Selasa, 07 Desember 2021

Asy’arisme : Sebuah Meditasi Terhadap Doktrin Tradisionis


        Kajian karya klasik mengenai bidang ilmu tauhid di pondok pesantren salaf yang mayoritas santri dan kiyai nya adalah NU, kebanyakan mengacu pada pemikiran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, pemikiran ini mencapai tingkat kegemilangannya saat salah satu pemikir islam yang kemudian dikenal sebagai Hujjatul Islam yakni Imam Ghazali lahir di muka bumi tepatnya di kota Thus pada tahun 1058 M.

            Imam Ghazali dalam masa tiga tahun dibawah pengawasan gurunya yakni Al-Juwayni di Nisyapur, menurut Imam Ghazali sendiri, ia telah berhasil menguasai filsafat secara lengkap “dengan bantuan Tuhan” hal ini terlihat saat Imam Ghazali menulis sebuah karya filosofis pertamanya yakni Maqasid al-Falasifah (Tujuan para filsuf), kemudian di susul dengan karya logika nya yakni Mi’yar al-ilm (Kriteria-Kriteria ilmu) dan Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filsuf). Penulisan karya logika tersebut, menunjukka bahwa Imam Ghazali tidak sembarang belajar, dan memang memahami filsafat secara utuh.

           karya ini menjadi trilogi filosofisnya yang dianggap sangat penting bagi pengembangan teologi Asy’arisme dalam melawan kaum Paripatetik, Neo-Platonisme dan Hellenisme terhadap pembuktian kerancuan para filsuf pada bagian tertentu dan dasar pemikiran filosofisnya, sasaran utamanya menurut Majid Fakhry adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Inilah sumbangsih besar Al-Ghazali dalam pemikiran filosofis islam. Tahafut adalah Karya yang dtulis atas sebuah fenomena dimana ada sekelompok pemikir islam liberal yang banyak menangkalkan akal nya dan meninggalkan wahyu, karena wahyu sendiri dianggap -oleh sekelompok kecil itu- tidak dapat mencapai intelektual mereka.

           Hal ini juga telah terjadi pada saat pendiri Teologi Sunni hidup, yakni Imam Asy’ari yang berhadapan dengan kaum Mu’tazilah, Mu’tazilah pada awalnya adalah teologi yang di kecam oleh para khalifah Bani Umayyah karena kepentingan politik Umayyah yang mendukung Jabariyah. Teolog Qodariyah -yang kemudian nanti menjadi cikal bakal Mu’tazilah- awal seperti Ma’bad Al-Juhaini, dan Ghailan Ad-Dimasyqi telah di hukum mati. Al-Juhaini dihukum mati pada zaman khalifah Abd Malik sedangkan Ghailan di eksekusi mati oleh Hisyam bin Abd Malik.

      Pada saat itu Mu’tazilah adalah -semacam- ideologi atau usaha teologi politik yang dipaksakan oleh Al-Ma’mun kepada para teolog yang tak sejalan pada tahun 827-833 M. Al’Ma’mun saat itu sangat menyukai filsafat terutama perdebatan-perdebatan mengenai teologi, buah karya nya antara lain Risalah tentang Islam dan Syahadat Kesatuan (Tawhid), dan Bintang-Bintang Ramalan (Lumaniries of Propchery) sedikit saja mengenai buku kedua, di katakan bahwa dalam menjalankan segala sesuatu Al-Ma’mun selalu meminta pendapat para astronom mengenai “kapan” seharusnya ide dan pemikirannya di jalankan. (Kartanegara, 1987)

        Cerita ini dapat anda ketahui lebih dalam melalui buku terjemahan Prof. Mulyadhi Kartanegara yakni Sejarah Filsafat islam yang ditulis oleh Majid Fakhry dengan judul asli The History of Islamic Philosophy yang di terjemahkan pada tahun 1987. Karena dalam tulisan singkat ini, rasanya tidak perlu di jelaskan lagi terlalu panjang. Satu hal lagi yang menarik dari buku ini adalah, sebelum di terbitkan oleh Prof. Mulyadhi, ternyata buku ini terlebih dahulu diberikan kepada Cak Nur (Nurcholis Madjid) untuk di periksa, setelah mendapat respon yang baik, kemudian buku tersebut di terbitkan.      

