Minggu, 05 Mei 2024

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

  


Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini adalah hal yang jelas, baik secara filosofis maupun teologis. Secara filosofis, proyek metafisika Plato dan Plotinos mengenai emanasi agaknya cukup untuk digunakan sebagai dalil filosofisnya, dan secara teologis jelaslah apa yang dikatakan oleh al-Qur’an bahwa ruh manusia dimasukkan oleh Allah ketika jasad sudah mulai sempurna di dalam rahim ibu.

Sedikit meminjam pemikiran dari Descartes, jiwa ku yang tidak sempurna ini haruslah berasal dari yang sempurna atau Maha Sempurna, dan itu tak lain adalah Allah SWT. Dalam filsafatnya, Descartes membahasakan Allah dengan istilah deus. Kemudian, aku juga sudah meyakini bahwa keberadaan jiwaku ini bukanlah hal yang sia-sia, jiwaku diciptakan bukan tanpa tujuan. Namun, apa tujuannya itu? Tujuannya adalah Allah itu sendiri, dan tidak mungkin yang lain. Sebab, menurutku aneh jika ketidaksempurnaan berjalan menuju ketidaksempurnaan, karenanya, ketidaksempurnaan haruslah berjalan menuju yang Maha Sempurna, yakni Allah SWT.

Pernyataan indah dalam al-Qur’an yang berbunyi: Dari Allah dan akan menuju Allah, tidak boleh dibiarkan hanya menjadi sekedar pengetahuan saja, kita haruslah memasukkannya ke dalam hati. Oleh sebab apa hal itu perlu dilakukan? Oleh sebab kita harus juga mulai bertanya-tanya: bagaimana jiwa kita ini dapat berhasil menuju tujuannya itu? Aku seringkali bertanya kepada diriku sendiri, apakah hal-hal yang selama 23 tahun ini aku lakukan sudah sesuai sebagaimana harusnya? Apakah kehidupan yang aku jalani ketika aku menyendiri atau beramai-ramai dengan orang lain sudah benar? Aku mulai meragukannya, apalagi aktivitasku yang berhubungan dengan sosial media, dalam hal ini adalah instagram dan youtube.

Aku mengingat dengan pasti kapan pertama kali aku mulai bermain sosial media, itu adalah ketika aku duduk dibangku sekolah dasar. Sosial media yang digunakan olehku untuk pertama kalinya adalah facebook. Senang rasanya saat itu aku bermain facebook. Manfaatnya tak lain adalah dapat menyimpan foto-foto, dan kini yang tersisa dari foto itu adalah sebuah kenangan belaka saja, sebagian indah dan sebagian lagi tidak. Saat aku menulis ini, aku mulai bertanya-tanya, apa manfaat itu dapat bermanfaat hari ini? Aku pikir tidak, foto itu hanya sebatas kenangan yang memenuhi pikiranku.

Selain itu, facebook juga membuka ruang pertemanan lebih luas bagiku. Pernah sekali aku dekat dengan seorang wanita berdarah jakarta, namanya Selvi. Tak ada yang tersisa darinya saat ini selain kenangan. Jika aku pikir kembali, jumlah temanku yang lebih dari 2000 itu, apakah memberiku kemanfaatan? Aku pikir tidak, dan aku meyakininya.

Untuk apa foto-foto yang banyak itu? Dan untuk apa pula jumlah pertemanan yang banyak itu? Apa manfaatnya bagiku saat ini? Apakah teman itu menolongku ketika aku sedang payah? Aku pikir tidak, rasanya mereka hanya berguna sebagai penonton beberapa prestasi yang aku raih sampai saat ini. Tapi, apakah itu bermanfaat? Aku pikir tidak.

Karena itulah, sudah satu bulan dari sejak tulisan ini dibuat, aku mulai menghapus aplikasi facebook. Sebab, aku berpikir dan aku merasa bahwa facebook tak ada gunanya untuk hidupku. Tak ada lagi hal yang mengharuskanku atau membuatku untuk bermain facebook kembali. Alasan puncaknya adalah, bahwa bermain facebook tidak membuat jiwaku berhasil mencapai tujuannya.

