Aku sepenuhnya sudah meyakini kebenaran bahwa hakikat
diriku adalah jiwaku. Jiwaku ini yang tidak sempurna berasal dari Allah. Ini adalah
hal yang jelas, baik secara filosofis maupun teologis. Secara filosofis, proyek
metafisika Plato dan Plotinos mengenai emanasi agaknya cukup untuk digunakan
sebagai dalil filosofisnya, dan secara teologis jelaslah apa yang dikatakan
oleh al-Qur’an bahwa ruh manusia dimasukkan oleh Allah ketika jasad sudah mulai
sempurna di dalam rahim ibu.
Sedikit meminjam pemikiran dari Descartes,
jiwa ku yang tidak sempurna ini haruslah berasal dari yang sempurna atau Maha
Sempurna, dan itu tak lain adalah Allah SWT. Dalam filsafatnya, Descartes
membahasakan Allah dengan istilah deus. Kemudian, aku juga sudah
meyakini bahwa keberadaan jiwaku ini bukanlah hal yang sia-sia, jiwaku
diciptakan bukan tanpa tujuan. Namun, apa tujuannya itu? Tujuannya adalah Allah
itu sendiri, dan tidak mungkin yang lain. Sebab, menurutku aneh jika
ketidaksempurnaan berjalan menuju ketidaksempurnaan, karenanya,
ketidaksempurnaan haruslah berjalan menuju yang Maha Sempurna, yakni Allah SWT.
Pernyataan indah dalam al-Qur’an yang
berbunyi: Dari Allah dan akan menuju Allah, tidak boleh dibiarkan hanya menjadi
sekedar pengetahuan saja, kita haruslah memasukkannya ke dalam hati. Oleh sebab
apa hal itu perlu dilakukan? Oleh sebab kita harus juga mulai bertanya-tanya:
bagaimana jiwa kita ini dapat berhasil menuju tujuannya itu? Aku seringkali
bertanya kepada diriku sendiri, apakah hal-hal yang selama 23 tahun ini aku
lakukan sudah sesuai sebagaimana harusnya? Apakah kehidupan yang aku jalani
ketika aku menyendiri atau beramai-ramai dengan orang lain sudah benar? Aku
mulai meragukannya, apalagi aktivitasku yang berhubungan dengan sosial media,
dalam hal ini adalah instagram dan youtube.
Aku mengingat dengan pasti kapan pertama kali
aku mulai bermain sosial media, itu adalah ketika aku duduk dibangku sekolah
dasar. Sosial media yang digunakan olehku untuk pertama kalinya adalah
facebook. Senang rasanya saat itu aku bermain facebook. Manfaatnya tak lain
adalah dapat menyimpan foto-foto, dan kini yang tersisa dari foto itu adalah
sebuah kenangan belaka saja, sebagian indah dan sebagian lagi tidak. Saat aku
menulis ini, aku mulai bertanya-tanya, apa manfaat itu dapat bermanfaat hari
ini? Aku pikir tidak, foto itu hanya sebatas kenangan yang memenuhi pikiranku.
Selain itu, facebook juga membuka ruang
pertemanan lebih luas bagiku. Pernah sekali aku dekat dengan seorang wanita
berdarah jakarta, namanya Selvi. Tak ada yang tersisa darinya saat ini selain
kenangan. Jika aku pikir kembali, jumlah temanku yang lebih dari 2000 itu,
apakah memberiku kemanfaatan? Aku pikir tidak, dan aku meyakininya.
Untuk apa foto-foto yang banyak itu? Dan untuk
apa pula jumlah pertemanan yang banyak itu? Apa manfaatnya bagiku saat ini? Apakah
teman itu menolongku ketika aku sedang payah? Aku pikir tidak, rasanya mereka
hanya berguna sebagai penonton beberapa prestasi yang aku raih sampai saat ini.
Tapi, apakah itu bermanfaat? Aku pikir tidak.
Karena itulah, sudah satu bulan dari sejak
tulisan ini dibuat, aku mulai menghapus aplikasi facebook. Sebab, aku berpikir dan
aku merasa bahwa facebook tak ada gunanya untuk hidupku. Tak ada lagi hal yang
mengharuskanku atau membuatku untuk bermain facebook kembali. Alasan puncaknya
adalah, bahwa bermain facebook tidak membuat jiwaku berhasil mencapai
tujuannya.
