Jumat, 07 Juli 2023

Hujan dan Payung-Nya: "Aku Akan Selalu Menjadi Payung Bagimu Disaat Hujan"

Mungkin aku adalah sebagian dari laki-laki di Bogor yang akan mengatakan bahwa, hujan adalah irama Tuhan yang menyempurnakan seluruh kenangan hidupku. Sudah hampir 23 tahun usiaku, aku tak pernah menganggap hujan adalah halangan bagiku dalam menjalankan aktivitas, aku menyukai hujan.

Kenangan pertama saat hujan, ketika aku berusia delapan tahun, terjadi kala aku hendak menuntut ilmu membaca al-Qur’an. Saat itu, hujan dan petir yang sangat dahsyat sedang berlangsung, namun hujan dan petir itu pula beriringan mengetuk pintu hatiku untuk tetap berangkat mengaji. Aku ditemani ibuku, walau sebelumnya ibu melarangku untuk berangkat, akan tetapi, aku berat untuk menahan cemburu terhadap tanah dan batu yang leluasa tersentuh oleh hujan.

Hujan memang bersifat relatif, karena itu, hujan sering dipandang dalam kacamata subjektif. Ketika hujan turun, ada orang yang berbahagia, ada pula orang yang bersedih. Namun, entah kenapa aku selalu merasa bahagia ketika hujan turun, bahkan dalam beberapa waktu, aku sering bermain hujan-hujanan, walau sudah di usia lebih dari 17 tahun.

Waktu masa kuliah di Ciputat, tepatnya di kampus peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ketika aku mulai merasa tidak enak pikiran dan perasaan, aku sangat menunggu hujan, bahka seringkali berdoa agar hujan turun, karena ketika hujan turun, aku akan menengadahkan tanganku untuk disentuhnya, biasanya dengan melakukan itu, pikiran dan perasaanku akan kembali tenang.

Terkadang, aku berpikir, ketika hujan turun, kenapa orang-orang seringkali meneduh ? apakah mereka tidak suka hujan ?, dan ternyata, setiap orang memiliki hal yang harus dijaga, seperti kesehatan fisiknya dan seperti buku yang telah dibeli dari hasil menabung berkat semangat puasa nabi Daud dan puasa senin kamis.

Seringkali hujan menyebut-nyebut nama seorang wanita yang kini masih kuingat, dulu aku sangat mencintainya, namanya tak akan hilang terkubur tanah dan tak akan hangus dibakar api, aku mungkin enggan menyebutnya disini, sebab ia cukup tersimpan dalam memoriku ini, memori yang sangat luar biasa, pemberian Allah, Tuhan seluruh alam.

Tapi, ada baiknya mungkin aku tulis kisah itu sedikit, kisah tentang remaja pria yang dicintai oleh seorang wanita berkulit putih, berwajah cerah. Wanita yang anggun jalan dan kedipan matanya. Wanita yang sabar akan diriku, yang aku pun sabar pada dirinya. Wanita yang pernah menangis dan tertawa bersamaku, wanita yang memberikan efek semangat belajar kepadaku, wanita yang selalu menghubungiku terlebih dahulu melalui BBM dan SMS. Wanita yang untuk pertama kalinya memberikan hati sepenuhnya kepadaku, tanpa memandang status dan fisikku, wanita pemilik senyuman yang tak dimiliki oleh Princess Diana. Dia, adalah wanita tidak sempurna, yang pernah jatuh air matanya diatas air mataku, dan sebaliknya. Sudah, mungkin itu cukup untuk memberi gambaran awal betapa istimewanya wanita itu untukku.

Sebelum bergulat dengan dunia pemikiran Islam secara serius, aku adalah seorang anak pramuka yang sangat menyukai bidang kesenian, dulu aku bisa bermain calung dan angklung, bahkan sedikit aku bisa bermain suling dan juga gendang. Wanita itu, adalah seorang anggota PMR (Palang Merah Remaja) yang sangat tertarik dengan dunia kesehatan.