Sekarang aku akan membicarakan media sosial lainnya yang aku miliki, itu adalah instagram dan tiktok. Akun instagram ku hanya satu saja, itu adalah Ramdhani Cartes. Itu dibuat sejak aku duduk dibangku Madrasah atau SMA sederajat. Aku lupa kenapa aku membuat akun instagram. Ini mungkin saja membuatku menggunakan instagram secara asal saja, yaitu mencari kesenangan atau hiburan semata. Padahal aku tahu betul bahwa hiburan itu hanya bersifat sementara saja. Ketidakjelasan tujuanku membuat akun instagram inilah yang pertama kalinya mendorongku untuk memikirkan ulang: “apakah aku masih perlu bermain instagram?”.

Pertanyaan itu terus berulang dipikiranku. Sebab aku juga mulai mempertanyakan: apakah menggunakan instagram dapat memberikan manfaat kepada jiwaku untuk mencapai tujuannya? Orang-orang mungkin akan berkata: Bukankah di instagram itu banyak sekali video atau foto yang memaparkan pengetahuan yang engkau senangi? Seperti kajian pemikiran Islam dan filsafat?. Terhadap orang-orang ini, aku akan menjawabnya seperti ini: Baiklah dan itu benar, instagram memang memaparkan pengetahuan yang aku senangi, namun itu hanya sedikit saja, bahkan sangat-sangat sedikit, mungkin hanya 0.5% saja, dan aku tidak merasakan bahwa ilmu yang aku peroleh dari instagram itu berguna bagi kehidupanku. Itu hanya sekilas saja. Sekalipun benar pula bahwa instagram telah memperkenalkanku kepada tokoh-tokoh agama dan filsafat yang tidak aku jumpai di kehidupanku. Namun aku merasa mereka tak ada pengaruhnya bagi kehidupanku. Pengetahuan yang berguna bagi kehidupanku adalah pengetahuan yang aku peroleh adalah pengetahuan dari guru-guruku yang bertemu secara langsung, aku juga merasa memperoleh pengetahuan dari bacaanku terhadap buku-buku, dan aku juga memperoleh pengetahuan atas pengamatanku terhadap realitas. Jadi aku tidak pernah merasa bahwa aku memperoleh pengetahuan dari video atau foto yang ada di instagram, bahkan yang ada di youtube sekalipun. Aku sendiri tahu, tipikal belajarku adalah visual, dan harusnya foto serta video yang ada diinstagram menjadi pengetahuan bagiku, dan ini benar, namun pengetahuan itu tidak pernah sampai pada tindakan. Pada akhirnya tindakanku itu berasal dari setiap guruku, bahan bacaanku, dan pengamatanku terhadap realitas. Lalu untuk apa aku masih bermain instagram? Jelas ini tidak berguna bagi jiwaku untuk mencapai tujuannya.

Yang sangat terasa bagiku saat ini dari kedua sosial media yang aku punya itu bukannya manfaat, melainkan mudharatnya. Sederhana saja, kapasitas dalam otakku ini jadi dipenuhi oleh banyak pengetahuan yang belum pasti benar, padahal seharusnya otakku ini diisi dengan banyak pengetahuan yang meyakinkan. Umpamanya, aku rasa hidupku akan baik-baik saja sekalipun aku tidak mengenal Dedy Corbuzier, sule, fajar sadboy, kekeyi, katak bhizer dan orang-orang tolol lainnya itu, jadi kenapa malah pikiranku ini diisi oleh mereka-mereka itu? Padahal seharusnya yang ada dalam pikiranku adalah sejarah filsafat, sejarah agama, pemikiran para filosof dan pemikiran para agamawan. AHHHH aku akhirnya muak dengan instagram. Aku pikir aku harus berhenti memainkannya. Tak ingin aku mempersulit perjalanan jiwaku menuju tujuannya itu.