         Ini adalah salah satu pandangan saya -sebagai seorang santri- mengenai pengaruh teologi Asy’arisme, Asy’arisme dalam lingkup teologi islam berarti pemahaman mengenai Tuhan dengan menggunakan kekuatan akal atau rasio filosofis yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Imam Asy’ari tetap meyakini bahwa akal sangatlah lemah jika di hadapkan dengan kebenaran qur’ani.

            Beberapa kitab panduan dalam memahami Tuhan, baik esensinya maupun eksistensinya yang bercorak filsafat dapat kita lihat dalam salah satu karangan teolog islam yakni Syekh Ibrohim Al-Bajuri dalam risalahnya yang kemudian di buat syarah oleh Syekh Nawawi Al-Bantani, kitab itu Bernama Tijan Ad-Durori. Kemudian kitab lainnya seperti kifayatul ‘Awam, Fathul Majid, Jawhar Tawhid, Hudhudhi dan Ummul Barohin.

            Dalam kitab itu, pada awal muqaddimah nya pembaca sudah dikenalkan dengan logika, yakni mengenai wajib, mustahil dan jaiz menurut akal. Logika tersebut lebih dalam lagi di bahas pada pembahasan mengenai sifat wujud Tuhan (Allah) bahwa adanya alam ini merupakan akibat dari sebab adanya Tuhan. Pembahasannya dibuat ringan saja, karena dalam alam pikir teolog asy’arisme, pembahasan mengenai Tuhan di bagi menjadi dua yakni, ijmali dan tafshili. Argumentasi ijmali di tujukan pada sifat pembahasan yang sangat ringkas dan di hukumi wajib a’in yakni seluruh umat muslim wajib untuk mengetahuinya, sedangkan tafshili dihukumi wajib kifayah, karena minimal dalam satu daerah ada satu orang yang memahaminya. (Al-Bantani, 2005)

            Dalam mengenal Tuhan, tentunya argumentasi para teolog lebih mudah di terima di bandingkan para filsuf, karena umat islam lebih dahulu menyadari bahwa Al-Qur’an dan Hadits ialah sumber utama dan barangkali satu-satunya di bandingkan logika rasional. Maka, seorang sejarawan dan profesor di Edinburgh University yakni William Montgomery Watt dalam bukunya “Islamic Philosophy and Theology” menyatakan bahwa Imam Asy’ari merupakan ulama fundamental yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam sejarah teologi islam. (Watt, 1985)

            Selain itu, santri NU sudah mendapat doktrin bahwa “hanya inilah pemahaman yang benar”, hal ini menjadikan pemikiran santri tersebut menjadi terutup. Sebetulnya baik saja dalam memberikan pemahaman Asy’arisme tersebut, yang menjadi kekhawatiran saya adalah doktrin tersebut seringkali menutup pikiran para santri. Sehingga, lulusan pesantren salaf seringkali mengalami sikap was-was dan bercorak pikir hitam putih saat berhadapan dengan argumen-argumen filosofis.

            Padahal, dalam mengenal eksistensi Tuhan atau mempercayai bahwa Tuhan itu satu,  kita dapat menggunakan pemikiran ilmuan islam lainnya atau filsuf muslim seperti Al-Kindi dalam Dalilul Huduts, Ibnu Sina dalam Dalilul Jawaz, dan bahkan Jalaludin Rumi seorang mistisisme dalam teori Mawar nya.

            Al-Kindi mengatakan bahwa alam ini terdiri dari materi, gerak, dan waktu. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa alam semesta ini terbatas, karena alam semesta terbatas maka sesuatu yang ada pada alam semesta pun juga terbatas, karena ia terbatas maka ia akan musnah, karena ia musnah, sudah pasti ia memiliki awal, dan harus berujung pada satu sebab yakni Tuhan. Jika Tuhan bukan sebab pertama, maka ada sebuah fallacy dalam alam pikir kita, hal itu disebut dengan tasalsul.