Pada jalinan kasih yang telah berjalan selama satu tahun delapan bulan lebih tiga hari, begitu catatan harian yang aku tulis di tahun 2013. Pada hari kamis, hari dimana Latihan pramuka dan PMR dilaksanakan, saat itu ternyata pelatih PMR yang bernama Bapak Subarnas meliburkan latihan, akhirnya sebagai raja dihati wanita itu, aku mengantarkannya dari sekolah menuju jalan raya, wajar, waktu itu jarak dari sekolahku menuju jalan raya adalah 85 meter. Awan sendu di sore itu menemani perjalanan kami, tentu ingin rasanya aku mengusir awan itu, akan tetapi awan itu tidak mau mendengar.

Setelah sampai di jalan raya, wanita itu berkata:

“Aku pulang duluan ya Rifki, kamu hati-hati dijalan, kalo hujan neduh dulu, inget, kalo kamu sakit, siapa yang menjaga hatiku ?”

Begitu kira-kira kalimat yang keluar dari mulut manis seorang wanita yang sangat ku sayangi itu, tak lupa pula sebelum menyebrang jalan ia menusukku dengan senyuman yang sangat membuat batu-batu itu cemburu. Aku melambaikan tangan sebagai tanda ‘hati-hati dijalan’ kepadanya. Akhirnya, setelah melihat dia menaiki angkot, aku kembali ke sekolah untuk berlatih.

Saat berjalan kembali, aku melihat daun kering yang menunduk dihadapanku, daun itu rupanya tengah jatuh saat melihat senyum dari wanita yang kusayangi itu, “DASAR KAU DAUN YANG CABUL !!!!!!” ucapku dalam benak. Kemudian, aku segera melanjutkan perjalananku dan menghiraukan tangis rengek para pohon yang cemburu melihatku berjalan dengan wanita seindah langit dan seanggun semesta.

Latihan pun dilaksanakan, seperti biasa aku sedang mengajarkan adik-adik kelasku untuk dapat bermain calung, terkadang bermain alat musik itu seperti menuntut ilmu agama, maksudnya, tidak cukup hanya menggunakan Indera dan akal, namun lebih dari itu, memerlukan rasa yang mendalam untuk benar-benar memahaminya.

Latihan terus berlanjut hingga pukul 4 sore. Aku segera menuju musholla sekolah untuk menunaikan sholat ashar beserta qobliah-nya empat rakaat. Sungguh indah sholat itu, apabila Abu Jahal tau kenikmatan sholat, niscaya tidak akan terjadi perang badar pada tahun kedua hijriah. Bodoh betul Abu Jahal itu !.

Awan mulai berkumpul dan sedikit tertunduk, angin pun tak mau kalah, aku tahu bahwa ini akan segera hujan, maka aku segera berpamitan kepada pelatih pramuka ku, yakni Kak Tina. Anehnya, kak Tina malah tersenyum kepadaku, tapi aku menghiraukannya kemudian mencium tangannya sebagai tanda penghormatanku, saat aku berjalan, sahabatku yang bernama Ibnu berkata:

“Hehhh Rifki,,, itu si Anggi nungguin di warung dari tadi bukannya pulang malah main calung”

“WADUHHHH yang bener nu ?”

“Iyaa benerann,,, cepetan samperin itu, parah banget jadi laki-laki”

Akhirnya, aku segera memakai sepatu, ketika sepatu sebelah kanan selesai, hujan kemudian turun dengan derasnya diiringi angin, aku tidak memperdulikannya, aku berlari menujunya, sampai disana, wanita itu tersenyum kepadaku dan berkata:

“Apa kataku tadi sayang ? bukankah aku mengingatkamu agar tidak hujan-hujanan ? bagaimana jika engkau sakit ? bukankah nanti daun dan ranting itu juga akan khawatir ? Sayang, denger aku, ini kan hujannya deres, kebetulan aku bawa payung, kita jangan lama-lama disini, sudah sore, nanti mamah mu mengkahwatirkanmu, sini tangannya, pegang payungnya”

“Yang aku pegang ini bukan payung, melainkan tanganmu”

“Aku akan selalu menjadi payung bagimu disaat hujan”

Begitulah sekilas kisah terindah ku dengan hujan, kenapa sampai saat ini aku tidak takut hujan ? sebab aku percaya, wanita yang baik hati itu tetap bersamaku. Walau kini jasadnya telah pergi menghilang di telan semesta. Duhai, wanitaku,, semoga Tuhan ridha kepadamu.