Abad postmodern memang sangat dekat sekali pertautannya dengan teknologi. Malahan, Matius Ali dalam bukunya filsafat barat, menjelaskan bahwa abad 20 sampai sekarang -yakni abad 21- adalah abad teknologi. Namun sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurcholis Madjid, teknologi itu memang bermanfaat, namun ekses negatifnya juga ada, menurut Nurcholis Madjid, diperlukan kematangan iman untuk mencegah ekses negatif di dalam teknologi.

Tapi jika konteksnya adalah media sosial, aku berspekulasi bahwa 90% dari 100% konten yang ada di media sosial itu sifatnya sampah. Jadi, walaupun ada sistem algoritma yang mengatur FYP, tetap saja konten sampah itu akan berseliweran di FYP ku. Ini juga yang menjadi alasanku kenapa aku berhenti untuk membuat konten filsafat. Sebab aku menjadi yakin, bahwa videoku itu hanya ditonton oleh orang yang senang filsafat saja, dan jika senang filsafat, hendaklah belajar secara langsung, bukan menonton video. Ini juga yang menjadi alasanku kenapa aku menghapus tiktok di hp ku. Aku juga yakin, tidak ada satupun produk tokoh filsafat yang lahir berdasarkan pembelajaran online semacam menonton video itu. Jadi sekarang aku tambah yakin untuk berhenti bermain media sosial, terkhusus instagram ini.

Berbeda dengan facebook dan instagram, agaknya aku masih membutuhkan whatsapp dan youtube. Whatsapp aku pergunakan untuk hal-hal penting saja seperti berkomunikasi dengan rekan kerjaku dan orangtuaku serta guru-guruku. Selain itu aku juga mulai mengurangi kebiasaan burukku, yakni memasang snap yang tidak penting.

Youtube masih aku pergunakan sebab aku membutuhkan bahan untuk mengajar di kelas. Ya, sekalipun aku bisa saja mengajar tanpa adanya pemutaran video, sebab aku meyakini karakter murid-muridku berbeda denganku, terkadang mereka susah fokus ketika diskusi di kelas sedang berjalan, dan sebagian mereka akan fokus jika isi dari pembelajaran aku tampilkan melalui video.

Aku yakin bahwa aku bisa mengajar tanpa adanya video atau foto bahkan PPT yang ditampilkan. Kenapa tidak? Bukankah era Plato dan para filosof abad klasik dan kuno itu belum ada teknologi? Bahkan di era modern awal dalam kehidupannya Descartes, Hume, Kant, sudah pasti mereka mengajar dengan kecerdasan pikirannya, mereka sukses, bahkan tanpa melalui bantuan teknologi. Jika mereka saja bisa seperti itu? Kenapa aku tidak. Aku harus bangun dari tidur yang dinina bobokan oleh media sosial itu.

Aku cukup mendapatkan pencerahan tentang bagaimana seharusnya aku menjalani keseharianku selama jiwaku ini masih berada dalam jasadku dari Imam al-Ghazali melalui kitabnya Bidayah al-Hidayah. Dalam kitabnya itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ada empat hal yang bisa dilakukan oleh seorang muslim untuk menjalani kesehariannya: pertama, menuntut ilmu. Kedua, beribadah. Ketiga, bekerja mencari nafkah dan keempat membantu sesama manusia. Jadi aku seharusnya tidak khawatir ketika instagram itu aku hapuskan dalam kehidupanku. Sebab aku yakin keempat hal itu dapat membantu jiwaku mencapai tujuannya.