      Ibnu Sina mengatakan bahwa alam ini merupakan potensi, dan harus ada yang mengaktualkannya, di katakan potensi karena alam ini bersifat mumkin yakni akal dapat membayangkan jika alam ini tidak ada, dan wujud aktual yang mengaktualkan alam ini ialah Tuhan. Ibnu Sina menyatakan bahwa alam ini ada karena ada yang mengadakan, seperti wanita hamil, perlu ada yang membuatnya hamil, karena mustahil ia bisa hamil dengan sendirinya. (Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, 2005)

          Argumen romantis dari seorang sufi bernama Jalaludin Rumi yang mengatakan bahwa, jika kita ingin mengenal Tuhan jangan berhenti pada simbol-simbol, dalam kalimat sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut “bagaimana kita akan mengetahui bahwa seorang Rektor ada di meja kerja jika kita hanya berhenti di depan pintu nya yang bertuliskan nama Rektor tersebut ? maka masuklah, niscaya engkau dapat melihat Rektor tersebut” hal ini, oleh Rumi sering di analogikan dengan mawar, dalam kalimat yang romantis Rumi mengatakan “dapatkah engkau mengenal mawar melalui tulisan M.A.W.A.R. pada secarik kertas ? tentu tidak, jika kita ingin mengenal mawar maka pergilah ke taman bunga. (Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, 2006)   

            Bahkan -jika boleh-, ada seorang filsuf yang dikenal dengan bapak filsafat modern dan matematikawan dari tanah Perancis yang membuktikan keberadaan Tuhan dengan terlebih dahulu menyatakan kelemahan dan keraguan dirinya pada panca indera, baginya, jika manusia hanya mempercayai indera sebagai alat satu-satunya untuk meraih pengetahuan, maka orang tersebut sampai akhir hayatnya tidak akan percaya dengan Tuhan, ia adalah Rene Descartes, dengan prinsip matematisnya mengenai segitiga yang dimulai dari satu titik menandakan bahwa ala mini pasti memiliki awalan. (Ma'ruf, 2020)

            Jadi, setelah sekian lama saya melakukan meditasi terhadap ilmu pengetahuan terkait Tuhan (tawhid dalam Bahasa Arab dan Teologi dalam Bahasa Yunani), terhadap pikiran dan hati saya, saya beranggapan bahwa nilai-nilai nya sama, hanya saja pemilahan masalah dan penyusunan pikiran serta argumentasi nya saja yang berbeda, sikap terbuka dalam pemikiran tersebut akan menghantarkan seorang santri menjadi lebih plural dalam berpikir dan bertindak, sehingga santri tidak hanya di nilai sebagai kaum sarungan ortodok yang terbelakang karena pikirannya yang tertutup, namun menjadi pelopor atas pengembangan teologi skolastik tersebut, tentunya dengan beragam pandangan serta paradigma berpikir lainnya.

            Dengan usaha berpikir plural semacam ini, saya yakin pemahaman mengenai teologi di Indonesia menjadi harmonis, dan toleransi tidak hanya semacam spekulasi saja, namun menjadi sebuah sikap kemanusiaan, tak ada lagi doktrin, atau ikhtiar menghadapkan argumen terkuat untuk argumen terlemah, karena berbeda paham.

            Sebagai penutup, marilah kita mulai jujur dengan diri kita, bahwa doktrin merupakan sebuah kemaksiatan intelektual yang akan melahirkan sikap apologetik, yakni berani membela namun tak tau bagaimana caranya membela, serta tidak mematikan nalar kritis santri yang sudah menjadi fitrahnya dengan memberikan doktrin hitam putih pada pemikiran Asy’arisme.



Referensi

Al-Bantani, N. (2005). Tijan Ad-Durori. Surabaya: Darul Ilmu.

Kartanegara, M. (1987). Sejarah Filsafat Islam diterjemahkan dari A History of Islamic Philosophy. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Kartanegara, M. (2005). Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

Kartanegara, M. (2006). Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati.

Ma'ruf, A. F. (2020). Diskursus dan Metode diterjemahkan dari Discourse on Method. Yogyakarta: IRCiSoD.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology. George Square: Edinburgh University Press.

 

 

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...