Kupinang Kau Dengan Filsafat: Duhai, Analisa Yang Malang ! (BAG III)


Wallahu akhrajakum mim buthuni ummahatikum la ta’lamuna syay'aw wa ja’ala lakumu-sam’a wal-abshara wal af’idata, la’allakum tasykurun (Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dengan perut ibumu tanpa mengetahui satu hal pun, dan Allah menjadikan untukmu telinga, mata dan hati, agar kamu bersyukur.) “Sedih, ku saat merasa indah, semua hilang dan usai,, bila” lirik lagu Tiara Andini menghentikan bacaan al-Qur’an Asep, ternyata Galen menghubunginya.

Galen mengingatkan Asep bahwa tiga hari sejak pengobatan pertama telah berlalu, kemudian galen meminta Asep untuk datang ke rumah sakitnya, suara Galen sangat tenang, sebab pasiennya, Analisa, sudah tidak lagi mengucapkan tiga mantra sakti positivisme.

Ketika tiba di rumah sakit, Asep langsung dihampiri Hypatia, wajah Hypatia nampak damai dan segar, seakan sering terbasuh air dari sungai nil dan sungai ciliwung. Sambil berjalan menuju ruangan dokter Galen, Hypatia itu berkata kepada Asep bahwa, sejak mata dan telinganya ditutup, Analisa tak pernah lagi mengigau.

“Apakah makan dan minumnya sesuai dengan apa yang saya sarankan ? kata Asep kepada Hypatia

“Iya mas”

Keduanya terus berbincang sembari jalan menuju ruang dokter Galen, hingga saat tepat berdiri di depan pintu, Hypatia pamit kepada Asep untuk sarapan, sedangkan Asep langsung masuk ke ruangan dokter Galen.

“Mau ngopi dulu pak ?” Ucap Galen mengawali obrolan

“Nanti saja dok, saya sudah ngopi sebelum kesini”

“Oke pak, mungkin kita langsung saja menuju ruangan Analisa”

Tak ada obrolan saat keduanya berjalan menuju ruangan, namun itu hanya sementara, sebab Hypatia segera berjalan di sisi Galen untuk melaporkan bahwa pagi ini Analisa tengah menyantap sarapan sesuai dengan saran dari Asep.

Galen dan Asep tiba di ruangan, Asep nampaknya tidak terkejut melihat Analisa yang tengah tersenyum sedangkan mata dan telinganya tertutup.

“Dok, mungkin sudah waktunya penutup mata dan telinga itu dibuka” Kata Asep

“Baik pak, Hypatia, kemarilah ! tolong bantu aku untuk membukanya”

Hypatia bergegas membantu Galen untuk membuka penutup yang ada pada mata dan telinga Analisa, dan terbukalah kain penutup mata dan telinga itu, suasana langsung hening ketika Analisa mengedip-ngedipkan matanya, mata Analisa memang indah, bulat sempurna, saat melihatnya, semua orang akan merasakan ketenangan metafisikal.

Mata Analisa langsung terfokus kepada Asep, karena memang Asep mengenakan pakaian santai, dalam benaknya, Ana berkata:

“Siapa gerangan laki-laki ini ? dia pasti bukan dokter, bukan juga perawat, apalagi keluargaku ? Sungguh, pakaiannya sangat lusuh seperti orang kampung yang hidup di era kejayaan Thomas Jefferson, seorang presiden Amerika ke-3.”

Melihat mata Ana yang tertuju pada Asep, Galen langsung mengatakan pada Ana bahwa orang inilah yang tengah membuatnya menjadi tenang seperti sekarang. Akan tetapi, Ana merasa dirinya baik-baik saja selama beberapa hari kemarin, malah, dengan nada yang tinggi, ana mengatakan:

“Dokter !!!! Tolong usir saja orang lusuh dari kampung ini, dia bukan siapa-siapaku”

Mendengar Analisa mengatakan hal itu, Asep hanya tersenyum dan langsung beranjak keluar, namun ditahan oleh Galen, tapi Asep meyakinkan Galen dengan isyarat mata bahwa hal itu tidak apa-apa, akhirnya Asep keluar dari ruangan, dan menunggu tepat di depan pintu, ia khawatir akan terjadi sesuatu lagi, namun setelah 15 menit, rupanya dugaan Asep salah, tidak terjadi kegaduhan apapun diruangan Ana.