Sekarang aku akan membicarakan media sosial
lainnya yang aku miliki, itu adalah instagram dan tiktok. Akun instagram ku
hanya satu saja, itu adalah Ramdhani Cartes. Itu dibuat sejak aku duduk
dibangku Madrasah atau SMA sederajat. Aku lupa kenapa aku membuat akun
instagram. Ini mungkin saja membuatku menggunakan instagram secara asal saja,
yaitu mencari kesenangan atau hiburan semata. Padahal aku tahu betul bahwa
hiburan itu hanya bersifat sementara saja. Ketidakjelasan tujuanku membuat akun
instagram inilah yang pertama kalinya mendorongku untuk memikirkan ulang: “apakah
aku masih perlu bermain instagram?”.
Pertanyaan itu terus berulang dipikiranku.
Sebab aku juga mulai mempertanyakan: apakah menggunakan instagram dapat memberikan
manfaat kepada jiwaku untuk mencapai tujuannya? Orang-orang mungkin akan
berkata: Bukankah di instagram itu banyak sekali video atau foto yang memaparkan
pengetahuan yang engkau senangi? Seperti kajian pemikiran Islam dan filsafat?. Terhadap
orang-orang ini, aku akan menjawabnya seperti ini: Baiklah dan itu benar,
instagram memang memaparkan pengetahuan yang aku senangi, namun itu hanya
sedikit saja, bahkan sangat-sangat sedikit, mungkin hanya 0.5% saja, dan aku
tidak merasakan bahwa ilmu yang aku peroleh dari instagram itu berguna bagi
kehidupanku. Itu hanya sekilas saja. Sekalipun benar pula bahwa instagram telah
memperkenalkanku kepada tokoh-tokoh agama dan filsafat yang tidak aku jumpai di
kehidupanku. Namun aku merasa mereka tak ada pengaruhnya bagi kehidupanku.
Pengetahuan yang berguna bagi kehidupanku adalah pengetahuan yang aku peroleh adalah
pengetahuan dari guru-guruku yang bertemu secara langsung, aku juga merasa
memperoleh pengetahuan dari bacaanku terhadap buku-buku, dan aku juga
memperoleh pengetahuan atas pengamatanku terhadap realitas. Jadi aku tidak
pernah merasa bahwa aku memperoleh pengetahuan dari video atau foto yang ada di
instagram, bahkan yang ada di youtube sekalipun. Aku sendiri tahu, tipikal
belajarku adalah visual, dan harusnya foto serta video yang ada diinstagram
menjadi pengetahuan bagiku, dan ini benar, namun pengetahuan itu tidak pernah
sampai pada tindakan. Pada akhirnya tindakanku itu berasal dari setiap guruku, bahan
bacaanku, dan pengamatanku terhadap realitas. Lalu untuk apa aku masih bermain
instagram? Jelas ini tidak berguna bagi jiwaku untuk mencapai tujuannya.
Yang sangat terasa bagiku saat ini dari kedua
sosial media yang aku punya itu bukannya manfaat, melainkan mudharatnya.
Sederhana saja, kapasitas dalam otakku ini jadi dipenuhi oleh banyak
pengetahuan yang belum pasti benar, padahal seharusnya otakku ini diisi dengan
banyak pengetahuan yang meyakinkan. Umpamanya, aku rasa hidupku akan baik-baik
saja sekalipun aku tidak mengenal Dedy Corbuzier, sule, fajar sadboy, kekeyi, katak
bhizer dan orang-orang tolol lainnya itu, jadi kenapa malah pikiranku ini diisi
oleh mereka-mereka itu? Padahal seharusnya yang ada dalam pikiranku adalah sejarah
filsafat, sejarah agama, pemikiran para filosof dan pemikiran para agamawan.
AHHHH aku akhirnya muak dengan instagram. Aku pikir aku harus berhenti memainkannya.
Tak ingin aku mempersulit perjalanan jiwaku menuju tujuannya itu.