Selamat tinggal dunia media sosial yang penuh ketidakjelasan. Kini aku akan kembali memperjelas hidupku. Engkau sialan, sudah bertahun-tahun aku dinina bobokan. Aku juga bodoh sekali malah tidur atas bujuk rayumu itu. Akan aku lawan jiwa binatang yang juga terus membujukku untuk menaatimu agar aku masih memainkan media sosial, AKU AKAN MELAWAN!. Sebab aku adalah manusia, hakikatku adalah jiwa, dan jiwaku berada diatas jiwa para binatang yang hanya bisa mempersepsi sesuatu dan bergerak. Aku bisa berpikir. Baiklah, selamat tinggal.

Sabtu, 23 Maret 2024

Yang Datang Atas Takdir




Pengap, aku sendiri. Matahari pun tak masuk kesini, dimana kamu, Nona? Sepi sangat disini, udara hanya sedikit yang masuk, desir suara semut yang sedang memakan gula sampai terdengar, sunyi sekali, hingga aku merasa khawatir tak lagi bisa bertemu denganmu. Tapi untuk apa aku khawatir? Bukan Nona itu tujuan hidupku. Tapi, disini memang sepi.

Kepalaku rasanya mau pecah, tak ada barang satu pun telinga disini yang mau mendengar ocehan tololku. Apakah itu baik-baik saja? Atau malah berbahaya. Rasanya kepalaku perlu dibawa bertasbih kepada Tuhan agar tenang, dan perasaan-perasaan negatif itu pun menjadi hilang. Tak perlu lah yang seperti itu terkenang.

Perempuan yang aku panggil Nona itu datang, atas takdir.

Bersama, atas takdir

Berpisah, atas takdir

Tapi lebih ingin bersama daripada berpisah, bukan begitu, Nona?

Tidak bersama juga tidak apa-apa, asal kamu masih ada, sudah bikin aku senang.

Tapi bukannya lebih menyenangkan jika bersama?

Akan ku bawa ke tanah kelahiranku, tanah yang hari-harinya selalu dimandikan air hujan. Bogor adalah Kota Hujan, kata orang-orang. Menarik sepertinya jika kita berdua memasak di dapur itu, aku juga bisa masak kok, kataku nanti kepadamu, Nona.

Masa iya begitu? Memangnya bisa? Kenapa harus tidak bisa? Untuk apa ada berdoa? Untuk apa Tuhan Maha Kuasa? Ini masih dalam koridor potensial untuk bisa berhasil kok, Jika mustahil, maka tinggalkan, karena Tuhan pun mustahil akan mengabulkan doa yang mustahil, seperti mustahilnya seorang miskin yang meminta agar memiliki emas 100 gram dalam sehari. Ini mustahil, bahkan tolol.

Entah sedang berpikir apa perempuan itu, mungkin saja dia belum makan, perlukah aku mengingatkannya? Lagi pula, siapa perempuan ini? Apakah spesial? Tapi, sepertinya biasa saja, hehehe, Bodoh.

Sehat-sehat, untuk dirimu, Nona yang namanya sedang aku kompromikan dengan Tuhan. Itu saja, Nona. Aku harap, segera bertemu.

Rabu, 28 Februari 2024

Poster Khayal



Lama tak berjua

Lama tak bersua

Ingin bertemu, namun untuk apa?

Aku lebih takut kehilangan perasaanku kepada Tuhan dibandingkan kehilangan dirimu

Nona, sedang apa?

Sudah makan?

Apa hal yang menarik hari ini?

Bagaimana kabarnya, Nona?

Sudah hampir satu minggu saya tidak tidur malam karena wajahmu yang berada di poster khayalku terus diperbesar oleh sistem zoom otomatis dalam akalku.

Bukankah menyenangkan jika kita bertemu dan berbincang seperti kala siang terakhir itu? Menyenangkan sekali berbicara denganmu, Nona.

Aku berbincang dengan angin yang lalu dari rambutmu, saya senang, kamu baik-baik saja, kata angin itu.

Sebetulnya, tidak masalah jika tidak bertemu denganmu, asal kamu masih ada di dunia ini, itu saja sudah membuatku senang, Nona. 

Goodbye Instagram: A Soul's Journey to Allah That Was Paused

    Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini ada...