Ternyata, dalam waktu itu, terjadi percakapan Galen dengan Ana, sedangkan Hypatia sibuk mencatat percakapan itu atas perintah Galen.

“Dokter, sebenarnya, siapakah duhai gerangan pria itu ? yang lusuh pakaiannya dan kurus badannya ? namun memiliki wajah yang sangat cerah ?”

Galen menghela nafas dan tersenyum, kemudian mulai menjawabnya:

“Seperti yang sudah saya katakan tadi, Analisa, dia adalah orang yang menenangkanmu dari mengucapkan tiga kalimat sakit positivisme, apakah kau sama sekali tidak mengingat apa-apa ?”

“Selama ini saya merasa tenang-tenang saja dok”

“Ya, itu setelah mata dan telingamu ditutup, sebelumnya kamu terus melafalkan ‘Teologi Metafisik Saintifik’ terus menerus. Ana, karena kini kamu sudah dapat mengendalikan tubuhmu, mungkin kamu bisa menceritakan, seluruh hal yang terjadi sebelum kamu masuk rumah sakit ini, apakah kamu bersedia ? sebab, belum ada keterangan yang lengkap mengenai alasan atau sebabnya kenapa kamu bisa menjadi seperti orang yang kerasukan arwah filosof Barat abad 17 itu ?”

“Baik dok, saya bersedia, akan tetapi saya tidak ingat semua, mungkin saya akan mandi terlebih dahulu, untuk mengingat hal-hal yang terjadi kepada saya”

“Oh iya silahkan Ana, lagipula kamu sudah tiga hari tidak mandi, sungguh air itu sangat merindu disentuh kulitmu”

Segera Analisa menuju kamar mandi, dengan dibantu oleh Hypatia. Nampak cermin besar setengah badan tergantung disana, kemudian Analisa berkata:

“apakah itu saya” sambil menunjuk cermin

“Iya mba, itu mba Analisa” jawab Hypatia, agak aneh.

“Bohong, bagaimana mungkin itu adalah saya ? saya menunjuk dengan tangan, dan dia menunjuk dengan tangan kiri”

Hypatia segera keluar namun tak lupa menjawab pernyataan Analisa:

“Itu namanya ilusi optik mba Ana”

Setelah keluar dari kamar mandi, Hypatia secara tergesa-gesa menghampiri Galen,

“Ada apa Hypatia ?”

Hypatia terdiam, hanya menggelengkan kepala, setelah itu menunduk bingung kalimat apa yang akan dipilihnya untuk menyampaikan hal yang terjadi di kamar mandi. Dalam suasana yang hening itu

“PRAKKKKKKKK” suara pecahan kaca terdengar sangat nyaring, disusul dengan teriakan Analisa:

“AAAAAAA… AAAAAAAA. AAAAAAAA….. DASAR GOBLOK,,, TOLOLLLL,,, BEGOOOO,,, Aku memiliki wajah cantik berkilau bak bulan purnama dengan satu juta lampu philips, engkau bukanlah aku, aku bukanlah engkau,, kenapa engkau berteriak tanpa bersuara ? JELASSS,, kau bukanlah aku”

Dengan suasana hati yang sangat cemas, Hypatia segera mencari penutup mata dan telinga milik Analisa, setelah ketemu, Hypatia langsung berlari ke kamar mandi untuk menutup mata dan telinganya. Anehnya, setelah ditutup, Analisa langsung kembali terdiam.

Diluar ruangan, seakan mengetahui apa yang terjadi, Asep hanya tersenyum, Galen dan Hypatia segera keluar ruangan untuk memberitahu Asep semua hal yang terjadi di dalam ruangan, dan Asep hanya mengatakan:

“Baiklah, lusa tolong ingatkan saya lagi agar saya datang kembali kesini, lusa, saya akan berusaha mendekonstruksi pikiran positivis mutlak yang mengarungi pikiran Analisa. Sungguh saya pun merasa kasihan melihat wanita muda itu tersakiti akal dan jiwanya, bagaimana mungkin saya sebagai seorang manusia tak terketuk hati kemanusiaannya melihat orang lain menderita penyakit mental ?”

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...