyala, walau demikian, keduanya tetap asyik berbincang, apalagi Asep, ia sangat menikmati tarikan rokok surya yang membuat paru-parunya tersenyum, karena Asep mengamalkan sebuah pepatah kuno dari Bogor “Bakarlah Rokokmu Dengan Penuh Kasih Sayang !”.

“Oh iya dok, tadi saat di ruangan Analisa, saya melihat banyak lukisan seperti lau, pesawahan, pegunungan, apakah fungsinya untuk menenangkan pikiran para pasien ?”

“Betul pak, memang demikian”

“Wah, pelukisnya juga pasti sangat mencintai alam, sebab semua tulisan itu terlihat sangat nyata, mungkin pasien akan segera sembuh apabila di dalam sana terdapat lukisan dokter Galen, sebab akan terlihat sangat nyata”

“Hahaha,,, ada-ada saja pak Asep ini”

Obrolan terus berlanjut hingga adzan maghrib memisahkan keduanya, Galen kembali masuk ke rumah sakit, dan Aseo diantar oleh satpam rumah sakit untuk mengambil barangnya di kampus, kemudian pulang ke rumahnya.

“Hari yang unik, dan mungkin saja Shakespeare dan Gaarder tidak pernah memiliki ide untuk menulis cerita seperti ini,” kata Asep dalam benaknya sambil mematikan rokok dan menyeruput kopi hitam khas Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...