Abad postmodern memang sangat dekat sekali
pertautannya dengan teknologi. Malahan, Matius Ali dalam bukunya filsafat
barat, menjelaskan bahwa abad 20 sampai sekarang -yakni abad 21- adalah abad
teknologi. Namun sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurcholis Madjid, teknologi
itu memang bermanfaat, namun ekses negatifnya juga ada, menurut Nurcholis
Madjid, diperlukan kematangan iman untuk mencegah ekses negatif di dalam
teknologi.
Tapi jika konteksnya adalah media sosial, aku
berspekulasi bahwa 90% dari 100% konten yang ada di media sosial itu sifatnya
sampah. Jadi, walaupun ada sistem algoritma yang mengatur FYP, tetap saja
konten sampah itu akan berseliweran di FYP ku. Ini juga yang menjadi alasanku
kenapa aku berhenti untuk membuat konten filsafat. Sebab aku menjadi yakin,
bahwa videoku itu hanya ditonton oleh orang yang senang filsafat saja, dan jika
senang filsafat, hendaklah belajar secara langsung, bukan menonton video. Ini
juga yang menjadi alasanku kenapa aku menghapus tiktok di hp ku. Aku juga
yakin, tidak ada satupun produk tokoh filsafat yang lahir berdasarkan
pembelajaran online semacam menonton video itu. Jadi sekarang aku tambah yakin
untuk berhenti bermain media sosial, terkhusus instagram ini.
Berbeda dengan facebook dan instagram, agaknya
aku masih membutuhkan whatsapp dan youtube. Whatsapp aku pergunakan untuk
hal-hal penting saja seperti berkomunikasi dengan rekan kerjaku dan orangtuaku
serta guru-guruku. Selain itu aku juga mulai mengurangi kebiasaan burukku,
yakni memasang snap yang tidak penting.
Youtube masih aku pergunakan sebab aku
membutuhkan bahan untuk mengajar di kelas. Ya, sekalipun aku bisa saja mengajar
tanpa adanya pemutaran video, sebab aku meyakini karakter murid-muridku berbeda
denganku, terkadang mereka susah fokus ketika diskusi di kelas sedang berjalan,
dan sebagian mereka akan fokus jika isi dari pembelajaran aku tampilkan melalui
video.
Aku yakin bahwa aku bisa mengajar tanpa adanya
video atau foto bahkan PPT yang ditampilkan. Kenapa tidak? Bukankah era Plato
dan para filosof abad klasik dan kuno itu belum ada teknologi? Bahkan di era
modern awal dalam kehidupannya Descartes, Hume, Kant, sudah pasti mereka
mengajar dengan kecerdasan pikirannya, mereka sukses, bahkan tanpa melalui
bantuan teknologi. Jika mereka saja bisa seperti itu? Kenapa aku tidak. Aku
harus bangun dari tidur yang dinina bobokan oleh media sosial itu.
Aku cukup mendapatkan pencerahan tentang
bagaimana seharusnya aku menjalani keseharianku selama jiwaku ini masih berada
dalam jasadku dari Imam al-Ghazali melalui kitabnya Bidayah al-Hidayah. Dalam
kitabnya itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ada empat hal yang bisa dilakukan
oleh seorang muslim untuk menjalani kesehariannya: pertama, menuntut ilmu.
Kedua, beribadah. Ketiga, bekerja mencari nafkah dan keempat membantu sesama
manusia. Jadi aku seharusnya tidak khawatir ketika instagram itu aku hapuskan
dalam kehidupanku. Sebab aku yakin keempat hal itu dapat membantu jiwaku
mencapai tujuannya.
Selamat tinggal dunia media sosial yang penuh
ketidakjelasan. Kini aku akan kembali memperjelas hidupku. Engkau sialan, sudah
bertahun-tahun aku dinina bobokan. Aku juga bodoh sekali malah tidur atas bujuk
rayumu itu. Akan aku lawan jiwa binatang yang juga terus membujukku untuk
menaatimu agar aku masih memainkan media sosial, AKU AKAN MELAWAN!. Sebab aku
adalah manusia, hakikatku adalah jiwa, dan jiwaku berada diatas jiwa para
binatang yang hanya bisa mempersepsi sesuatu dan bergerak. Aku bisa berpikir.
Baiklah, selamat tinggal.